Reading
Add Comment
Tempat Ibadah Yang Sesungguhnya
Selama ini banyak orang Kristen keliru, yang dimengerti
sebagai “rumah ibadah” adalah bangunan gereja. Banyak orang Kristen merasa
sudah beribadah kepada Tuhan kalau sudah datang ke gereja untuk mengikuti
liturgi. Bila demikian, maka konsep dan kualitas hidup orang Kristen tidak
berbeda dengan orang beragama pada umumnya. Dalam kekristenan, Ibadah adalah
penggunaan seluruh potensi kehidupan untuk kepentingan Tuhan yang ditujukan
bagi sesama dan dapat dirasakan oleh manusia di sekitarnya, maka wilayah ibadah
sesungguhnya adalah seluruh tempat dimana kita berada (Yak. 1:27). Dimanapun kita mengembangkan diri, menggunakan seluruh
potensi kita bagi kepentingan Tuhan yang ditujukan dan dirasakan bagi sesama
adalah tempat ibadah. Dengan demikian, rumah ibadah yang sesungguhnya bukan
hanya digereja tetapi juga rumah keluarga
kita, warung atau toko dimana anak-anak Tuhan berdagang, kantor tempat bekerja,
pabrik, tempat bisnis, sekolah, kampus dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, mulai sekarang, jangan merasa beribadah
kepada Tuhan hanya pada waktu ke gereja. Tetapi, kita harus merasa sedang
beribadah kepada Tuhan ketika di rumah, di kantor, warung, toko, tempat bekerja dan lain sebagainya. Pada waktu pulang ke rumah setelah
selesai bekerja mencari nafkah bukan berhenti beribadah, tetapi beribadah di
rumah untuk mengurusi dan memperhatikan keluarga.
Lalu bagaimana dengan gereja: apakah gereja bukan rumah
ibadah? Gereja adalah rumah ibadah para pendeta dan full timer di
lingkungan gereja, sebab disanalah para rohaniwan menggunakan potensi kehidupan
untuk beribadah kepada Tuhan yang ditujukan bagi jemaat. Bagi jemaat pada
umumnya, gereja lebih disebut sebagai “ruang pertemuan” ketimbang rumah ibadah.
Kita tidak boleh menyamakan liturgi atau upacara agama dengan ibadah. Teks
Alkitab mengatakan: “Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan
ibadah kita….” (Ibr. 10:25). Kata “ibadah” dalam teks aslinya adalah episunagoge
yang lebih tepat diterjemahkan “pertemuan bersama, khususnya pertemuan
orang-orang Kristen”.
Hendaknya kita tidak lagi dibelenggu oleh pemikiran bahwa
ibadah hanya didalam gereja, khususnya yang bertalian dengan penyelenggaraan
liturgi. Ini akan membuat kecenderungan praktik manipulasi rohaniwan yang tidak
lurus terhadap jemaat Tuhan yang mudah menjadi korbannya. Ibadah adalah seluruh
kehidupan ini. Di gereja jemaat Tuhan belajar Firman Tuhan, yaitu bagaimana
menyelenggarakan hidup. Di gereja jemaat mendapat “briefing-nya”. Sedangkan dalam kehidupan setiap hari jemaat
menjalankan “praktiknya”.
Pelayanan Tanpa Batas “Mezbah Pribadi”
Pelayanan tanpa batas juga harus dalam bentuk perjumpaan
dengan Tuhan. Dalam perjumpaan tersebut anak-anak Tuhan bukan hanya
menyampaikan suatu permohonan, tetapi memuji dan menyembah Tuhan secara
pribadi. Ini harus dilakukan setiap orang Kristen tanpa kecuali. Jangan
berpikir keliru seolah-olah Tuhan hanya mau eksklusif dengan beberapa orang
tertentu saja, khususnya hamba – hamba Tuhan. Dengan pikiran yang salah ini
banyak orang Kristen merasa tidak perlu memberikan tempat dan waktu khusus bagi
Tuhan.
