Injil Kebenaran Yang Murni (Bag. 4)
“Menabur Angin Menuai Badai”
Umat-Ku menabur
angin, maka mereka akan menuai badai! (Hos. 8:7 BIS)
Edward
Norton Lorenz, seorang profesor dalam bidang meteorologi menemukan sebuah teori
yang disebut butterfly effect. Dalam melakukan
peramalan cuaca pada tahun 1961, ia menyelesaikan 12 persamaan diferensial nonlinear dengan komputer.
Awalnya ia mencetak hasil perhitungannya di atas sehelai kertas dengan format enam angka di belakang
koma (…,506127). Kemudian, untuk menghemat waktu dan kertas,
ia memasukkan hanya tiga angka di belakang koma (…,506), menghilangkan tiga
angka berikutnya (,—127). Cetakan berikutnya diulangi
pada kertas yang sama, yang sudah berisi hasil cetakan tadi. Namun sejam kemudian, sungguh mengejutkan, ia
menemukan hasil yang sangat berbeda dengan yang diharapkan.
Pada awalnya kedua kurva tersebut memang berimpitan, tetapi sedikit demi
sedikit bergeser sampai membentuk corak yang benar-benar
berbeda sama sekali. Skenario cuaca yang mungkin terjadi sangat
berbeda. Inilah yang disebut butterfly effect, yaitu kepakan sayap kupu-kupu di
hutan belantara Brazil (pengabaian angka sekecil
0,000127) beberapa bulan kemudian menghasilkan tornado di Texas.
Fenomena
ini berdasarkan teori chaos. Dalam teori chaos, butterfly effect juga dikenal sebagai ketergantungan
yang sensitif terhadap kondisi awal. Perubahan yang amat kecil pada kondisi
awal dapat mengubah secara drastis kelakuan sistem
pada jangka panjang. Demikianlah hukumnya: kesalahan yang sangat
kecil dan dianggap layak diabaikan akan menyebabkan bencana besar di kemudian
hari.
Paparan
di atas ini biasa digambarkan dengan “Siapa yang menabur angin akan menuai
badai”. Perjanjian Baru juga
mencatat fenomena ini dengan pernyataan bahwa apa yang ditabur orang, itu juga
yang akan dituainya (Gal. 6:7). Apa yang
ditabur seseorang selama hidupnya di dunia yang singkat ini akan dituainya di keabadian. Mungkin kita menganggapnya
tidak seimbang dan sukar dipahami, namun itu nyata. Realita ini memperhadapkan manusia pada
kehidupan yang berisiko sangat tinggi. Orang yang tidak menyadari hal ini dan tidak mau tahu tentangnya
akan cenderung hidup sembrono. Ia tidak peduli bahwa tindakan-tindakan salah yang dilakukannya—walau tampak
kecil—akan berdampak sangat besar. Orang bodoh menganggap
sesuatu sebagai “kecerobohan kecil”, padahal itu dapat mengurangi upahnya di
kekekalan, bahkan menyeret dirinya kepada
kebinasaan abadi. Maka janganlah kita bodoh, tetapi pahamilah realita ini dan berhati-hatilah!
Tujuh Puluh Tahun dan Kekekalan
Karena itu,
perhatikanlah dengan seksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang
bebal, tetapi seperti orang arif. (Ef. 5:15)
Masa
hidup manusia tujuh puluh tahun (Mzm. 90:10), sangat
tidak sebanding dengan kekekalan. Mungkin kita
berpikir, adillah bila menabur perbuatan selama tujuh puluh tahun dituai selama
tujuh puluh tahun; tetapi tidak
adil bila menabur perbuatan tujuh puluh tahun harus dituai selama-lamanya.
Adil
tidaknya hal ini bukan menurut kita, melainkan menurut Tuhan. Tuhan yang
Mahaadil menentukan kita menabur
tujuh puluh tahun, menuai selama-lamanya. Hal ini dapat kita terima kalau kita
mengerti dan menghayati kasih dan kesabaran-Nya yang
luar biasa dalam menggarap kita.
Kita
adalah orang-orang berdosa yang keras kepala. Tuhan selalu memberi kesempatan
kita bertobat, walaupun kita masih sering berbuat
banyak kesalahan. Anugerah keselamatan dan kesabaran Tuhan yang disediakan bagi manusia mampu
mengimbangi hukuman kekal. Oleh sebab itu, kita tidak hanya memandang kengerian kebinasaan kekal
tetapi juga anugerah Tuhan yang tak terukur hari ini, yaitu pengampunan-Nya setiap kali kita salah
selama kita masih berkesempatan untuk bertobat. Kesabaran-Nya nyaris tanpa batas. Selama masih dalam
anugerah keselamatan-Nya kita selalu mendapat kesempatan untuk
dipulihkan dan diperbarui.
