Injil Kebenaran Yang Murni (Bag. 1)

Tempat Ibadah Yang Sesungguhnya
            Selama ini banyak orang Kristen keliru, yang dimengerti sebagai “rumah ibadah” adalah bangunan gereja. Banyak orang Kristen merasa sudah beribadah kepada Tuhan kalau sudah datang ke gereja untuk mengikuti liturgi. Bila demikian, maka konsep dan kualitas hidup orang Kristen tidak berbeda dengan orang beragama pada umumnya. Dalam kekristenan, Ibadah adalah penggunaan seluruh potensi kehidupan untuk kepentingan Tuhan yang ditujukan bagi sesama dan dapat dirasakan oleh manusia di sekitarnya, maka wilayah ibadah sesungguhnya adalah seluruh tempat dimana kita berada (Yak. 1:27). Dimanapun kita mengembangkan diri, menggunakan seluruh potensi kita bagi kepentingan Tuhan yang ditujukan dan dirasakan bagi sesama adalah tempat ibadah. Dengan demikian, rumah ibadah yang sesungguhnya bukan hanya digereja tetapi juga rumah keluarga kita, warung atau toko dimana anak-anak Tuhan berdagang, kantor tempat bekerja, pabrik, tempat bisnis, sekolah, kampus dan lain sebagainya.
            Oleh karena itu, mulai sekarang, jangan merasa beribadah kepada Tuhan hanya pada waktu ke gereja. Tetapi, kita harus merasa sedang beribadah kepada Tuhan ketika di rumah, di kantor, warung, toko, tempat bekerja dan lain sebagainya. Pada waktu pulang ke rumah setelah selesai bekerja mencari nafkah bukan berhenti beribadah, tetapi beribadah di rumah untuk mengurusi dan memperhatikan keluarga.
            Lalu bagaimana dengan gereja: apakah gereja bukan rumah ibadah? Gereja adalah rumah ibadah para pendeta dan full timer di lingkungan gereja, sebab disanalah para rohaniwan menggunakan potensi kehidupan untuk beribadah kepada Tuhan yang ditujukan bagi jemaat. Bagi jemaat pada umumnya, gereja lebih disebut sebagai “ruang pertemuan” ketimbang rumah ibadah. Kita tidak boleh menyamakan liturgi atau upacara agama dengan ibadah. Teks Alkitab mengatakan: “Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita….” (Ibr. 10:25). Kata “ibadah” dalam teks aslinya adalah episunagoge yang lebih tepat diterjemahkan “pertemuan bersama, khususnya pertemuan orang-orang Kristen”.
            Hendaknya kita tidak lagi dibelenggu oleh pemikiran bahwa ibadah hanya didalam gereja, khususnya yang bertalian dengan penyelenggaraan liturgi. Ini akan membuat kecenderungan praktik manipulasi rohaniwan yang tidak lurus terhadap jemaat Tuhan yang mudah menjadi korbannya. Ibadah adalah seluruh kehidupan ini. Di gereja jemaat Tuhan belajar Firman Tuhan, yaitu bagaimana menyelenggarakan hidup. Di gereja jemaat mendapat “briefing-nya”. Sedangkan dalam kehidupan setiap hari jemaat menjalankan “praktiknya”.

Pelayanan Tanpa Batas “Mezbah Pribadi”
            Pelayanan tanpa batas juga harus dalam bentuk perjumpaan dengan Tuhan. Dalam perjumpaan tersebut anak-anak Tuhan bukan hanya menyampaikan suatu permohonan, tetapi memuji dan menyembah Tuhan secara pribadi. Ini harus dilakukan setiap orang Kristen tanpa kecuali. Jangan berpikir keliru seolah-olah Tuhan hanya mau eksklusif dengan beberapa orang tertentu saja, khususnya hamba – hamba Tuhan. Dengan pikiran yang salah ini banyak orang Kristen merasa tidak perlu memberikan tempat dan waktu khusus bagi Tuhan.
