Injil Kebenaran Yang Murni (Bag. 4)

“Menabur Angin Menuai Badai”
Umat-Ku menabur angin, maka mereka akan menuai badai! (Hos. 8:7 BIS)
            Edward Norton Lorenz, seorang profesor dalam bidang meteorologi menemukan sebuah teori yang disebut butterfly effect. Dalam melakukan peramalan cuaca pada tahun 1961, ia menyelesaikan 12 persamaan diferensial nonlinear dengan komputer. Awalnya ia mencetak hasil perhitungannya di atas sehelai kertas dengan format enam angka di belakang koma (…,506127). Kemudian, untuk menghemat waktu dan kertas, ia memasukkan hanya tiga angka di belakang koma (…,506), menghilangkan tiga angka berikutnya (,—127). Cetakan berikutnya diulangi pada kertas yang sama, yang sudah berisi hasil cetakan tadi. Namun sejam kemudian, sungguh mengejutkan, ia menemukan hasil yang sangat berbeda dengan yang diharapkan. Pada awalnya kedua kurva tersebut memang berimpitan, tetapi sedikit demi sedikit bergeser sampai membentuk corak yang benar-benar berbeda sama sekali. Skenario cuaca yang mungkin terjadi sangat berbeda. Inilah yang disebut butterfly effect, yaitu kepakan sayap kupu-kupu di hutan belantara Brazil (pengabaian angka sekecil 0,000127) beberapa bulan kemudian menghasilkan tornado di Texas.
            Fenomena ini berdasarkan teori chaos. Dalam teori chaos, butterfly effect juga dikenal sebagai ketergantungan yang sensitif terhadap kondisi awal. Perubahan yang amat kecil pada kondisi awal dapat mengubah secara drastis kelakuan sistem pada jangka panjang. Demikianlah hukumnya: kesalahan yang sangat kecil dan dianggap layak diabaikan akan menyebabkan bencana besar di kemudian hari.
            Paparan di atas ini biasa digambarkan dengan “Siapa yang menabur angin akan menuai badai”. Perjanjian Baru juga mencatat fenomena ini dengan pernyataan bahwa apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya (Gal. 6:7). Apa yang ditabur seseorang selama hidupnya di dunia yang singkat ini akan dituainya di keabadian. Mungkin kita menganggapnya tidak seimbang dan sukar dipahami, namun itu nyata. Realita ini memperhadapkan manusia pada kehidupan yang berisiko sangat tinggi. Orang yang tidak menyadari hal ini dan tidak mau tahu tentangnya akan cenderung hidup sembrono. Ia tidak peduli bahwa tindakan-tindakan salah yang dilakukannya—walau tampak kecil—akan berdampak sangat besar. Orang bodoh menganggap sesuatu sebagai “kecerobohan kecil”, padahal itu dapat mengurangi upahnya di kekekalan, bahkan menyeret dirinya kepada kebinasaan abadi. Maka janganlah kita bodoh, tetapi pahamilah realita ini dan berhati-hatilah!

Tujuh Puluh Tahun dan Kekekalan
Karena itu, perhatikanlah dengan seksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif. (Ef. 5:15)
            Masa hidup manusia tujuh puluh tahun (Mzm. 90:10), sangat tidak sebanding dengan kekekalan. Mungkin kita berpikir, adillah bila menabur perbuatan selama tujuh puluh tahun dituai selama tujuh puluh tahun; tetapi tidak adil bila menabur perbuatan tujuh puluh tahun harus dituai selama-lamanya.
            Adil tidaknya hal ini bukan menurut kita, melainkan menurut Tuhan. Tuhan yang Mahaadil menentukan kita menabur tujuh puluh tahun, menuai selama-lamanya. Hal ini dapat kita terima kalau kita mengerti dan menghayati kasih dan kesabaran-Nya yang luar biasa dalam menggarap kita.
            Kita adalah orang-orang berdosa yang keras kepala. Tuhan selalu memberi kesempatan kita bertobat, walaupun kita masih sering berbuat banyak kesalahan. Anugerah keselamatan dan kesabaran Tuhan yang disediakan bagi manusia mampu mengimbangi hukuman kekal. Oleh sebab itu, kita tidak hanya memandang kengerian kebinasaan kekal tetapi juga anugerah Tuhan yang tak terukur hari ini, yaitu pengampunan-Nya setiap kali kita salah selama kita masih berkesempatan untuk bertobat. Kesabaran-Nya nyaris tanpa batas. Selama masih dalam anugerah keselamatan-Nya kita selalu mendapat kesempatan untuk dipulihkan dan diperbarui.
            Sebaiknya, kita juga tidak hanya terfokus pada hukuman kekal bagi orang berdosa yang tidak bertobat, tetapi juga kemuliaan kekal bagi mereka yang hidup di jalan Tuhan. Hidup dalam jalan Tuhan, atau hidup dalam pelayanan selama tujuh puluh tahun bagi Tuhan di dunia, akan mendatangkan kemuliaan kekal yang tiada tara. Ini juga merupakan kesenjangan yang luar biasa, tetapi inilah faktanya. Pilihan ada di tangan kita: tujuh puluh tahun dalam pemberontakan kepada Tuhan yang berakibat hukuman api kekal, atau tujuh puluh tahun dalam jalan Tuhan yang membawa kemuliaan dan kebahagiaan kekal?
            Apabila kebenaran di atas ini kita hayati dengan benar, maka kita akan makin termotivasi dan terdorong memilih apa yang benar. Oleh karena itu, pemberitaan Firman Tuhan yang berkenaan dengan hal ini, tidak boleh surut. Kita tidak boleh lupa akan fakta yang dahsyat ini. Kita tidak boleh ceroboh lagi dalam mengisi hari-hari ini hidup ini, sebab apapun yang kita lakukan, akan memiliki dampak yang sangat luar biasa. Oleh sebab itu, kita harus memperhatikan dengan seksama bagaimana kita hidup, hendaklah kita bijaksana dan jangan bodoh.