Sebaiknya,
kita juga tidak hanya terfokus pada hukuman kekal bagi orang berdosa yang tidak
bertobat, tetapi juga kemuliaan kekal bagi mereka
yang hidup di jalan Tuhan. Hidup dalam jalan Tuhan, atau hidup dalam pelayanan selama tujuh puluh tahun
bagi Tuhan di dunia, akan mendatangkan kemuliaan kekal yang
tiada tara. Ini juga merupakan kesenjangan yang luar biasa, tetapi inilah
faktanya. Pilihan ada di tangan
kita: tujuh puluh tahun dalam pemberontakan kepada Tuhan yang berakibat hukuman
api kekal, atau tujuh puluh tahun dalam jalan Tuhan
yang membawa kemuliaan dan kebahagiaan kekal?
Apabila
kebenaran di atas ini kita hayati dengan benar, maka kita akan makin
termotivasi dan terdorong memilih
apa yang benar. Oleh karena itu, pemberitaan Firman Tuhan yang berkenaan dengan
hal ini, tidak boleh surut. Kita tidak boleh lupa akan
fakta yang dahsyat ini. Kita tidak boleh ceroboh lagi dalam mengisi hari-hari ini hidup ini, sebab apapun
yang kita lakukan, akan memiliki dampak yang sangat luar biasa. Oleh sebab itu, kita harus memperhatikan
dengan seksama bagaimana kita hidup, hendaklah kita bijaksana dan jangan bodoh.
Bukan Boneka
Demikianlah
setiap orang di antara kita akan memberi pertanggungan jawab tentang dirinya
sendiri kepada Allah. (Rm. 14:12)
Manusia
adalah makhluk yang agung, menurut gambar dan rupa Allah (Kej. 1:26).
Keagungannya juga terletak pada penghargaan Tuhan terhadap
manusia untuk menentukan keadaannya sendiri. Dalam hal ini, manusia tidak hidup dalam suratan takdir
yang sudah ditentukan untuk diterimanya tanpa bisa mengelak. Konsep suratan takdir membuat manusia
tidak lebih dari “boneka” yang tidak berkepribadian dan tidak memiliki kebebasan sama sekali.
Agama-agama
pada umumnya menganggap manusia hidup dalam guratan suratan takdir yang diatur
oleh Tuhan. Maka manusia harus bersikap
“baik-baik” terhadap Tuhan, bila perlu “menjilat-Nya”. Ini dimaksudkan
agar Tuhan jangan membuat suratan takdir yang judulnya “malang” atau
“kesialan”. Itulah sebabnya dalam
hidup keberagamaan, sering dijumpai orang-orang yang berurusan dengan Tuhan
karena hendak membujuk-Nya supaya memberi
berkat bukan laknat.
Cara
atau mekanisme berurusan dengan Tuhan yang demikian ini tidak menempatkan orang
percaya sebagai anak-anak Tuhan yang bertanggung
jawab dan memiliki integritas yang agung. Jikalau keadaan manusia
ditentukan oleh suratan takdir—bukan oleh pilihan, keputusan dan tindakannya
sendiri—maka etika tidak bisa tampil sewajarnya dan
manusia tidak ditempatkan sebagai makhluk yang bertanggung jawab.
Tanpa tanggung jawab, tidak perlu bertindak dengan hati-hati, sebab apa pun
yang dilakukan tidak akan perlu
dipertanggungjawabkan. Kalau manusia hidup di bawah bayang-bayang suratan
takdir, apa pun yang dilakukannya tidak akan mengubah
apa yang telah digariskan atau ditentukan oleh Tuhan sebagai Sang Sutradara yang menyusun semua storyboard atau alur ceritanya.
Nyatanya,
Alkitab mengatakan manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab (Rm. 14:12). Ini berarti manusia harus menuai apa yang ditaburnya
dan bertanggung jawab atas setiap pilihan, keputusan dan tindakannya
(Kej. 2:16–17). Itulah sebabnya
setiap orang harus berhati-hati atas setiap pilihan, keputusan dan tindakannya. Ini sebuah hukum
kehidupan. Sesungguhnya, keadaan manusia bukanlah hasil dari penentuan nasib atau takdir. Oleh
karenanya, dunia ini bukan panggung sandiwara, tetapi medan pergumulan antara memilih yang jahat
atau yang baik, keberuntungan atau kemalangan, kehidupan atau kebinasaan.