            Setiap hari, di tengah segala kesibukan dan tugas kehidupan untuk keluarga, pekerjaan dan lain sebagainya, seorang anak Tuhan harus membangun mezbah pribadi bagi Tuhan. Inilah perjumpaan mahapenting yang tidak boleh dihindari atau ditiadakan. Ini lebih berharga dan lebih penting dari segala urusan lainnya. Mezbah pribadi bagi Tuhan adalah kegiatan yang mutlak harus diadakan setiap hari, tidak boleh ditunda. Waktu yang tersedia harus memadai (minimal 30 menit). Semakin mengalami keindahan dalam perjumpaan dengan Tuhan, semakin kita membutuhkan waktu lebih lama. Ini seperti candu. Perjumpaan dengan Tuhan itu bisa berupa sebuah meditasi di mana kita meneduhkan jiwa untuk merenungkan kebenaran-kebenaran Tuhan di dalam Alkitab. Inilah saat dimana kita merenungkan eksistensi Tuhan dan kebesaran-Nya yang tiada tara.
            Pada perjumpaan dengan Tuhan ini, kita harus belajar memuji Tuhan dengan buah bibir yang memuliakan nama-Nya (Ibr. 13:15). Hati kita harus ditundukkan untuk menyembah Tuhan. Inilah pelayanan pribadi bagi Tuhan yang tidak bersangkutpaut dengan manusia lain. Ini urusan Tuhan dengan kita masing-masing.
            Dari usaha menyediakan diri membangun mezbah pribadi untuk Tuhan tersebut banyak pengalaman adikodrati yang melampaui akal pikiran kita dapat diperoleh. Sebuah pengalaman batin yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata kepada orang lain. Dari mezbah ini akan terjalin satu hubungan yang sangat eksklusif dengan Tuhan, yang akan memicu kecintaan kita kepada Tuhan. Kecintaan kepada Tuhan akan merajut motivasi pelayanan yang murni bagi Tuhan yang kita tujukan bagi sesama. Dengan demikian pelayanan pribadi kepada Tuhan dalam mezbah pribadi akan membangun pelayanan yang murni dan benar bagi sesama kita. Mezbah pribadi akan membuat kita tidak asing bila bertemu dengan Tuhan suatu hari nanti di kekekalan.

Konsep Yang Paradoks “Visi Yang Berbeda”
            Pengajaran yang diberikan oleh Tuhan Yesus di dalam Injil adalah paradoks dengan apa yang diajarkan dunia. Bahkan kehidupan Tuhan Yesus sendiri adalah kehidupan yang paradoks dengan kehidupan tokoh-tokoh dunia. Kalau kita tidak mengerti hal ini, kita akan menjadi kecewa dan menolak Tuhan, seperti apa yang nyaris terjadi dalam kehidupan Yohanes Pembaptis (Mat. 11:1–6). Yohanes Pembaptis menyatakan Tuhan Yesus sebagai Anak Domba Allah di depan umum (Yoh. 1:29) tetapi tidak mengenal cara kerja-Nya. Sebagai akibatnya terjadi kekecewaan dan keraguan terhadap kemesiasan Tuhan Yesus. Ini berarti konsep kemesiasan Yohanes Pembaptis masih belum tepat benar. Ironis.
            Sangat besar kemungkinan konsep Mesias yang ada dalam pikiran Yohanes Pembaptis sama dengan konsep Mesias yang dimiliki oleh para murid-murid TuhanYesus, yang pada dasarnya mengadopsi apa yang dipahami oleh orang Yahudi pada umumnya. Mereka mengharapkan Mesias yang memiliki kekuatan fisik yang dapat menghalau kekuatan kafir kekaisaran Roma dari bumi Yehuda. Mereka merindukan pahlawan seperti Daud yang mampu merobohkan kekuatan raksasa Goliat; tetapi Tuhan Yesus bukanlah sosok seperti yang mereka harapkan.