Setiap hari, di tengah segala kesibukan dan tugas
kehidupan untuk keluarga, pekerjaan dan lain sebagainya, seorang anak Tuhan
harus membangun mezbah pribadi bagi Tuhan. Inilah perjumpaan mahapenting yang
tidak boleh dihindari atau ditiadakan. Ini lebih berharga dan lebih penting
dari segala urusan lainnya. Mezbah pribadi bagi Tuhan adalah kegiatan yang
mutlak harus diadakan setiap hari, tidak boleh ditunda. Waktu yang tersedia
harus memadai (minimal 30 menit). Semakin mengalami keindahan dalam perjumpaan
dengan Tuhan, semakin kita membutuhkan waktu lebih lama. Ini seperti candu.
Perjumpaan dengan Tuhan itu bisa berupa sebuah meditasi di mana kita meneduhkan
jiwa untuk merenungkan kebenaran-kebenaran Tuhan di dalam Alkitab. Inilah saat
dimana kita merenungkan eksistensi Tuhan dan kebesaran-Nya yang tiada tara.
Pada perjumpaan dengan Tuhan ini, kita harus belajar
memuji Tuhan dengan buah bibir yang memuliakan nama-Nya (Ibr. 13:15). Hati kita harus
ditundukkan untuk menyembah Tuhan. Inilah pelayanan pribadi bagi Tuhan yang
tidak bersangkutpaut dengan manusia lain. Ini urusan Tuhan dengan kita
masing-masing.
Dari usaha menyediakan diri membangun mezbah pribadi untuk
Tuhan tersebut banyak pengalaman adikodrati yang melampaui akal pikiran kita
dapat diperoleh. Sebuah pengalaman batin yang tidak dapat diungkapkan dengan
kata-kata kepada orang lain. Dari mezbah ini akan terjalin satu hubungan yang
sangat eksklusif dengan Tuhan, yang akan memicu kecintaan kita kepada Tuhan.
Kecintaan kepada Tuhan akan merajut motivasi pelayanan yang murni bagi Tuhan
yang kita tujukan bagi sesama. Dengan demikian pelayanan pribadi kepada Tuhan
dalam mezbah pribadi akan membangun pelayanan yang murni dan benar bagi sesama
kita. Mezbah pribadi akan membuat kita tidak asing bila bertemu dengan Tuhan
suatu hari nanti di kekekalan.
Konsep Yang Paradoks “Visi Yang Berbeda”
Pengajaran yang diberikan oleh Tuhan Yesus di dalam Injil
adalah paradoks dengan apa yang diajarkan dunia. Bahkan kehidupan Tuhan Yesus
sendiri adalah kehidupan yang paradoks dengan kehidupan tokoh-tokoh dunia.
Kalau kita tidak mengerti hal ini, kita akan menjadi kecewa dan menolak Tuhan, seperti
apa yang nyaris terjadi dalam kehidupan Yohanes Pembaptis (Mat. 11:1–6). Yohanes
Pembaptis menyatakan Tuhan Yesus sebagai Anak Domba Allah di depan umum (Yoh. 1:29) tetapi tidak
mengenal cara kerja-Nya. Sebagai akibatnya terjadi kekecewaan dan keraguan
terhadap kemesiasan Tuhan Yesus. Ini berarti konsep kemesiasan Yohanes
Pembaptis masih belum tepat benar. Ironis.
Sangat besar kemungkinan konsep Mesias yang ada dalam
pikiran Yohanes Pembaptis sama dengan konsep Mesias yang dimiliki oleh para
murid-murid TuhanYesus, yang pada dasarnya mengadopsi apa yang dipahami oleh
orang Yahudi pada umumnya. Mereka mengharapkan Mesias yang memiliki kekuatan
fisik yang dapat menghalau kekuatan kafir kekaisaran Roma dari bumi Yehuda.
Mereka merindukan pahlawan seperti Daud yang mampu merobohkan kekuatan raksasa
Goliat; tetapi Tuhan Yesus bukanlah sosok seperti yang mereka harapkan.
Salah konsep inilah yang menciptakan kekecewaan
murid-murid Tuhan Yesus, ketika mereka menyaksikan harapan mereka pupus
menyaksikan penyaliban-Nya. Itulah sebabnya mereka tidak bersedia mengiring
Tuhan ketika Ia menghadapi sengsara dan kematian-Nya di kayu Salib. Pengharapan
yang ada pada mereka dijungkirbalikkan oleh kenyataan yang mereka saksikan,
ternyata orang yang sangat mereka harapkan menjadi pendekar “versi mereka”
telah bertekuk lutut di pengadilan kafir dan mati dengan cara sangat rendah.