Takdir Hidup dan Takdir Mati
Jangan
lagi kita berkata, “Ini sudah takdirku,” kemudian menyerah kalah terhadap
keadaan. Kalau kita sakit, kita
tidak boleh menyerah terhadap kesehatan yang memburuk itu karena berpikir bahwa
itu adalah takdir kita. Kalau kita miskin
berkepanjangan, jangan kita berpikir bahwa kita ditakdirkan menjadi orang miskin. Ingat, banyak orang yang kaya
berlimpah harta, dulunya juga orang miskin. Harus kita sadari bahwa kemiskinan sering diakibatkan oleh
kemalasan dan pemborosan; dan bisa diatasi dengan rajin bekerja
dan hemat (Ams. 6:6–11; 13:18; 28:19).
Dalam
hal ini kita bisa menyebut adanya takdir hidup dan takdir mati. Takdir mati
menunjuk kepada keadaan hidup kita yang tidak bisa
diubah, yang merupakan penentuan yang tidak meminta tanggung jawab dan peran kita sebagai individu.
Dalam hal ini kita harus menerima saja dan bersyukur, karena ini adalah “porsi” dari Tuhan Semesta Alam (Mzm. 139:13–14). Misalnya,
seseorang lahir sebagai seorang pria,
sebagai orang Batak, lahir di Pematangsiantar. Di sisi lain ada takdir hidup,
yang menunjuk kepada keadaan yang
dialami seseorang akibat atau hasil dari tindakannya sendiri. Memang menjadi
orang Batak adalah penentuan yang tidak dapat
dihindari, tetapi menjadi Batak yang bagaimana? Batak yang menjadi berkat bagi banyak orang, atau Batak
yang rusak?
Banyak
orang merasa telah bersikap benar dan rendah hati di hadapan Tuhan karena
menerima nasib dengan lapang dada tanpa
bersungut-sungut. Memang kita harus menerima takdir mati kita dengan sukacita. Kita harus percaya bahwa porsi
yang diberikan-Nya adalah porsi yang paling sempurna bagi masing-masing
kita. Jenis kelamin, suku bangsa, golongan darah, bentuk muka, warna kulit,
rambut dan lain sebagainya adalah pemberian Tuhan
sesuai dengan kebijaksanaan-Nya yang berdaulat. Kita tidak boleh
membantahnya sama sekali. Tetapi keadaan hidup selanjutnya atau takdir hidup
yang harus diperjuangkan adalah tanggung jawab
kita, bukan tanggung jawab Tuhan. Ini tergantung kita sendiri. Mau menjadi orang sukses atau gagal,
terserah kita; kaya atau miskin, terserah kita; sehat atau sakit, terserah kita (tergantung bagaimana kita
mengelola kesehatan tubuh); pandai atau bodoh, terserah kita (tergantung apakah kita rajin atau malas), dan
sebagainya.
Kita
harus bisa membedakan antara takdir hidup (tanggung jawab kita) dan takdir mati
(kedaulatan Tuhan). Namun memang kedaulatan Tuhan
tetap berarti Ia bisa bertindak sesuai kehendak-Nya untuk sesuatu
yang tidak kita mengerti, pada kasus-kasus khusus dapat membuat pengecualian
dalam takdir hidup kita.
Saksikan Secara Lengkap
Tidak
sedikit orang yang “memarahi” Tuhan karena merasa bahwa keadaan buruk yang
dialaminya terjadi karena Tuhan
memperlakukannya secara kejam. Dalam persungutan tersebut tidak jarang orang menganggap dan menuduh Tuhan tidak adil,
pilih kasih dan diskriminasi. Ini disebabkan ia melihat orang lain berhasil, sedangkan ia sendiri
dalam kegagalan dan keterpurukan. Harus diakui bahwa tidak sedikit sukses karier yang dialami seseorang
merupakan hasil kerja kerasnya.