            Salah konsep inilah yang menciptakan kekecewaan murid-murid Tuhan Yesus, ketika mereka menyaksikan harapan mereka pupus menyaksikan penyaliban-Nya. Itulah sebabnya mereka tidak bersedia mengiring Tuhan ketika Ia menghadapi sengsara dan kematian-Nya di kayu Salib. Pengharapan yang ada pada mereka dijungkirbalikkan oleh kenyataan yang mereka saksikan, ternyata orang yang sangat mereka harapkan menjadi pendekar “versi mereka” telah bertekuk lutut di pengadilan kafir dan mati dengan cara sangat rendah. Mereka tidak bisa menerima kekalahan itu. Sebagai reaksi mereka terhadap ketidaksiapan menerima realitas tersebut, mereka meninggalkan Tuhan (Mrk. 14:50). Bahkan Petrus, murid terkemuka sempat menyangkali kebersamaannya dengan Tuhan Yesus (Mat. 26:69–75). Salah konsep itulah yang mengubah teriakan masyarakat Yerusalem ketika menyambut kedatangan-Nya ke kota itu, “Hosana” menjadi “Salibkan Dia” (Yoh. 19:6). Mereka kecewa dan juga marah karena ternyata orang yang mereka harapkan sebagai pahlawan seakan tidak lebih “pengecut yang tidak berdaya sama sekali”. Untuk menghindari kesalahpahaman ini, kita harus mengenal visi Tuhan Yesus dengan benar. Salah konsep ini dapat berujung pada pengkhianatan terhadap Tuhan.

Konsep Yang Paradoks “Khotbah Yang Keras”
            Penyaliban Tuhan Yesus merupakan penggenapan apa yang dikatakan-Nya selama bersama-sama dengan murid-murid-Nya, bahwa tubuh-Nya benar-benar makanan dan darah-Nya benar-benar minuman (Yoh.6:53–56). Mereka menganggap pernyataan Tuhan Yesus tersebut sebagai khotbah yang keras (Yoh. 6:60). Umumnya khotbah yang dinilai keras adalah yang berani terang-terangan menelanjangi perbuatan amoral di depan umum. Sebetulnya itu lebih tepat dikatakan khotbah yang kasar. Alkitab tidak merumuskan demikian. Khotbah yang keras adalah yang memuat nasihat, anjuran standar kehidupan yang bertentangan dengan naluri manusia: hasrat untuk menikmati kenyamanan hidup di dunia hari ini.
            Dari hal tersebut terlihat bahwa apa yang diajarkan Tuhan Yesus tidak sesuai dengan naluri insani. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa Injil yang murni adalah injil yang tidak berkenan di hati manusia atau bertentangan dengan naluri insani (Gal. 1:9–10). Sebagai contohnya, Tuhan Yesus berkata, “Jangan kumpulkan harta di bumi” (Mat. 6:19). Padahal naluri manusia adalah mengumpulkan harta di dunia ini. Dalam hal ini perbedaan terletak pada tujuan hidup. Mengapa murid murid Tuhan Yesus dan orang-orang Yahudi kecewa terhadap Tuhan Yesus? Sebab mereka tidak mengerti tujuan yang hendak dicapai oleh Tuhan Yesus. Perbedaan mereka dengan Tuhan Yesus merupakan perbedaan yang sangat mencolok, yaitu seperti bumi dan langit. Murid-murid memikirkan perkara di bumi, Tuhan Yesus memikirkan perkara yang di atas (Kol. 3:1–4). Murid-murid mau menyelamatkan kehidupan hari ini, tetapi Tuhan Yesus mau kehilangan kehidupan-Nya di dunia (Mat. 10:39). Murid-murid-Nya menjauhi dan menghindari kematian, tetapi justru Yesus menerima kematian dan masuk ke dalamnya (Mat. 16:21-26).
            Orang-orang Kristen yang tidak belajar Firman Tuhan secara murni akan tersesat dan terjebak dalam pola hidup duniawi yang sangat materialisme (Luk. 8:14). Mereka berpikir itu bukan suatu kesalahan. Mereka menganggapnya kehidupan manusia normal yang harus dijalani. Agar supaya perjalanan hidup ini menjadi lebih mudah, mereka berurusan dengan Tuhan untuk memperoleh bantuan yang sangat besar dan berarti. Orang-orang Kristen model ini masih menjadikan dunia ini sebagai tujuan. Mereka bukannya mau melepaskan kehidupan tetapi mempertahankan kehidupan. Mereka mengharapkan takhta dunia dan mahkotanya, dan menolak salib. Biasanya mata hati orang-orang ini telah tertutup oleh keindahan dunia hari ini, kekuatiran, kenikmatan hidup dan kekayaan dunia.