Bukan Boneka
Demikianlah setiap orang di antara kita akan memberi pertanggungan jawab tentang dirinya sendiri kepada Allah. (Rm. 14:12)
            Manusia adalah makhluk yang agung, menurut gambar dan rupa Allah (Kej. 1:26). Keagungannya juga terletak pada penghargaan Tuhan terhadap manusia untuk menentukan keadaannya sendiri. Dalam hal ini, manusia tidak hidup dalam suratan takdir yang sudah ditentukan untuk diterimanya tanpa bisa mengelak. Konsep suratan takdir membuat manusia tidak lebih dari “boneka” yang tidak berkepribadian dan tidak memiliki kebebasan sama sekali.
            Agama-agama pada umumnya menganggap manusia hidup dalam guratan suratan takdir yang diatur oleh Tuhan. Maka manusia harus bersikap “baik-baik” terhadap Tuhan, bila perlu “menjilat-Nya”. Ini dimaksudkan agar Tuhan jangan membuat suratan takdir yang judulnya “malang” atau “kesialan”. Itulah sebabnya dalam hidup keberagamaan, sering dijumpai orang-orang yang berurusan dengan Tuhan karena hendak membujuk-Nya supaya memberi berkat bukan laknat.
            Cara atau mekanisme berurusan dengan Tuhan yang demikian ini tidak menempatkan orang percaya sebagai anak-anak Tuhan yang bertanggung jawab dan memiliki integritas yang agung. Jikalau keadaan manusia ditentukan oleh suratan takdir—bukan oleh pilihan, keputusan dan tindakannya sendiri—maka etika tidak bisa tampil sewajarnya dan manusia tidak ditempatkan sebagai makhluk yang bertanggung jawab. Tanpa tanggung jawab, tidak perlu bertindak dengan hati-hati, sebab apa pun yang dilakukan tidak akan perlu dipertanggungjawabkan. Kalau manusia hidup di bawah bayang-bayang suratan takdir, apa pun yang dilakukannya tidak akan mengubah apa yang telah digariskan atau ditentukan oleh Tuhan sebagai Sang Sutradara yang menyusun semua storyboard atau alur ceritanya.
            Nyatanya, Alkitab mengatakan manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab (Rm. 14:12). Ini berarti manusia harus menuai apa yang ditaburnya dan bertanggung jawab atas setiap pilihan, keputusan dan tindakannya (Kej. 2:1617). Itulah sebabnya setiap orang harus berhati-hati atas setiap pilihan, keputusan dan tindakannya. Ini sebuah hukum kehidupan. Sesungguhnya, keadaan manusia bukanlah hasil dari penentuan nasib atau takdir. Oleh karenanya, dunia ini bukan panggung sandiwara, tetapi medan pergumulan antara memilih yang jahat atau yang baik, keberuntungan atau kemalangan, kehidupan atau kebinasaan.

Takdir Hidup dan Takdir Mati
            Jangan lagi kita berkata, “Ini sudah takdirku,” kemudian menyerah kalah terhadap keadaan. Kalau kita sakit, kita tidak boleh menyerah terhadap kesehatan yang memburuk itu karena berpikir bahwa itu adalah takdir kita. Kalau kita miskin berkepanjangan, jangan kita berpikir bahwa kita ditakdirkan menjadi orang miskin. Ingat, banyak orang yang kaya berlimpah harta, dulunya juga orang miskin. Harus kita sadari bahwa kemiskinan sering diakibatkan oleh kemalasan dan pemborosan; dan bisa diatasi dengan rajin bekerja dan hemat (Ams. 6:6–11; 13:18; 28:19).
            Dalam hal ini kita bisa menyebut adanya takdir hidup dan takdir mati. Takdir mati menunjuk kepada keadaan hidup kita yang tidak bisa diubah, yang merupakan penentuan yang tidak meminta tanggung jawab dan peran kita sebagai individu. Dalam hal ini kita harus menerima saja dan bersyukur, karena ini adalah “porsi” dari Tuhan Semesta Alam (Mzm. 139:1314). Misalnya, seseorang lahir sebagai seorang pria, sebagai orang Batak, lahir di Pematangsiantar. Di sisi lain ada takdir hidup, yang menunjuk kepada keadaan yang dialami seseorang akibat atau hasil dari tindakannya sendiri. Memang menjadi orang Batak adalah penentuan yang tidak dapat dihindari, tetapi menjadi Batak yang bagaimana? Batak yang menjadi berkat bagi banyak orang, atau Batak yang rusak?
            Banyak orang merasa telah bersikap benar dan rendah hati di hadapan Tuhan karena menerima nasib dengan lapang dada tanpa bersungut-sungut. Memang kita harus menerima takdir mati kita dengan sukacita. Kita harus percaya bahwa porsi yang diberikan-Nya adalah porsi yang paling sempurna bagi masing-masing kita. Jenis kelamin, suku bangsa, golongan darah, bentuk muka, warna kulit, rambut dan lain sebagainya adalah pemberian Tuhan sesuai dengan kebijaksanaan-Nya yang berdaulat. Kita tidak boleh membantahnya sama sekali. Tetapi keadaan hidup selanjutnya atau takdir hidup yang harus diperjuangkan adalah tanggung jawab kita, bukan tanggung jawab Tuhan. Ini tergantung kita sendiri. Mau menjadi orang sukses atau gagal, terserah kita; kaya atau miskin, terserah kita; sehat atau sakit, terserah kita (tergantung bagaimana kita mengelola kesehatan tubuh); pandai atau bodoh, terserah kita (tergantung apakah kita rajin atau malas), dan sebagainya.
            Kita harus bisa membedakan antara takdir hidup (tanggung jawab kita) dan takdir mati (kedaulatan Tuhan). Namun memang kedaulatan Tuhan tetap berarti Ia bisa bertindak sesuai kehendak-Nya untuk sesuatu yang tidak kita mengerti, pada kasus-kasus khusus dapat membuat pengecualian dalam takdir hidup kita.