Mereka tidak bisa menerima kekalahan itu. Sebagai reaksi mereka terhadap
ketidaksiapan menerima realitas tersebut, mereka meninggalkan Tuhan (Mrk. 14:50). Bahkan Petrus,
murid terkemuka sempat menyangkali kebersamaannya dengan Tuhan Yesus (Mat. 26:69–75). Salah konsep
itulah yang mengubah teriakan masyarakat Yerusalem ketika menyambut
kedatangan-Nya ke kota itu, “Hosana” menjadi “Salibkan Dia” (Yoh. 19:6). Mereka kecewa
dan juga marah karena ternyata orang yang mereka harapkan sebagai pahlawan
seakan tidak lebih “pengecut yang tidak berdaya sama sekali”. Untuk menghindari
kesalahpahaman ini, kita harus mengenal visi Tuhan Yesus dengan benar. Salah
konsep ini dapat berujung pada pengkhianatan terhadap Tuhan.
Konsep Yang Paradoks “Khotbah Yang Keras”
Penyaliban Tuhan Yesus merupakan penggenapan apa yang
dikatakan-Nya selama bersama-sama dengan murid-murid-Nya, bahwa tubuh-Nya benar-benar
makanan dan darah-Nya benar-benar minuman (Yoh.6:53–56). Mereka menganggap pernyataan Tuhan Yesus tersebut
sebagai khotbah yang keras (Yoh. 6:60). Umumnya khotbah
yang dinilai keras adalah yang berani terang-terangan menelanjangi perbuatan
amoral di depan umum. Sebetulnya itu lebih tepat dikatakan khotbah yang kasar.
Alkitab tidak merumuskan demikian. Khotbah yang keras adalah yang memuat
nasihat, anjuran standar kehidupan yang bertentangan dengan naluri manusia:
hasrat untuk menikmati kenyamanan hidup di dunia hari ini.
Dari hal tersebut terlihat bahwa apa yang diajarkan Tuhan
Yesus tidak sesuai dengan naluri insani. Dengan demikian dapat ditarik
kesimpulan bahwa Injil yang murni adalah injil yang tidak berkenan di hati
manusia atau bertentangan dengan naluri insani (Gal. 1:9–10). Sebagai contohnya, Tuhan Yesus berkata, “Jangan
kumpulkan harta di bumi” (Mat. 6:19). Padahal naluri
manusia adalah mengumpulkan harta di dunia ini. Dalam hal ini perbedaan
terletak pada tujuan hidup. Mengapa murid murid Tuhan Yesus dan orang-orang
Yahudi kecewa terhadap Tuhan Yesus? Sebab mereka tidak mengerti tujuan yang
hendak dicapai oleh Tuhan Yesus. Perbedaan mereka dengan Tuhan Yesus merupakan
perbedaan yang sangat mencolok, yaitu seperti bumi dan langit. Murid-murid
memikirkan perkara di bumi, Tuhan Yesus memikirkan perkara yang di atas (Kol. 3:1–4). Murid-murid mau
menyelamatkan kehidupan hari ini, tetapi Tuhan Yesus mau kehilangan
kehidupan-Nya di dunia (Mat. 10:39). Murid-murid-Nya
menjauhi dan menghindari kematian, tetapi justru Yesus menerima kematian dan
masuk ke dalamnya (Mat.
16:21-26).
Orang-orang Kristen yang tidak belajar Firman Tuhan
secara murni akan tersesat dan terjebak dalam pola hidup duniawi yang sangat
materialisme
(Luk. 8:14). Mereka berpikir itu bukan suatu kesalahan. Mereka
menganggapnya kehidupan manusia normal yang harus dijalani. Agar supaya
perjalanan hidup ini menjadi lebih mudah, mereka berurusan dengan Tuhan untuk
memperoleh bantuan yang sangat besar dan berarti. Orang-orang Kristen model ini
masih menjadikan dunia ini sebagai tujuan. Mereka bukannya mau melepaskan
kehidupan tetapi mempertahankan kehidupan. Mereka mengharapkan takhta dunia dan
mahkotanya, dan menolak salib. Biasanya mata hati orang-orang ini telah
tertutup oleh keindahan dunia hari ini, kekuatiran, kenikmatan hidup
dan kekayaan dunia.