Konsep Yang Paradoks “Jalan Ketidakberdayaan”
            Perbedaan yang mencolok antara pola kerja Tuhan dengan murid-murid yang mewakili manusia adalah cara untuk mencapai tujuan tersebut. Biasanya manusia menggunakan kekuasaan untuk mencapai tujuan, tetapi Tuhan Yesus tidak demikian. Tuhan Yesus menjalani kehidupan ini dengan melepaskan semua klaim pada kekuasan dan memilih jalan ketidakberdayaan. Kematian-Nya di kayu salib tanpa melawan menunjukkan cara-Nya untuk mencapai tujuan-Nya. Ketika menghadapi siksaan yang begitu hebat, Ia bukannya tidak mampu menghindarinya. Ia bisa saja menyuruh malaikat-Nya datang untuk membantu-Nya, tetapi Ia tidak melakukannya.
            Bila seorang penginjil dalam misi pemberitaannya ditolak di suatu tempat, ia harus hanya menghindar dan meninggalkan tempat tersebut (Mat. 10:14). Tentu dalam hal ini seorang penginjil tidak mudah menyerah terlebih dahulu sebelum mendapat komando Tuhan untuk meninggalkan tempat itu. Anak Tuhan tidak boleh membalas dendam atas penolakan orang terhadap Injil. Pemberitaan Injil tidak boleh menggunakan “pedang”, seperti beberapa agama lain di dunia, yang menyebarkan agamanya menggunakan kekerasan dan intimidasi. Tidak jarang mereka juga menggunakan cara-cara licik dan teror yang mendatangkan bencana bagi orang yang tak bersalah.
            Dengan penyebaran Injil menggunakan pola ini, bisakah Injil sampai ke ujung bumi? Ternyata bisa. Sebagai contohnya, bertahun-tahun orang Kristen teraniaya hebat oleh kekuasaan Roma. Kaisar-kaisar Roma bukan saja menganiaya orang Kristen, tetapi berusaha mengenyahkan Injil dari muka bumi dengan kekuatan yang luar biasa. Tetapi pada akhirnya seluruh Roma dikristenkan dan agama Kristen menjadi agama negara pada tahun 380 oleh titah Kaisar Theodosius Agung. Pemberitaan Injil yang efektif adalah melalui pola kehidupan yang memancarkan pribadi Kristus yang penuh kasih. Pola ini merupakan pola penginjilan yang baku yang harus terselenggara dalam kehidupan setiap anak Tuhan. Memberitakan Injil bukan hanya menceritakan atau mengkhotbahkan tentang Yesus, tetapi memperagakan kehidupan Yesus.
            Kalau dalam mencapai tujuan-Nya Tuhan Yesus memilih jalan tanpa kekerasan, anak-anak Tuhan juga harus meneladani kehidupan-Nya tersebut. Pemberitaan Injil dengan kata-kata bujukan dan iming-iming materi akan membangkitkan tuduhan “kristenisasi”, tetapi kalau memperagakan suatu kehidupan yang luar biasa baik, maka orang tidak bisa mengutuk Injil. Perbuatan baik akan menunjukkan bahwa Tuhan Yesus adalah Tuhan yang hidup dan Injil bukan isapan jempol.

Upah dan Pelayanan “Hukum Pelayanan”
Upahku ialah ini: bahwa aku boleh memberitakan Injil tanpa upah, dan bahwa aku tidak mempergunakan hakku sebagai pemberita Injil. (1Kor. 9:18)
            Dalam pernyataan Rasul Paulus ini ada suatu hukum pelayanan yang sangat luar biasa, yang membuat pelayanan kepada Tuhan bermutu sangat tinggi. Paulus hendak mengajarkan kepada semua jemaat suatu hukum pelayanan yang telah dikenakan dalam hidupnya tersebut: Pelayanan bukan usaha untuk mencari atau mendapatkan upah. Upah tidak boleh menjadi dorongan pelayanan.