Saksikan Secara Lengkap
            Tidak sedikit orang yang “memarahi” Tuhan karena merasa bahwa keadaan buruk yang dialaminya terjadi karena Tuhan memperlakukannya secara kejam. Dalam persungutan tersebut tidak jarang orang menganggap dan menuduh Tuhan tidak adil, pilih kasih dan diskriminasi. Ini disebabkan ia melihat orang lain berhasil, sedangkan ia sendiri dalam kegagalan dan keterpurukan. Harus diakui bahwa tidak sedikit sukses karier yang dialami seseorang merupakan hasil kerja kerasnya.
            Banyak orang Kristen membagikan kesaksian mengenai berkat Tuhan atas keberhasilan hidupnya, misalnya dalam kariernya, tanpa mengungkapkan fakta secara lengkap. Maksudnya, ia tidak menunjukkan bahwa dalam mencapai keberhasilan karier tersebut, ia juga bekerja keras, mengambil keputusan dengan penuh pertimbangan, menjaga kesehatan supaya masalah kesehatan tidak mengganggu perjalanan kariernya, dan lain sebagainya. Yang disaksikannya ialah bagaimana Tuhan membuatnya berhasil dalam karier dan memuja-muja Tuhan atas kebaikan-Nya. Dengan tindakannya tersebut, ia pikir ia membesarkan nama Tuhan secara optimal dan berkenan kepada-Nya; tetapi di sisi lain ia tidak mengungkapkan fakta yang sebenarnya secara lengkap. Karenanya tergambar dalam pikiran banyak orang bahwa Tuhan pilih kasih: ada yang diperkenankan memperoleh berkat-Nya yang berlimpah, dan ada yang harus mengalami masa paceklik terus-menerus. Tidak heran kalau ada orang yang berpikir bahwa menjadi sukses adalah kemujuran (seperti mendapat lotere) dan kegagalan adalah kecelakaan.
            Tentu, kita mengakui Tuhan sebagai segalanya; tanpa-Nya kita tidak akan dapat hidup. Dunia dan alam semesta dapat bergulir karena ditopang oleh tangan Tuhan yang Mahakuat (Mzm. 127:1–2). Tetapi juga harus dibagikan kepada orang lain kesaksian perjuangan bagaimana ia meraih keberhasilannya tersebut. Ada karunia, tetapi juga ada tanggung jawab untuk bekerja keras. Kita harus mengucap syukur atas berkat Tuhan, tetapi mengakui bahwa tetesan keringat kita pun berperan.
            Daud dipakai Tuhan luar biasa, sehingga dapat merobohkan Goliat, raksasa yang menakutkan pasukan Israel (1Sam. 17:45–51). Ini sebenarnya bukan hanya karena Daud diberi karunia, tetapi memang pada dasarnya ia seorang yang terlatih dan pemberani. Alkitab menyaksikan, ia pernah membunuh singa dan beruang (1Sam. 17:34–37). Mengapa Daud mampu melakukan hal itu? Karena ia telah belajar berjalan dengan Tuhan setiap hari dan bekerja keras serta bertanggung jawab untuk dapat menjadi seorang yang dipercayai Tuhan menerima berkat-Nya.

Doa dan Tanggungjawab
            Sering kita dengar orang berkata, “Karena doa semua ini dapat terjadi” ketika suatu keberhasilan diraih. Amin, kita setuju segala sesuatu terjadi dalam topangan Tuhan yang sempurna. Tetapi kita tidak boleh menekan atau menutup mata terhadap peran manusia dalam mencapai suatu keberhasilan. Ini sama sekali tidak bermaksud hendak mengurangi pengakuan dan penghargaan terhadap anugerah Tuhan di atas segalanya dalam kehidupan kita. Kita ada sebagaimana ada karena anugerah Tuhan semata-mata (1Kor. 15:10).
            Beberapa tahun lampau, ketika bintang-bintang bulu tangkis kita masih merajai berbagai turnamen pertandingan bulutangkis, tampilah seorang “hamba Tuhan” yang mengklaim bahwa keberhasilan tim Indonesia adalah karena doanya; sebab sementara pertandingan berlangsung, ia mengangkat tangan seperti Musa di atas bukit ketika bangsa Israel berperang melawan bangsa Amalek (Kel. 17:8-16). Setelah Indonesia mendapat piala, tahun berikutnya prestasi bulu tangkis Indonesia makin merosot. Sejak itu tidak ada lagi yang mengklaim bahwa doanya berkuasa mengantar tim Indonesia. Dalam hal ini, bukan berarti doa tidak berkuasa, tetapi tanggung jawab manusia tidak bisa digantikan dengan doa. Doa itu percakapan, bukan sekadar permintaan, apalagi sarana mengatur Tuhan. Juga, dahulu ada seorang petinju Kristen di Indonesia yang berhasil meraih juara dunia sedang bertanding mempertahankan gelar. Pada waktu itu anak-anak Tuhan diminta untuk berdoa dan berpuasa demi kemenangannya. Tim doa suatu persekutuan doa mati-matian mendoakan sang juara. Hasilnya adalah sang juara kalah, KO. Mengapa? Sebab doa tidak dapat menggantikan tanggung jawab. Bagaimana kalau pihak lawan juga orang Kristen? Mereka juga berdoa mohon pertolongan Tuhan Yesus. Wah, kalau Tuhan seperti kita, pasti Ia bingung; siapa yang dimenangkan dan yang dikalahkan?
            Praktik seperti ini selain membuat seseorang melupakan tanggung jawab, juga melahirkan “dukun-dukun” di dalam gereja, yang mengangkat tangan seperti Musa demi berkat Tuhan yang dapat diturunkan —padahal peristiwa Musa berbeda sekali konteksnya. Akhirnya terjadi kultus individu yang merusak kemurnian iman Kristen. Di sini, terjadi pelecehan spiritual terhadap jemaat, yang dipermainkan dengan pengajaran palsu yang merusak kinerja hidup mereka. Terjadi pula praktik dominasi seseorang—yang dianggap tokoh yang memiliki “kesaktian”—terhadap jemaat yang dengan tulus berharap pertolongan Tuhan. Sang tokoh menjadi sumber pertolongan Ini sangat keliru; Tuhanlah yang harus menjadi pusat kehidupan kita.