Konsep Yang Paradoks “Jalan Ketidakberdayaan”
Perbedaan yang mencolok antara pola kerja Tuhan dengan
murid-murid yang mewakili manusia adalah cara untuk mencapai tujuan tersebut.
Biasanya manusia menggunakan kekuasaan untuk mencapai tujuan, tetapi Tuhan
Yesus tidak demikian. Tuhan Yesus menjalani kehidupan ini dengan melepaskan
semua klaim pada kekuasan dan memilih jalan ketidakberdayaan. Kematian-Nya di
kayu salib tanpa melawan menunjukkan cara-Nya untuk mencapai tujuan-Nya. Ketika
menghadapi siksaan yang begitu hebat, Ia bukannya tidak mampu menghindarinya.
Ia bisa saja menyuruh malaikat-Nya datang untuk membantu-Nya, tetapi Ia tidak
melakukannya.
Bila seorang penginjil dalam misi pemberitaannya ditolak
di suatu tempat, ia harus hanya menghindar dan meninggalkan tempat tersebut (Mat. 10:14). Tentu dalam hal
ini seorang penginjil tidak mudah menyerah terlebih dahulu sebelum mendapat
komando Tuhan untuk meninggalkan tempat itu. Anak Tuhan tidak boleh membalas
dendam atas penolakan orang terhadap Injil. Pemberitaan Injil tidak boleh
menggunakan “pedang”, seperti beberapa agama lain di dunia, yang menyebarkan
agamanya menggunakan kekerasan dan intimidasi. Tidak jarang mereka juga
menggunakan cara-cara licik dan teror yang mendatangkan bencana bagi orang yang
tak bersalah.
Dengan penyebaran Injil menggunakan pola ini, bisakah
Injil sampai ke ujung bumi? Ternyata bisa. Sebagai contohnya, bertahun-tahun
orang Kristen teraniaya hebat oleh kekuasaan Roma. Kaisar-kaisar Roma bukan
saja menganiaya orang Kristen, tetapi berusaha mengenyahkan Injil dari muka
bumi dengan kekuatan yang luar biasa. Tetapi pada akhirnya seluruh Roma dikristenkan
dan agama Kristen menjadi agama negara pada tahun 380 oleh titah Kaisar
Theodosius Agung. Pemberitaan Injil yang efektif adalah melalui pola kehidupan
yang memancarkan pribadi Kristus yang penuh kasih. Pola ini merupakan pola
penginjilan yang baku yang harus terselenggara dalam kehidupan setiap anak
Tuhan. Memberitakan Injil bukan hanya menceritakan atau mengkhotbahkan tentang
Yesus, tetapi memperagakan kehidupan Yesus.
Kalau dalam mencapai tujuan-Nya Tuhan Yesus memilih jalan
tanpa kekerasan, anak-anak Tuhan juga harus meneladani kehidupan-Nya tersebut.
Pemberitaan Injil dengan kata-kata bujukan dan iming-iming materi akan
membangkitkan tuduhan “kristenisasi”, tetapi kalau memperagakan suatu kehidupan
yang luar biasa baik, maka orang tidak bisa mengutuk Injil. Perbuatan baik akan
menunjukkan bahwa Tuhan Yesus adalah Tuhan yang hidup dan Injil bukan isapan
jempol.
Upah dan Pelayanan “Hukum Pelayanan”
Upahku ialah ini: bahwa aku boleh memberitakan Injil tanpa upah, dan bahwa
aku tidak mempergunakan hakku sebagai pemberita Injil. (1Kor. 9:18)
Dalam pernyataan Rasul Paulus ini ada suatu hukum
pelayanan yang sangat luar biasa, yang membuat pelayanan kepada Tuhan bermutu
sangat tinggi. Paulus hendak mengajarkan kepada semua jemaat suatu hukum
pelayanan yang telah dikenakan dalam hidupnya tersebut: Pelayanan bukan usaha
untuk mencari atau mendapatkan upah. Upah tidak boleh menjadi dorongan
pelayanan.
Tentu upah yang dimaksud Paulus di sini adalah haknya
sebagai pemberita Injil: nafkah yang dapat diperoleh dari jemaat seperti yang
dikemukakan dalam tulisannya: “… Seorang pekerja patut mendapat upahnya”
(1Tim. 5:18).