            Tentu upah yang dimaksud Paulus di sini adalah haknya sebagai pemberita Injil: nafkah yang dapat diperoleh dari jemaat seperti yang dikemukakan dalam tulisannya: “… Seorang pekerja patut mendapat upahnya” (1Tim. 5:18). Memang seorang pekerja injil patut hidup dari pelayanannya, tetapi itu tidak menjadi suatu hukum yang mutlak harus dipenuhi. Paulus sendiri berusaha untuk tidak menjadi beban dan batu sandungan bagi jemaat. Ia berusaha dengan tangannya sendiri mencari nafkah guna kehidupan sehari-hari dan biaya pelayanannya, bahkan ongkos pelayanan pekerja yang lain (Kis. 18:2–3; 1Kor.4:12). Bisa dibayangkan betapa sulit kehidupan hamba Tuhan ini, tetapi ia tidak pernah mengeluh dan menuntut kehidupan yang layak dari jemaat yang dilayani. Dalam pernyataannya, ia berkata, “Perak atau emas atau pakaian tidak pernah aku ingini dari siapa pun juga.” (Kis 20:33)
            Hukum pelayanan ini juga sebenarnya hukum kehidupan yang harus dan pasti dapat dikenakan dalam kehidupan semua orang percaya, bukan monopoli Paulus dan orang-orang tertentu yang memiliki karunia khusus. Untuk bisa mengenakan hukum ini, seseorang tidak harus memiliki karunia ekstra, karena itu tidak mustahil. Anak Tuhan harus dalam integritas tinggi mengenakan kebenaran ini.
            Ini disebut sebagai hukum, karena standar inilah yang seharusnya menjadi standar ideal. Hukum pelayanan dan hukum kehidupan ini adalah standar normal setiap anak Tuhan. Menjadi kebahagiaan yang luar biasa kalau seseorang dapat mengenakannya. Sangat disayangkan kalau dewasa ini banyak orang Kristen tidak pernah mengenal kebenaran yang indah seperti ini, sebab semangat komersial telah menembus dan mewarnai kehidupan hamba-hamba Tuhan di gereja sehingga merusak seluruh kehidupan jemaat.

Upah dan Pelayanan “Bukan Kewajiban Melainkan Hak”
            Kalimat Rasul Paulus dalam 1Kor. 9:18 memuat hukum kehidupan dan hukum pelayanan yang pada dasarnya hendak mengemukakan bahwa menjadi seorang anak Tuhan yang benar haruslah berani menganggap kewajiban sebagai hak, atau mengubah sikap terhadap kewajiban menjadi sikap terhadap hak. Dalam hal ini memberitakan Injil yang adalah kewajiban, bagi Paulus disikapi sebagai hak. Paulus tidak mengubah kewajiban yang harus dia penuhi, tetapi sikapnya terhadap kewajiban tersebut diubahnya. Pada umumnya orang menganggap kewajiban sebagai beban, sehingga disikapi dengan hati yang berat, tetapi Paulus menjadikannya kesukaan. Kalau sudah demikian, upah tidak menjadi motif dorongan melakukan suatu kewajiban.
            Kalau anak-anak Tuhan menuntut haknya sebagai anak terhadap Tuhan sebagai Bapa, ini sama seperti seorang anak menuntut orang tua untuk memenuhi kewajibannya terhadap anak. Ini karena kewajiban orang tua tersebut merupakan hak anak. Orang tua wajib memberi makan, pendidikan dan segala kebutuhan yang menjadi hak anaknya; karena itu ada anak yang menuntutnya. Namun sebenarnya tidak perlu dituntut pun orang tua yang baik akan memenuhi kewajibannya. Biasanya masalahnya terletak kepada anak-anaknya. Kewajiban anak adalah belajar di sekolah, kuliah dan membantu orang tua. Paulus seperti seorang anak yang melakukan kewajiban tanpa menuntut haknya. Dari pernyataan Paulus tersebut tampak jelas bahwa melakukan tugas atau kewajiban adalah kebutuhan yang menyenangkan, bukanlah suatu beban yang menyakitkan. Ia percaya bahwa Bapa di Surga bisa dipercayai memenuhi bagian-Nya. Pengakuannya: “Itulah sebabnya aku menderita semuanya ini, tetapi aku tidak malu; karena aku tahu kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia berkuasa memeliharakan apa yang telah dipercayakan-Nya kepadaku hingga pada hari Tuhan.” (2Tim. 1:12)
Memberitakan Injil adalah kewajiban yang harus dipenuhi. Kalau kewajiban dipenuhi maka pelakunya berhak menerima upah. Dalam kasus ini Paulus mau dan bersedia dengan rela mengerjakan kewajiban atau tugas memberitakan injil, tetapi ia tidak mempersoalkan atau menuntut upah. Paulus tidak mempersoalkan hak upah yang bisa diperolehnya, walaupun ia berhak meraihnya. Bagi Paulus, memberitakan Injil lebih berarti dari upah apa pun yang ia dapat peroleh dari jemaat Tuhan yang ia layani. Ia menganggap bahwa memberitakan injil tanpa upah adalah hak istimewa.