Misteri Kehidupan
            Harus kita akui, memang ada hal-hal yang terjadi dalam kehidupan ini yang merupakan misteri kehidupan; hal-hal itu mungkin tidak akan terpecahkan sampai kita bertemu dengan Tuhan dan Ia memberikan pikiran yang sempurna nanti. Baru-baru ini ada seorang anak Tuhan yang turut mengambil bagian dalam pelayanan dan dinilai sebagai orang baik, tapi ia cepat meninggal dunia. Semua sahabat—termasuk penulis —menjadi heran: mengapa orang sebaik dia meninggal dalam usia relatif masih muda? Timbullah spekulasi, mungkinkah ada dosa yang terselubung, karena ia baik maka Tuhan memanggilnya secara cepat supaya jangan jatuh dalam dosa di kemudian hari? Dan lain sebagainya. Spekulasi seperti ini seharusnya tidak boleh timbul. Bila kita menjumpai fakta kehidupan yang tidak dapat kita mengerti, maka kita harus diam saja. Diam, diam dan diam, agar kita tidak bersalah kepada Tuhan, dan dalam konteks peristiwa ini kita tidak menambah penderitaan keluarga yang terpukul karena merasa kehilangan orang yang mereka kasihi.
            Dalam perjalanan hidup penulis sebagai pelayan Tuhan yang telah meniti sepanjang lebih dari 30 tahun dalam lingkungan penggembalaan jemaat dan 20 tahun di lingkungan pendidikan teologia, penulis menemukan bahwa Tuhan adalah Pribadi yang tak mudah terbaca. Dulu penulis berpikir bahwa semua masalah yang terjadi dalam kehidupan jemaat dapat ditemukan jawabnya dan seluk beluk Tuhan dapat diuraikan dengan mudah, apalagi dengan bekal ilmu teologi yang telah terkantongi. Tetapi kenyataannya, masih ada banyak hal yang tidak terjawab; mengapa Tuhan mengizinkan hal itu terjadi? Mengapa begini mengapa begitu?
            Tuhan bukanlah seperti angka matematis yang mudah dihitung: 1 + 1 = 2, 3 + 3 = 6. Ia adalah Pribadi Agung yang harus kita terima kenyataannya sebagai Penyimpan berjuta misteri. Ia berdaulat atas semua yang dilakukan-Nya, dan kedaulatan-Nya harus diakui sebagai mutlak atau absolut. Bila Tuhan melakukan suatu tindakan yang tidak kita mengerti, pertama, kita tidak boleh mencurigai Tuhan berbuat sesuatu yang tidak pantas. Segala sesuatu yang dikerjakan-Nya adalah sempurna, dan bagi kemuliaan nama-Nya (Yes. 12:4–5). Kalau sesuatu terjadi bagi kemuliaan nama-Nya, maka kita yang terlibat di dalamnya pasti mendapat anugerah kebaikanNya. Hanya, sering kita hanya belum tahu kebaikan apakah yang disediakan-Nya di balik suatu peristiwa yang menyakitkan dalam kehidupan kita. Kedua, dengan pikiran kita tidak mengerti, tetapi dengan hati kita bisa percaya bahwa segala sesuatu mendatangkan kebaikan bagi orang yang mengasihi-Nya (Rm. 8:28).