Memang seorang pekerja injil patut hidup dari pelayanannya, tetapi itu tidak
menjadi suatu hukum yang mutlak harus dipenuhi. Paulus sendiri berusaha untuk
tidak menjadi beban dan batu sandungan bagi jemaat. Ia berusaha dengan
tangannya sendiri mencari nafkah guna kehidupan sehari-hari dan biaya
pelayanannya, bahkan ongkos pelayanan pekerja yang lain (Kis. 18:2–3; 1Kor.4:12). Bisa
dibayangkan betapa sulit kehidupan hamba Tuhan ini, tetapi ia tidak pernah
mengeluh dan menuntut kehidupan yang layak dari jemaat yang dilayani. Dalam
pernyataannya, ia berkata, “Perak atau emas atau pakaian tidak pernah aku
ingini dari siapa pun juga.” (Kis 20:33)
Hukum pelayanan ini juga sebenarnya hukum kehidupan yang
harus dan pasti dapat dikenakan dalam kehidupan semua orang percaya, bukan
monopoli Paulus dan orang-orang tertentu yang memiliki karunia khusus. Untuk
bisa mengenakan hukum ini, seseorang tidak harus memiliki karunia ekstra,
karena itu tidak mustahil. Anak Tuhan harus dalam integritas tinggi mengenakan
kebenaran ini.
Ini disebut sebagai hukum, karena standar inilah yang
seharusnya menjadi standar ideal. Hukum pelayanan dan hukum kehidupan ini adalah standar normal setiap anak Tuhan.
Menjadi kebahagiaan yang luar biasa kalau seseorang dapat mengenakannya. Sangat
disayangkan kalau dewasa ini banyak orang Kristen tidak pernah mengenal
kebenaran yang indah seperti ini, sebab semangat komersial telah menembus dan
mewarnai kehidupan hamba-hamba Tuhan di gereja sehingga merusak seluruh
kehidupan jemaat.
Upah dan Pelayanan “Bukan Kewajiban Melainkan Hak”
Kalimat Rasul Paulus dalam 1Kor. 9:18 memuat
hukum kehidupan dan hukum pelayanan yang pada dasarnya hendak mengemukakan
bahwa menjadi seorang anak Tuhan yang benar haruslah berani menganggap
kewajiban sebagai hak, atau mengubah sikap terhadap kewajiban menjadi sikap
terhadap hak. Dalam hal ini memberitakan Injil yang adalah kewajiban, bagi
Paulus disikapi sebagai hak. Paulus tidak mengubah kewajiban yang harus dia
penuhi, tetapi sikapnya terhadap kewajiban tersebut diubahnya. Pada umumnya
orang menganggap kewajiban sebagai beban, sehingga disikapi dengan hati yang
berat, tetapi Paulus menjadikannya kesukaan. Kalau sudah demikian, upah tidak
menjadi motif dorongan melakukan suatu kewajiban.
Kalau anak-anak Tuhan menuntut haknya sebagai anak
terhadap Tuhan sebagai Bapa, ini sama seperti seorang anak menuntut orang tua
untuk memenuhi kewajibannya terhadap anak. Ini karena kewajiban orang tua
tersebut merupakan hak anak. Orang tua wajib memberi makan, pendidikan dan
segala kebutuhan yang menjadi hak anaknya; karena itu ada anak yang
menuntutnya. Namun sebenarnya tidak perlu dituntut pun orang tua yang baik akan
memenuhi kewajibannya. Biasanya masalahnya terletak kepada anak-anaknya.
Kewajiban anak adalah belajar di sekolah, kuliah dan membantu orang tua. Paulus
seperti seorang anak yang melakukan kewajiban tanpa menuntut haknya. Dari
pernyataan Paulus tersebut tampak jelas bahwa melakukan tugas atau kewajiban
adalah kebutuhan yang menyenangkan, bukanlah suatu beban yang menyakitkan. Ia
percaya bahwa Bapa di Surga bisa dipercayai memenuhi bagian-Nya. Pengakuannya:
“Itulah sebabnya aku menderita semuanya ini, tetapi aku tidak malu; karena
aku tahu kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia berkuasa
memeliharakan apa yang telah dipercayakan-Nya kepadaku hingga pada hari Tuhan.”