Banyak
orang Kristen membagikan kesaksian mengenai berkat Tuhan atas keberhasilan
hidupnya, misalnya dalam kariernya, tanpa
mengungkapkan fakta secara lengkap. Maksudnya, ia tidak menunjukkan bahwa dalam mencapai keberhasilan karier
tersebut, ia juga bekerja keras, mengambil keputusan dengan penuh pertimbangan, menjaga kesehatan
supaya masalah kesehatan tidak mengganggu perjalanan kariernya,
dan lain sebagainya. Yang disaksikannya ialah bagaimana Tuhan membuatnya
berhasil dalam karier dan memuja-muja Tuhan atas
kebaikan-Nya. Dengan tindakannya tersebut, ia pikir ia membesarkan nama Tuhan secara optimal dan berkenan
kepada-Nya; tetapi di sisi lain ia tidak mengungkapkan fakta yang sebenarnya secara lengkap.
Karenanya tergambar dalam pikiran banyak orang bahwa Tuhan pilih kasih: ada yang diperkenankan memperoleh
berkat-Nya yang berlimpah, dan ada yang harus mengalami masa
paceklik terus-menerus. Tidak heran kalau ada orang yang berpikir bahwa menjadi
sukses adalah kemujuran (seperti mendapat lotere) dan
kegagalan adalah kecelakaan.
Tentu,
kita mengakui Tuhan sebagai segalanya; tanpa-Nya kita tidak akan dapat hidup.
Dunia dan alam semesta dapat bergulir karena ditopang
oleh tangan Tuhan yang Mahakuat (Mzm. 127:1–2). Tetapi juga harus dibagikan kepada orang lain
kesaksian perjuangan bagaimana ia meraih keberhasilannya tersebut. Ada karunia, tetapi juga ada tanggung
jawab untuk bekerja keras. Kita harus mengucap syukur atas berkat Tuhan, tetapi mengakui bahwa tetesan
keringat kita pun berperan.
Daud
dipakai Tuhan luar biasa, sehingga dapat merobohkan Goliat, raksasa yang
menakutkan pasukan Israel (1Sam. 17:45–51). Ini
sebenarnya bukan hanya karena Daud diberi karunia, tetapi memang pada dasarnya ia seorang yang terlatih dan
pemberani. Alkitab menyaksikan, ia pernah membunuh singa dan beruang (1Sam. 17:34–37). Mengapa
Daud mampu melakukan hal itu? Karena ia telah belajar berjalan dengan Tuhan setiap hari dan bekerja
keras serta bertanggung jawab untuk dapat menjadi seorang yang dipercayai Tuhan menerima berkat-Nya.
Doa dan Tanggungjawab
Sering
kita dengar orang berkata, “Karena doa semua ini dapat terjadi” ketika suatu
keberhasilan diraih. Amin, kita
setuju segala sesuatu terjadi dalam topangan Tuhan yang sempurna. Tetapi kita
tidak boleh menekan atau
menutup mata terhadap peran manusia dalam mencapai suatu keberhasilan. Ini sama sekali tidak bermaksud hendak mengurangi
pengakuan dan penghargaan terhadap anugerah Tuhan di atas segalanya
dalam kehidupan kita. Kita ada sebagaimana ada karena anugerah Tuhan
semata-mata (1Kor. 15:10).
Beberapa
tahun lampau, ketika bintang-bintang bulu tangkis kita masih merajai berbagai
turnamen pertandingan bulutangkis, tampilah
seorang “hamba Tuhan” yang mengklaim bahwa keberhasilan tim Indonesia adalah karena doanya; sebab
sementara pertandingan berlangsung, ia mengangkat tangan seperti
Musa di atas bukit ketika bangsa Israel berperang melawan bangsa Amalek (Kel. 17:8-16). Setelah Indonesia mendapat piala, tahun
berikutnya prestasi bulu tangkis Indonesia makin merosot. Sejak itu tidak ada lagi yang mengklaim bahwa doanya berkuasa
mengantar tim Indonesia. Dalam hal ini, bukan berarti doa
tidak berkuasa, tetapi tanggung jawab manusia tidak bisa digantikan dengan doa.
Doa itu percakapan, bukan sekadar
permintaan, apalagi sarana mengatur Tuhan. Juga, dahulu ada seorang petinju Kristen
di Indonesia yang berhasil meraih juara
dunia sedang bertanding mempertahankan gelar. Pada waktu itu anak-anak Tuhan diminta untuk berdoa dan
berpuasa demi kemenangannya. Tim doa suatu persekutuan doa
mati-matian mendoakan sang juara. Hasilnya adalah sang juara kalah, KO.
Mengapa? Sebab doa tidak dapat
menggantikan tanggung jawab. Bagaimana kalau pihak lawan juga orang Kristen?