Pertumbuhan Gereja
Karena telah ternyata, bahwa kamu adalah surat Kristus, yang ditulis oleh pelayanan kami, ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Allah yang hidup, bukan pada loh-loh batu, melainkan pada loh-loh daging, yaitu di dalam hati manusia. (2Kor. 3:3)
            Tanpa disadari oleh banyak orang, ternyata telah terjadi kompetisi antargereja seperti kompetisi antarperusahaan dalam menarik konsumen. Tidak sedikit gereja berusaha berusaha menyelenggarakan pelayanan sebaik-baiknya, bukan bertujuan supaya bagaimana setiap individu benar-benar berubah menjadi pribadi yang layak menjadi mempelai Tuhan Yesus, tetapi bagaimana gereja yang dipimpinnya menjadi “gereja besar”. Dan ini dianggap menjadi ukuran gereja yang berhasil, gereja yang bertumbuh dan gereja yang diberkati.
            Memang selama ini pemahaman banyak orang Kristen mengenai pertumbuhan gereja selalu mengarah kepada jumlah jemaat, gedung dan asetnya. Itulah sebabnya ada pertanyaan, “Berapa jumlah jemaat yang hadir dalam kebaktian di gereja anda?” Memang tidak semua pertanyaan sejenis bertendensi memakai jumlah jemaat sebagai ukuran keberhasilan gereja.
            Pertumbuhan gereja tidak boleh dipandang dari aspek pertambahan jumlah jemaat semata-mata. Pertumbuhan gereja harus dipandang dari aspek lahirnya petobat-petobat baru yang sebelumnya memang bukan orang percaya: orang-orang yang ke gereja bukan karena membaca iklan promosi kuasa Tuhan di koran, brosur, radio, TV atau sarana lain; tetapi mereka yang merupakan hasil dari pelayanan jemaat Tuhan yang menjadi saksi di tengah-tengah keluarga, keluarga besar dan masyarakat.
            Bagaimana jumlah bilangan jemaat Kristen bertambah pada gereja-gereja mula-mula, selain karena khotbah Petrus di hari Pentakosta? Setelah aniaya berlangsung atas gereja Tuhan mula-mula itu, mereka tidak dapat berkhotbah di tempat terbuka. Mereka harus berlarian untuk menyelamatkan diri dari siksaan dan penjara. Tidak ada kesempatan dan tempat untuk berkhotbah seperti Petrus di Yerusalem. Satu-satunya cara untuk menambah jumlah jemaat adalah adalah kesaksian pribadi. Kesaksian pribadi dari anak-anak Tuhan yang telah diubahkan sangat diperlukan untuk menobatkan orang dengan benar, karena kita adalah surat Kristus yang terbuka, yang dapat dibaca oleh semua orang.

Kesaksian Pribadi
Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna. (Mat. 5:48)
            Kesaksian pribadi adalah cara paling efektif yang ditunjukkan Tuhan untuk membawa jiwa kepada Tuhan Yesus. Kesaksian pribadi ini bukan mengenai kekayaan yang diraih, bukan mengenai gelar dan kedudukan yang dicapai. Meskipun hal-hal ini memiliki pengaruh dan peran yang tidak dapat dianggap ringan, kesaksian pribadi yang dimaksud Alkitab sebagai “surat Kristus” (2Kor. 3:3) adalah kesaksian dalam kehidupan pribadi yang melibatkan seluruh perilaku kita, yaitu setiap perkataan yang diucapkan, keputusan dan tindakan yang menciptakan kondisi atau keadaan hidup yang baik atau bernilai di mata manusia. Orang yang gagal dalam karier, miskin, sakit-sakitan dianggap tidak bernilai oleh orang lain. Kalau yang disaksikan adalah kehidupan yang buruk, maka hasilnya negatif; orang tidak mau menjadi percaya kepada Tuhan Yesus. Tetapi kalau yang ditampilkan ialah kehidupan yang baik, maka akan menggiring orang ke dalam Kerajaan Surga.
            Kehidupan di sini menyangkut seluruh keberadaan kita. Seseorang bisa memiliki kelakukan baik, tetapi kalau hidup ekonominya bermasalah—menjadi beban bagi orang lain—tidak akan bisa memiliki kesaksian yang baik. Sebaliknya juga seseorang yang keadaannya dianggap berhasil di mata manusia tetapi berkelakuan buruk pun tidak dapat menjadi berkat bagi orang lain juga. Kedua aspek ini sebaiknya seimbang, sebab ini akan membuat seseorang makin efektif dengan kesaksian pribadinya untuk mengubah orang lain.
            Kesaksian pribadi yang baik tidak dibangun dalam satu hari atau satu bulan, bahkan tidak cukup beberapa tahun; tetapi dibangun dari perjalanan panjang sejak dini atau sejak muda. Jelaslah betapa pentingnya mempersiapkan generasi muda untuk menjadi agen-agen perubahan di hari esok melalui perjuangan hidup sejak dini. Seorang yang menyadari bahwa hidupnya harus berfungsi sebagai garam dan terang dunia yang mengubah orang lain (Mat. 5:13–14) akan berusaha dengan sungguh-sungguh. Itu menyangkut dua hal. Pertama, bagaimana ia mampu berkelakuan dan berbudi pekerti seperti Tuhan Yesus. Kedua, berusaha dengan segala cara, kerja keras dan mengoptimalkan semua potensi untuk tidak dipandang sebagai manusia gagal di mata manusia lain. Sebab kalau sudah dipandang gagal di mata manusia lain, bagaimana mungkin ia dapat bersaksi?