(2Tim. 1:12)
Memberitakan
Injil adalah kewajiban yang harus dipenuhi. Kalau kewajiban dipenuhi maka
pelakunya berhak menerima upah. Dalam kasus ini Paulus mau dan bersedia dengan
rela mengerjakan kewajiban atau tugas memberitakan injil, tetapi ia tidak
mempersoalkan atau menuntut upah. Paulus tidak mempersoalkan hak upah yang bisa
diperolehnya, walaupun ia berhak meraihnya. Bagi Paulus, memberitakan Injil
lebih berarti dari upah apa pun yang ia dapat peroleh dari jemaat Tuhan yang ia
layani. Ia menganggap bahwa memberitakan injil tanpa upah adalah hak istimewa.
Upah dan Pelayanan “Ekspresi”
Tetapi sekarang sebagai tawanan Roh aku pergi ke Yerusalem dan aku tidak
tahu apa yang akan terjadi atas diriku di situ selain dari pada yang dinyatakan
Roh Kudus dari kota ke kota kepadaku, bahwa penjara dan sengsara menunggu aku.
Tetapi aku tidak menghiraukan nyawaku sedikit pun, asal saja aku dapat mencapai
garis akhir dan menyelesaikan pelayanan yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus
kepadaku untuk memberi kesaksian tentang Injil kasih karunia Allah. (Kis. 20:22–24)
Melayani Tuhan adalah ekspresi dari cinta kasih kita
kepada-Nya. Perasan cinta kasih kepada seseorang atau sesuatu membutuhkan
ekspresi atau sarana untuk menyalurkannya; tanpa ekspresi, bisa menimbulkan
penderitaan yang hebat atau tekanan jiwa. Gelora yang benar dari cinta kasih
seseorang tidak mudah dapat dibendung, malah kadang ada yang tidak dapat
dibendung sama sekali. Ini tentu tergantung seberapa besar cinta kasih yang
meledak dalam diri seseorang.
Pengalaman tersebut tentu sudah dialami hampir setiap
insan. Kasih orang tua terhadap anak, anak terhadap orang tua, pria kepada
wanita atau sebaliknya, kepada negara atau tanah air dan lain sebagainya.
Ledakan atau ekspresi cinta kasih manusia dalam konteks tersebut dapat
ditemukan dalam sejarah kehidupan manusia dan kita alami secara konkrit. Kita
semua adalah pelaku-pelakunya. Tahun-tahun yang panjang telah kita lalui dalam
ledakan-ledakan cinta kasih kepada banyak objek.
Kita pernah memiliki ledakan kasih kepada banyak objek,
tetapi pernahkah kita mengalami ledakan kasih terhadap Tuhan? Seseorang yang
mengekspresikan cinta kasih kepada objek tertentu tidak akan mengharapkan dan
menuntut upah. Baginya, dapat mengekspresikan cinta kasih itu sendiri sudah
merupakan kebahagiaan dan kepuasan. Orang yang membutuhkan penyaluran cinta
kasih kepada suatu objek seolah-olah mau berkata: “Izinkan aku mengasihimu, itu
cukup bagiku”. Mengapa demikian? Sebab jika seseorang boleh mengekspresikan
atau menyalurkan cinta kasih, itu sudah merupakan pemberian atau anugerah, ia
tidak pernah berpikir apakah ia akan memperoleh keuntungan berupa upah dari
objek cinta kasihnya.
Dalam kesaksiannya di ayat-ayat di atas, tampak bahwa
Rasul Paulus merupakan seorang model hamba Tuhan yang menunjukkan ledakan cinta
kasihnya yang begitu hebat kepada Tuhan. Dalam pelayanannya, ia bukan saja
tidak menuntut upah, tetapi juga siap menghadapi segala keadaan demi kemajuan
Injil.
Upah dan Pelayanan “Ledakan Cinta Kasih”
Dalam perjalanan pelayanan Tuhan Yesus, kita temukan
ledakan cinta kasihNya kepada Bapa-Nya. Tindakan Yesus di Bait Suci merupakan
contohnya. Ketika melihat halaman Bait Suci digunakan untuk jual beli, Tuhan
Yesus menjadi marah dan melakukan suatu tindakan yang sangat radikal. Tindakan
itu diungkapkan dengan kalimat, “Cinta untuk rumah-Mu menghanguskan Aku”
(Yoh. 2:17). Ia menjungkirbalikkan
meja tempat para penukar uang melakukan transaksi dan mengusir para pedagang hewan
korban dengan cemeti. Ini pasti membuat halaman bait Suci menjadi heboh.