Upah dan Pelayanan “Ekspresi”
Tetapi sekarang sebagai tawanan Roh aku pergi ke Yerusalem dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi atas diriku di situ selain dari pada yang dinyatakan Roh Kudus dari kota ke kota kepadaku, bahwa penjara dan sengsara menunggu aku. Tetapi aku tidak menghiraukan nyawaku sedikit pun, asal saja aku dapat mencapai garis akhir dan menyelesaikan pelayanan yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus kepadaku untuk memberi kesaksian tentang Injil kasih karunia Allah. (Kis. 20:22–24)
            Melayani Tuhan adalah ekspresi dari cinta kasih kita kepada-Nya. Perasan cinta kasih kepada seseorang atau sesuatu membutuhkan ekspresi atau sarana untuk menyalurkannya; tanpa ekspresi, bisa menimbulkan penderitaan yang hebat atau tekanan jiwa. Gelora yang benar dari cinta kasih seseorang tidak mudah dapat dibendung, malah kadang ada yang tidak dapat dibendung sama sekali. Ini tentu tergantung seberapa besar cinta kasih yang meledak dalam diri seseorang.
            Pengalaman tersebut tentu sudah dialami hampir setiap insan. Kasih orang tua terhadap anak, anak terhadap orang tua, pria kepada wanita atau sebaliknya, kepada negara atau tanah air dan lain sebagainya. Ledakan atau ekspresi cinta kasih manusia dalam konteks tersebut dapat ditemukan dalam sejarah kehidupan manusia dan kita alami secara konkrit. Kita semua adalah pelaku-pelakunya. Tahun-tahun yang panjang telah kita lalui dalam ledakan-ledakan cinta kasih kepada banyak objek.
            Kita pernah memiliki ledakan kasih kepada banyak objek, tetapi pernahkah kita mengalami ledakan kasih terhadap Tuhan? Seseorang yang mengekspresikan cinta kasih kepada objek tertentu tidak akan mengharapkan dan menuntut upah. Baginya, dapat mengekspresikan cinta kasih itu sendiri sudah merupakan kebahagiaan dan kepuasan. Orang yang membutuhkan penyaluran cinta kasih kepada suatu objek seolah-olah mau berkata: “Izinkan aku mengasihimu, itu cukup bagiku”. Mengapa demikian? Sebab jika seseorang boleh mengekspresikan atau menyalurkan cinta kasih, itu sudah merupakan pemberian atau anugerah, ia tidak pernah berpikir apakah ia akan memperoleh keuntungan berupa upah dari objek cinta kasihnya.
            Dalam kesaksiannya di ayat-ayat di atas, tampak bahwa Rasul Paulus merupakan seorang model hamba Tuhan yang menunjukkan ledakan cinta kasihnya yang begitu hebat kepada Tuhan. Dalam pelayanannya, ia bukan saja tidak menuntut upah, tetapi juga siap menghadapi segala keadaan demi kemajuan Injil.

Upah dan Pelayanan “Ledakan Cinta Kasih”
            Dalam perjalanan pelayanan Tuhan Yesus, kita temukan ledakan cinta kasihNya kepada Bapa-Nya. Tindakan Yesus di Bait Suci merupakan contohnya. Ketika melihat halaman Bait Suci digunakan untuk jual beli, Tuhan Yesus menjadi marah dan melakukan suatu tindakan yang sangat radikal. Tindakan itu diungkapkan dengan kalimat, “Cinta untuk rumah-Mu menghanguskan Aku” (Yoh. 2:17). Ia menjungkirbalikkan meja tempat para penukar uang melakukan transaksi dan mengusir para pedagang hewan korban dengan cemeti. Ini pasti membuat halaman bait Suci menjadi heboh. Tindakan ini suatu keberanian yang luar biasa. Mengherankan, ternyata Tuhan Yesus tidak didemo dan dikeroyok oleh para pedagang.