Membimbing Menuju Kesempurnaan
Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku…. (Mat. 28:19)
            Jiwa-jiwa yang dimenangkan dan dibawa ke gereja harus dilayani dengan baik, yaitu bagaimana mentransformasi (mengubah) mereka menjadi pribadi-pribadi yang bertumbuh dewasa. Pribadi yang layak menjadi mempelai Kristus (Ef. 5:27), dan dapat mengenakan pribadi Kristus (Flp. 2:5). Dalam hal ini gereja perlu memberikan follow up, yitu menindaklanjuti pekerjaan atau pelayanan jemaat yang telah membawa jiwa-jiwa baru tersebut. Bagaimana menyediakan pelayanan yang berpotensi terjadinya perubahan pikiran terus-menerus sehingga memiliki pikiran dan perasaan Kristus. Ini berarti bukan hanya membuat seseorang bertobat secara moral kepada gereja atau agama Kristen lalu menjadi anggota gereja yang setia, tetapi membimbing setiap jemaat menjadi sempurna. Di sini keterlibatan setiap orang dalam gereja untuk menjadi mentor bagi jiwa-jiwa baru sangat penting. Menjadi mentor bukan hanya bisa berbicara mengenai Tuhan atau bisa berkhotbah, tetapi juga dapat memberi keteladan hidup yang baik, seperti yang dikehendaki Tuhan.
            Penyelamatan jiwa adalah proses yang tidak sederhana. Hendaknya gereja tidak cukup puas hanya dengan kehadiran sejumlah dari orang-orang yang tidak bergereja menjadi anggota jemaat. Seperti halnya proses menjala ikan: memindahkan ikan dari sungai, laut atau danau ke darat, sampai ke meja makan. Bila ikan sudah digoreng dan ditaruh di atas meja, tidak mungkin dapat kembali berenang di laut. Demikianlah pula proses menjala jiwa: dari seorang yang tidak percaya dan berdosa menjadi orang yang percaya kepada Tuhan yang dapat juga melayani Tuhan. Orang-orang ini tidak akan kembali lagi hidup seperti sebelum bertobat. Mereka tidak akan menoleh ke belakang seperti istri Lot (Luk. 17:32; Kej. 19:32)
            Pertumbuhan gereja harus dilihat dari aspek kedewasaan rohani jemaat, dan kedewasaan rohani diukur dari seberapa jauh seseorang dapat mengenakan pribadi Kristus. Memang sangat sulit untuk mengukur apakah seseorang sudah mengenakan pribadi Kristus atau belum, tetapi bagaimanapun, kehidupan orang yang mengenakan pribadi Kristus pasti berdampak bagi lingkungannya. Ini menggenapi apa yang Tuhan perintahkan dalam amanat agung-Nya yaitu menjadikan semua bangsa murid-Nya. Kehidupan kita sebagai orang percaya harus menjadi model bagi orang lain membangun moralnya.

All Out
            Dalam bahasa Inggris kita menemukan kata “all out” yang artinya “menggunakan kekuatan atau usaha sepenuhnya”. Tuhan Yesus bertindak “all out” untuk menyelesaikan karya keselamatan bagi kita. Ia bukan saja memberi berkat-Nya bagi kita; bahkan Ia memberikan diri-Nya sendiri bagi kita. Perjuangan menyelamatkan manusia adalah perjuangan habis-habisan yang tidak terbatas. Pengorbanannya tiada terhingga. Ini berarti tidak ada yang disisakan bagi diri-Nya sendiri; semua diberikan bagi kita yang dikasihi-Nya. Kalau Tuhan Yesus all out dalam memperjuangkan keselamatan kita, maka patutlah kita juga menyambut karya keselamatan dari-Nya dengan all out. Dalam berbagai pernyataan-Nya, jelas-jelas di dalam Injil Tuhan Yesus menuntut kita all out. Pernyataan-pernyataan Tuhan Yesus itu antara lain bahwa pengikut-Nya harus menjual segala miliknya (Mrk. 10:21); meninggalkan segala sesuatu (Luk. 9:59–62); menyangkal dirinya (Mat. 16:24); tidak menyayangkan siapa pun, bahkan nyawanya sendiri (Luk. 14:26); dan sebagainya. Semua pernyataan Tuhan ini merupakan suatu tanda yang jelas bahwa mengikut Yesus harus all out bagi Tuhan. Tidak ada yang disisakan bagi dirinya sendiri.
            All out bagi Tuhan berarti dalam hidup ini kita harus melakukan apa saja yang diinginkan-Nya (Mat. 7:21). Masalahnya, bagaimana seseorang bisa all out bagi Tuhan? Tidak bisa tidak, kita harus memahami isi hati Tuhan dan melakukan isi hati-Nya tersebut. Dalam hal ini, yang dilakukan bukanlah dibatasi oleh hukum-hukum yang tertulis secara legalistik—hukum yang dilakukan sesuai dengan bunyinya. Hukum-hukum tertulis belum dapat dan tidak akan bisa menerjemahkan semua isi hati Tuhan yang harus kita lakukan. Itulah sebabnya dalam kekristenan tidak ada syariat agama yang mengatur secara terperinci mengenai cara hidup orang Kristen.
            Hukum terutama yang Tuhan ajarkan yang memotori dan memotivasi seluruh sikap hidup orang percaya adalah “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu” (Mat. 22:37). Hukum ini menunjukkan bahwa pembelaan kita bagi Tuhan tidak dibatasi oleh kalimat dalam hukum, tetapi segenap hidup ini tanpa batas. Memang ini mengesankan bahwa melakukan kehendak Tuhan terdengar abstrak, tetapi inilah yang benar. Mengapa demikian? Sebab Tuhan menekankan sikap hati atau batiniah seseorang (1Sam. 16:7). Sikap lahiriah seseorang belum tentu berasal dari sikap hatinya yang benar, tetapi sikap hati yang benar pasti terwujud dalam tindakan yang dirasakan orang di sekitarnya.