Tindakan ini suatu keberanian yang luar biasa. Mengherankan, ternyata Tuhan
Yesus tidak didemo dan dikeroyok oleh para pedagang.
Ledakan cinta kasih Tuhan Yesus dalam fragmen penyucian
Bait Suci adalah ledakan cinta kasih yang paling mulia di sepanjang sejarah
alam semesta. Ini diharapkan dapat dimiliki pengikut-pengikut Yesus. Memang,
mengikuti-Nya berarti mengikuti jejak-Nya, termasuk ledakan cinta kasih-Nya
kepada Bapa di Surga.
Ledakan itu juga ditunjukkan dengan sikap Tuhan Yesus
yang tetap bertahan menantikan perempuan Samaria di sumur Yakub dekat Kota
Sikhar ketimbang masuk kota mencari makanan, walalupun Ia sudah letih dan lapar. Tuhan Yesus berkata, “Makanan-Ku
ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya”
(Yoh. 4:34).
Dalam seluruh perjalanan pelayanan Tuhan Yesus, tampak
kecintaan kepada Bapa yang ditandai dengan ketaatan-Nya sampai mati bahkan mati
di kayu salib (Flp 2:5–9).
Inilah ketaatan yang tak bersyarat, dipersembahkan tanpa menuntut upah. Di
dalam hal ini tidak pernah kita temukan Ia menuntut upah. Tuhan Yesus juga
mengajar orang percaya untuk memiliki sikap seperti ini. Ia memampukan setiap
orang percaya untuk memiliki sikap seperti yang Ia miliki. Itulah sebabnya
dikatakan Ia menjadi yang sulung diantara banyak saudara (Rm. 8:29).
Tuhan Yesus juga pernah menasihati, “Demikian jugalah
kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu,
hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya
melakukan apa yang kami harus lakukan”. (Luk. 17:10). Tidak
tersirat sama sekali adanya upah sebagai motivasi seseorang melakukan suatu
tugas atau kewajiban yang diberikan. Secara jelas Tuhan Yesus mengajarkan bahwa
dalam segala sesuatu yang kita kerjakan bagi Dia, kita tidak boleh mengharapkan
atau menantikan upah.
Upah dan Pelayanan “Kemuliaan Dalam KerajaanNya”
Apakah teladan Paulus (1Kor. 9:18) dan ajaran
Tuhan Yesus untuk melayani tanpa mengharapkan upah berarti kita tidak mendapat
upah? Tentu upah yang dimaksud dalam 1Kor. 9:18 tersebut
adalah upah di dunia ini, yaitu jaminan hidup sebagai seorang pelayan Tuhan.
Seorang pelayan Tuhan yang mengerti kebenaran tidak akan mengharapkan upah
apapun di bumi ini; boleh melayani pekerjaan Tuhan itu pun sudah merupakan
kehormatan yang luar biasa. Dengan melayani Tuhan, kita diperkenan menjadi
sahabat-Nya (Yoh. 15:14–15).
Siapakah kita sehingga diperkenankan menjadi sahabat Yesus? Menjadi sahabat
Yesus berarti mendapat tempat bersama-sama dengan Yesus dalam Kerajaan-Nya (Yoh. 14:1–3). Inilah yang
menjadi kerinduan Paulus, sehingga ia menyatakan, “… Aku melupakan apa yang
telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku dan
berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan surgawi
dari Allah dalam Kristus Yesus” (Fil. 3:12–14).
Bukan karena upah itu kita melayani Tuhan, tetapi setiap
pelayanan dan kesetiaan pasti mendatangkan upah; dan upah orang percaya
tersedia dalam kerajaanNya. Melayani Tuhan memiliki dampak yang tidak terukur.
Pengorbanan dalam pelayanan bagi Tuhan di dunia ini dapat diukur, tetapi buah
dari pelayanan bagi Tuhan tidak terukur. Itulah sebabnya dikatakan, “Bahwa
penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang
akan dinyatakan kepada kita, orang percaya” (Rm. 8:18). Hanya
orang-orang bodoh yang tidak berakal yang tidak memanfaatkan kesempatan ini.