            Ledakan cinta kasih Tuhan Yesus dalam fragmen penyucian Bait Suci adalah ledakan cinta kasih yang paling mulia di sepanjang sejarah alam semesta. Ini diharapkan dapat dimiliki pengikut-pengikut Yesus. Memang, mengikuti-Nya berarti mengikuti jejak-Nya, termasuk ledakan cinta kasih-Nya kepada Bapa di Surga.
            Ledakan itu juga ditunjukkan dengan sikap Tuhan Yesus yang tetap bertahan menantikan perempuan Samaria di sumur Yakub dekat Kota Sikhar ketimbang masuk kota mencari makanan, walalupun Ia sudah letih dan lapar. Tuhan Yesus berkata, “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya” (Yoh. 4:34).
            Dalam seluruh perjalanan pelayanan Tuhan Yesus, tampak kecintaan kepada Bapa yang ditandai dengan ketaatan-Nya sampai mati bahkan mati di kayu salib (Flp 2:5–9). Inilah ketaatan yang tak bersyarat, dipersembahkan tanpa menuntut upah. Di dalam hal ini tidak pernah kita temukan Ia menuntut upah. Tuhan Yesus juga mengajar orang percaya untuk memiliki sikap seperti ini. Ia memampukan setiap orang percaya untuk memiliki sikap seperti yang Ia miliki. Itulah sebabnya dikatakan Ia menjadi yang sulung diantara banyak saudara (Rm. 8:29).
            Tuhan Yesus juga pernah menasihati, “Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan”. (Luk. 17:10). Tidak tersirat sama sekali adanya upah sebagai motivasi seseorang melakukan suatu tugas atau kewajiban yang diberikan. Secara jelas Tuhan Yesus mengajarkan bahwa dalam segala sesuatu yang kita kerjakan bagi Dia, kita tidak boleh mengharapkan atau menantikan upah.


Upah dan Pelayanan “Kemuliaan Dalam KerajaanNya”
            Apakah teladan Paulus (1Kor. 9:18) dan ajaran Tuhan Yesus untuk melayani tanpa mengharapkan upah berarti kita tidak mendapat upah? Tentu upah yang dimaksud dalam 1Kor. 9:18 tersebut adalah upah di dunia ini, yaitu jaminan hidup sebagai seorang pelayan Tuhan. Seorang pelayan Tuhan yang mengerti kebenaran tidak akan mengharapkan upah apapun di bumi ini; boleh melayani pekerjaan Tuhan itu pun sudah merupakan kehormatan yang luar biasa. Dengan melayani Tuhan, kita diperkenan menjadi sahabat-Nya (Yoh. 15:14–15). Siapakah kita sehingga diperkenankan menjadi sahabat Yesus? Menjadi sahabat Yesus berarti mendapat tempat bersama-sama dengan Yesus dalam Kerajaan-Nya (Yoh. 14:1–3). Inilah yang menjadi kerinduan Paulus, sehingga ia menyatakan, “… Aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan surgawi dari Allah dalam Kristus Yesus” (Fil. 3:12–14).