Masihkah Perlu Peraturan?
            Hukum-hukum yang diberikan Tuhan kepada bangsa Israel adalah usaha untuk menjinakkan mereka, atau membuat bangsa itu beradab (1Tim. 1:8–11). Hanya orang yang belum beradab yang harus dibuat beradab oleh hukum. Di beberapa negara Barat, banyak tempat tidak memuat tulisan “dilarang membuang sampah sembarangan”, karena masyarakatnya sudah mengerti bagaimana seharusnya membuang sampah. Di toilet-toilet juga tidak ada tulisan “dilarang berdiri diatas kloset” atau “harap disiram”, karena mereka sudah tahu bagaimana menggunakan kloset secara benar. Masyarakat yang etika kehidupannya sudah baik mengerti bagaimana masuk ke toilet secara santun. Berbeda dengan masyarakat yang kesantunannya rendah, yang masih membutuhkan hukum atau peraturan yang tertulis.
            Ini bukan berarti kita tidak membutuhkan hukum. Hukum harus diberikan selama seseorang belum akil balig atau belum dewasa. Hukum diadakan supaya mendidik mereka menjadi hidup sesuai dengan peraturan. Tetapi hukum bukanlah tujuan, hukum adalah sarana manusia agar menjadi tertib.
            Manusia bisa bersembunyi di balik hukum dan peraturan yang tertulis untuk menghindari pemilikan Tuhan atas hidupnya. Ini mengakibatkan seseorang tidak bisa all out bagi Tuhan. Hukum bisa dimanipulasi, peraturan bisa direlatifkan, tetapi kehendak Tuhan adalah sesuatu yang mutlak. Dalam lingkungan umat Israel pada waktu itu, “hormati hari Sabat” (Kel. 20:8) maksudnya agar pada hari itu umat berbakti kepada Tuhan dan membangun hubungan yang intim. Tetapi lantas diolah sedemikian rupa dalam berbagai bentuk peraturan sampai menghilangkan esensinya: misalnya tidak boleh memetik bulir gandum pada hari Sabat (Mat. 12:1–2), tidak boleh berjalan lebih dari 1100 meter, dan lain sebagainya. Peraturan ini tidaklah esensial, malah merusak maksud hukum Sabat diberikan.
                Kehendak Tuhan itu mutlak dan batiniah sifatnya, tidak dapat dan tidak boleh diganti dengan berbagai peraturan dan ajaran yang akhirnya mengaburkan apa yang seharusnya dilakukan. Misalnya, Tuhan menghendaki segenap hidup kita, digantikan dengan persepuluhan. Ia menghendaki kita melayani di mana saja, digantikan dengan pelayanan di lingkungan gereja. Ia menghendaki kita memberi nilai tinggi Tuhan di mana pun, digantikan praise and worship dalam bentuk nyanyian dan pujian semata-mata. Ia menghendaki semua anak Tuhan jadi hamba Tuhan, tetapi digantikan oleh jabatan dalam gereja sehingga ada orang-orang yang menjadi hamba Tuhan dan yang bukan. Mari kita kembali ke kehendak Tuhan yang benar.

Kita Dapat Menemukan Dia
            Orang yang mau all out bagi Tuhan harus memenuhi dua persyaratan. Pertama, ia harus mengenal kebenaran Alkitab yang memuat hakikat Tuhan yang harus dimengerti oleh manusia yang berurusan dengan Tuhan. Kebenaran ini adalah hasil ekstraksi dari isi Alkitab. Kecakapan mengambil intisari Alkitab atau mengekstrak Alkitab adalah sesuatu yang tidak mudah. Kalau seseorang memiliki kecakapan ini, maka barulah ia mengalami kekagumannya terhadap Firman Tuhan. Dari pemahamannya terhadap kebenaran Alkitab ia dapat mengerti pikiran dan perasaan Tuhan. Syarat kedua, ia harus mengalami Tuhan sebagai Pribadi yang nyata dalam kehidupannya setiap hari, sehingga ia dapat mengerti apa yang dikehendaki Tuhan dalam kehidupannya setiap hari.
            Dalam hal ini kita dapati banyak orang Kristen yang tidak merasa yakin bahwa ia bisa menjangkau Tuhan. Baginya Tuhan adalah Pribadi yang nun jauh tak terjangkau sama sekali. Mereka berpikir bahwa Tuhan hanya dapat dijangkau oleh oknum-oknum tertentu yang diberi karunia khusus untuk itu, oknum-oknum rohaniwan yang ditentukan menjadi perantara antara Tuhan dan umat-Nya. Konsep ini salah dan menyesatkan. Seharusnya setiap kita harus “memburu” Tuhan sampai setiap kita dapat menemukan Dia.
            Banyak nabi palsu yang mengatasnamakan Tuhan berbicara kepada umat-Nya, padahal pesan yang disampaikan adalah pesannya sendiri, bukan pesan Tuhan. Biasanya orang-orang yang berani menjadi nabi ini adalah orang-orang yang tidak mengerti ekstraksi dari Alkitab. Biasanya dalam pelayanan yang diandalkan adalah “suara Tuhan”, bukan penjabaran kebenaran Alkitab. Kalaupun mengambil ayat-ayat Alkitab, mereka tidak menelitinya secara benar. Mereka tidak melakukan ekstraksi yang bertanggung jawab, tetapi secara hurufiah dipungutnya tanpa mempertimbangkan konteks ayat dan latar belakangnya.
            Dampak dari praktik munculnya nabi-nabi palsu ini sangat luar biasa. Banyak orang percaya tidak yakin bahwa dirinya bisa mendengar suara Tuhan, sebagai akibatnya merasa perlu “nabi” untuk bisa mendengar suara Tuhan. Di sini terjadi ketergantungan seseorang terhadap manusia. Seharusnya setiap domba dapat mendengar suara gembalanya dan mengikuti gembalanya tersebut (Yoh. 10:4–5). Jika kita anak-anak domba milik sang Gembala yang Baik (Yoh. 10:11), kita harus mengikuti-Nya, dan membangun kepekaan terhadap suara-Nya melalui kebenaran Alkitab yang murni.