Orang-orang bijaksana akan memberi hidupnya untuk melayani Tuhan dengan apapun
yang dapat dilakukan bagi Tuhan. Doanya adalah, ”Tuhan ambil hidupku untuk
melayani Engkau. Bukan emas dan perak yang kuminta tetapi beri aku kesempatan
untuk mengabdi kepada-Mu”
Pengorbanan yang ditunjukkan oleh orang percaya kepada
Tuhan Yesus dengan motif yang benar tidak akan diabaikan Tuhan. Pengorbanan
mereka terhadap Tuhan bisa dianggap gratis, sebab memang Tuhan telah membeli
setiap orang percaya dengan darah-Nya dan setiap orang percaya memang harus
mengabdi bagi Tuhan. Tetapi Tuhan tetap memperhitungkan dengan teliti dan
memberi upah di dalam kerajaan-Nya (Luk. 22:28–30; Why. 14:13). Kita
dipanggil Tuhan untuk menerima berkat abadi ini dengan melayani Tuhan; kita
pasti memiliki bagian di dalamnya.
“Penuaian Yang Negatif”
Bila berbicara mengenai penuaian, biasanya orang Kristen
selalu menghubungkan dengan usaha untuk membawa orang-orang yang tidak percaya
menjadi anak-anak Tuhan. Ini ditandai dengan bertambahnya jumlah anggota
gereja. Inilah penuaian positif yang menguntungkan pekerjaan Tuhan, di mana
jiwa-jiwa diselamatkan. Tanpa disadari oleh banyak orang, terdapat pula
penuaian negatif, yaitu usaha untuk membawa jiwa-jiwa ke dalam kegelapan abadi
sebagai usaha kuasa kegelapan yang sangat aktif dan melakukan penuaiannya
secara terselubung, diam-diam, intensif dan sistematis. Ini bisa dilakukannya,
karena Iblis memang oknum yang cerdik luar biasa. Tanpa kecerdasan dari Tuhan
kita tidak akan dapat menangkap manuvernya.
Manuver kuasa kegelapan ini berorientasi pada perusakan
pola pikir (mindset) setiap individu. Mindset yang terbentuk
sedemikian rupa bisa sampai pada keadaan tidak bisa diubah atau diperbaiki
kembali. Untuk maksudnya ini, kuasa kegelapan dapat menggunakan segala cara
yang sangat licin dan halus. Kuasa kegelapan bukan hanya bisa dan mampu
bergerak di area di luar komunitas Kristen tetapi juga bergerak di area
kehidupan anak-anak Tuhan dan aktivitas rohaninya. Perlu dicatat di sini bahwa
di tengah suasana kebangunan rohani di Yerusalem pun kuasa kegelapan dapat
menghasut Ananias dan Safira melakukan kesalahan yang berkategori fatal (Kis. 5:1–11).
Melalui berbagai media, kuasa kegelapan terus berusaha
mewarnai jiwa orang-orang Kristen agar makin fasik, makin tidak mengenal
kebenaran Tuhan, dan tidak takut Tuhan. Melalui berbagai kegiatan, kuasa
kegelapan bisa menyuntikkan filosofi yang tidak murni Alkitabiah. Unsur-unsur
yang tidak murni bila ditelorir masuk ke dalam gereja akan membuka celah
terhadap unsur-unsur kafir masuk ke dalam gereja. Bila hal ini berlangsung
terus maka sikap adaptif—penyesuaian diri dengan keadaan—berupa kompromi dengan
ketidakbenaran menjadi kebiasaan gereja. Harus diingat bahwa kebenaran selalu
bulat, tidak setengah-setengah.
Gereja harus waspada terhadap setiap fenomena yang
terjadi dalam kehidupan umat Tuhan, dalam hal ini khususnya anak-anak muda yang
memiliki usia efektif dipersiapkan menjadi pewaris Kerajaan Allah. Untuk masuk
Kerajaan Surga seseorang harus memiliki gaya hidup yang sudah diubahkan (Yoh. 3:5). Gaya hidup
yang diubahkan bagai pakaian pesta yang melayakkan seseorang masuk kemuliaan
bersama Tuhan Yesus (Mat. 22:2–14).
Ke surga bukan suatu kebetulan, dan ke neraka bukan suatu kecelakaan. Faktanya,
ini adalah pilihan. Dan pilihan tersebut sudah nyata sejak seseorang masih
hidup dalam dunia.
0 comments:
Post a Comment