            Bukan karena upah itu kita melayani Tuhan, tetapi setiap pelayanan dan kesetiaan pasti mendatangkan upah; dan upah orang percaya tersedia dalam kerajaanNya. Melayani Tuhan memiliki dampak yang tidak terukur. Pengorbanan dalam pelayanan bagi Tuhan di dunia ini dapat diukur, tetapi buah dari pelayanan bagi Tuhan tidak terukur. Itulah sebabnya dikatakan, “Bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita, orang percaya” (Rm. 8:18). Hanya orang-orang bodoh yang tidak berakal yang tidak memanfaatkan kesempatan ini. Orang-orang bijaksana akan memberi hidupnya untuk melayani Tuhan dengan apapun yang dapat dilakukan bagi Tuhan. Doanya adalah, ”Tuhan ambil hidupku untuk melayani Engkau. Bukan emas dan perak yang kuminta tetapi beri aku kesempatan untuk mengabdi kepada-Mu”
            Pengorbanan yang ditunjukkan oleh orang percaya kepada Tuhan Yesus dengan motif yang benar tidak akan diabaikan Tuhan. Pengorbanan mereka terhadap Tuhan bisa dianggap gratis, sebab memang Tuhan telah membeli setiap orang percaya dengan darah-Nya dan setiap orang percaya memang harus mengabdi bagi Tuhan. Tetapi Tuhan tetap memperhitungkan dengan teliti dan memberi upah di dalam kerajaan-Nya (Luk. 22:28–30; Why. 14:13). Kita dipanggil Tuhan untuk menerima berkat abadi ini dengan melayani Tuhan; kita pasti memiliki bagian di dalamnya.

“Penuaian Yang Negatif”
            Bila berbicara mengenai penuaian, biasanya orang Kristen selalu menghubungkan dengan usaha untuk membawa orang-orang yang tidak percaya menjadi anak-anak Tuhan. Ini ditandai dengan bertambahnya jumlah anggota gereja. Inilah penuaian positif yang menguntungkan pekerjaan Tuhan, di mana jiwa-jiwa diselamatkan. Tanpa disadari oleh banyak orang, terdapat pula penuaian negatif, yaitu usaha untuk membawa jiwa-jiwa ke dalam kegelapan abadi sebagai usaha kuasa kegelapan yang sangat aktif dan melakukan penuaiannya secara terselubung, diam-diam, intensif dan sistematis. Ini bisa dilakukannya, karena Iblis memang oknum yang cerdik luar biasa. Tanpa kecerdasan dari Tuhan kita tidak akan dapat menangkap manuvernya.
            Manuver kuasa kegelapan ini berorientasi pada perusakan pola pikir (mindset) setiap individu. Mindset yang terbentuk sedemikian rupa bisa sampai pada keadaan tidak bisa diubah atau diperbaiki kembali. Untuk maksudnya ini, kuasa kegelapan dapat menggunakan segala cara yang sangat licin dan halus. Kuasa kegelapan bukan hanya bisa dan mampu bergerak di area di luar komunitas Kristen tetapi juga bergerak di area kehidupan anak-anak Tuhan dan aktivitas rohaninya. Perlu dicatat di sini bahwa di tengah suasana kebangunan rohani di Yerusalem pun kuasa kegelapan dapat menghasut Ananias dan Safira melakukan kesalahan yang berkategori fatal (Kis. 5:1–11).
            Melalui berbagai media, kuasa kegelapan terus berusaha mewarnai jiwa orang-orang Kristen agar makin fasik, makin tidak mengenal kebenaran Tuhan, dan tidak takut Tuhan. Melalui berbagai kegiatan, kuasa kegelapan bisa menyuntikkan filosofi yang tidak murni Alkitabiah. Unsur-unsur yang tidak murni bila ditelorir masuk ke dalam gereja akan membuka celah terhadap unsur-unsur kafir masuk ke dalam gereja. Bila hal ini berlangsung terus maka sikap adaptif—penyesuaian diri dengan keadaan—berupa kompromi dengan ketidakbenaran menjadi kebiasaan gereja. Harus diingat bahwa kebenaran selalu bulat, tidak setengah-setengah.
            Gereja harus waspada terhadap setiap fenomena yang terjadi dalam kehidupan umat Tuhan, dalam hal ini khususnya anak-anak muda yang memiliki usia efektif dipersiapkan menjadi pewaris Kerajaan Allah. Untuk masuk Kerajaan Surga seseorang harus memiliki gaya hidup yang sudah diubahkan (Yoh. 3:5). Gaya hidup yang diubahkan bagai pakaian pesta yang melayakkan seseorang masuk kemuliaan bersama Tuhan Yesus (Mat. 22:2–14). Ke surga bukan suatu kebetulan, dan ke neraka bukan suatu kecelakaan. Faktanya, ini adalah pilihan. Dan pilihan tersebut sudah nyata sejak seseorang masih hidup dalam dunia.


0 comments:

Post a Comment

My Instagram