Mengapa Tidak Berani
Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia. (1Kor. 15:58)
            Mengapa orang tidak berani all out bagi Tuhan? Karena mereka tidak mengerti bahwa kekristenan bukanlah agama, atau tidak dapat disejajarkan dengan agama. Agama-agama pada umumnya menyediakan janji-janji dapat melewati kehidupan dengan lebih nyaman. Dengan menganut suatu agama, maka allah yang ditawarkan oleh agama tersebut akan memberikan kesenangan-kesenangan hidup di dunia ini. Allah yang dipercayai oleh suatu agama dapat menjadi andalan untuk mengatasi semua masalah. Kekristenan tidaklah demikian. Diawali dengan penerimaan Tuhan atas kita sebagai anak-anak-Nya, kita dilatih untuk dapat mengerti kehendak-Nya dan melakukan kehendak Bapa. Bisa timbul suatu pertanyaan: Kalau kekristenan tidak menjanjikan kontribusi atau bantuan untuk kehidupan hari ini atau di dunia sekarang ini, untuk apa menjadi Kristen? Harus ditegaskan bahwa kekristenan adalah usaha mengumpulkan harta di Surga, bukan yang di bumi (Mat. 6:20), Di sini kita ditantang untuk memilih, harta duniawi atau harta surgawi.
            Paulus dalam kesaksian hidupnya mengatakan, “Tetapi aku tidak menghiraukan nyawaku sedikit pun, asal saja aku dapat mencapai garis akhir dan menyelesaikan pelayanan yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus kepadaku untuk memberi kesaksian tentang Injil kasih karunia Allah.” (Kis. 20:24) Paulus merupakan teladan dari seorang anak Tuhan yang berani all out bagi Tuhan. Kalau seorang pelaku bom bunuh diri berani all out demi keyakinan atau ideologinya—yang sudah pasti tidak benar—mengapa sebagai orang percaya kita tidak berani all out demi keyakinan yang pasti benar, bahwa Tuhan Yesus telah mati bagi kita? Pengorbanan dan pembelaan bagi Tuhan tidak sia-sia.
            Irama hidup all out bagi Tuhan harus merupakan irama yang biasa diselenggarakan dalam kehidupan ini, sehingga seorang anak Tuhan dengan otomatis telah dapat mengutamakan Tuhan dalam kehidupan ini. Akhirnya kalau seseorang sudah biasa all out bagi Tuhan, tidak bisa lagi hidup tidak all out. Di sini seseorang barulah dapat sejalan dengan Tuhan, ibarat kendaraan kecepatannya makin seimbang. Inilah keseimbangan yang Tuhan kehendaki, agar bisa memikul kuk yang dipasang-Nya (Mat. 11:28–30).

Iman Yang Diekspresikan
Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati. (Yak. 2:26)
            Dewasa ini kembali terjadi bom bunuh diri di dalam negeri akibat terorisme. Bom bunuh diri juga sering terjadi di Irak, Afganistan dan beberapa negara yang sedang mengalami konflik horizontal. Tidak dapat disangkal, keberanian para pelaku bom bunuh diri adalah keberanian yang mencengangkan. Mereka tidak ragu-ragu atas apa yang dilakukannya. Mereka menyongsong kematiannya dengan gagah berani. Mereka yakin bahwa kematiannya bukan kematian konyol, bahkan bisa mendatangkan pahala. Padahal sesuatu yang mengakibatkan penderitaan sesama manusia, jelas tidak berasal dari Tuhan Yang Mahakasih.
            Tentu, tindakan mereka yang membawa bencana ini tidak boleh ditiru. Dalam hal kasus bom bunuh diri ini, yang disoroti adalah keberaniannya mengekspresikan keyakinannya. Mereka sangat yakin bahwa apa yang mereka lakukan adalah tindakan yang benar, dan membela yang benar. Fenomena ini memberi pelajaran yang berharga bagi kita, yaitu bahwa keyakinan yang dimiliki seseorang dalam level tertentu dapat terekspresi secara konkret, bahkan sampai taraf ekstrem. Kalau seseorang memiliki keyakinan bahwa mengiring Tuhan Yesus adalah pilihan yang terbaik, maka keyakinan tersebut seharusnya terekspresi dalam tindakan yang konkret pula. Bila pengiringan tersebut telah melalui waktu yang panjang seharusnya ekspresinya semakin ekstrem. Bila tidak ada ekspresi, berarti tidak ada iman yang benar.
            Alkitab menyatakan bahwa iman tanpa perbuatan seperti tubuh tanpa roh. Maka harus kita pertanyakan, perbuatan apakah yang ada pada kita yang menunjukkan iman? Tanpa tindakan apa-apa berarti tanpa iman. Jadi, iman bukan sesuatu yang abstrak tak terbukti. Iman memiliki perwujudan, yaitu tindakan yang konkret.
            Ketaatan Abraham menuruti perintah Tuhan untuk meninggalkan Ur-kasdim dan kesediaannya mengorbankan Ishak, anak satu-satunya di hari tuanya sebagai korban bakaran, merupakan tindakan yang menunjukkan imannya (Yak. 2:20–24). Tindakan Abraham yang sangat ekstrem tersebut ini adalah tindakan yang menunjukkan imannya. Dengan tindakan tersebut Abraham dapat menjadi model umat Tuhan yang memiliki iman yang benar. Kalau kita mengaku sebagai anak-anak Abraham di dalam iman, maka kita harus memiliki langkah seperti yang telah diperagakannya.

0 comments:

Post a Comment

My Instagram