Mereka juga berdoa mohon pertolongan Tuhan Yesus.
Wah, kalau Tuhan seperti kita, pasti Ia bingung; siapa yang dimenangkan dan yang dikalahkan?
Praktik
seperti ini selain membuat seseorang melupakan tanggung jawab, juga melahirkan
“dukun-dukun” di dalam gereja, yang mengangkat tangan
seperti Musa demi berkat Tuhan yang dapat diturunkan —padahal
peristiwa Musa berbeda sekali konteksnya. Akhirnya terjadi kultus individu yang
merusak kemurnian iman Kristen. Di sini, terjadi
pelecehan spiritual terhadap jemaat, yang dipermainkan dengan pengajaran palsu yang merusak kinerja
hidup mereka. Terjadi pula praktik dominasi seseorang—yang dianggap
tokoh yang memiliki “kesaktian”—terhadap jemaat yang dengan tulus berharap
pertolongan Tuhan. Sang tokoh menjadi sumber
pertolongan Ini sangat keliru; Tuhanlah yang harus menjadi pusat kehidupan kita.
Misteri Kehidupan
Harus
kita akui, memang ada hal-hal yang terjadi dalam kehidupan ini yang merupakan
misteri kehidupan; hal-hal itu
mungkin tidak akan terpecahkan sampai kita bertemu dengan Tuhan dan Ia
memberikan pikiran yang sempurna
nanti. Baru-baru ini ada seorang anak Tuhan yang turut mengambil bagian dalam pelayanan dan dinilai sebagai orang
baik, tapi ia cepat meninggal dunia. Semua sahabat—termasuk penulis —menjadi heran: mengapa orang sebaik dia
meninggal dalam usia relatif masih muda? Timbullah spekulasi,
mungkinkah ada dosa yang terselubung, karena ia baik maka Tuhan memanggilnya
secara cepat supaya jangan jatuh dalam dosa di
kemudian hari? Dan lain sebagainya. Spekulasi seperti ini seharusnya tidak boleh timbul. Bila kita menjumpai
fakta kehidupan yang tidak dapat kita mengerti, maka kita harus diam saja. Diam, diam dan diam, agar
kita tidak bersalah kepada Tuhan, dan dalam konteks peristiwa ini kita tidak menambah penderitaan keluarga
yang terpukul karena merasa kehilangan orang yang mereka kasihi.
Dalam
perjalanan hidup penulis sebagai pelayan Tuhan yang telah meniti sepanjang
lebih dari 30 tahun dalam lingkungan
penggembalaan jemaat dan 20 tahun di lingkungan pendidikan teologia, penulis menemukan bahwa Tuhan adalah Pribadi
yang tak mudah terbaca. Dulu penulis berpikir bahwa semua masalah
yang terjadi dalam kehidupan jemaat dapat ditemukan jawabnya dan seluk beluk
Tuhan dapat diuraikan dengan mudah, apalagi dengan
bekal ilmu teologi yang telah terkantongi. Tetapi kenyataannya, masih ada banyak hal yang tidak
terjawab; mengapa Tuhan mengizinkan hal itu terjadi? Mengapa begini mengapa begitu?
Tuhan
bukanlah seperti angka matematis yang mudah dihitung: 1 + 1 = 2, 3 + 3 = 6. Ia
adalah Pribadi Agung yang harus kita terima
kenyataannya sebagai Penyimpan berjuta misteri. Ia berdaulat atas semua yang dilakukan-Nya, dan kedaulatan-Nya
harus diakui sebagai mutlak atau absolut. Bila Tuhan melakukan
suatu tindakan yang tidak kita mengerti, pertama, kita tidak boleh mencurigai
Tuhan berbuat sesuatu yang tidak pantas. Segala
sesuatu yang dikerjakan-Nya adalah sempurna, dan bagi kemuliaan nama-Nya (Yes. 12:4–5). Kalau sesuatu
terjadi bagi kemuliaan nama-Nya, maka kita yang terlibat di dalamnya pasti mendapat anugerah
kebaikanNya. Hanya, sering kita hanya belum tahu kebaikan apakah yang disediakan-Nya di balik suatu
peristiwa yang menyakitkan dalam kehidupan kita. Kedua, dengan pikiran kita tidak mengerti, tetapi
dengan hati kita bisa percaya bahwa segala sesuatu mendatangkan kebaikan bagi orang yang mengasihi-Nya (Rm. 8:28).
Pertumbuhan Gereja
Karena telah
ternyata, bahwa kamu adalah surat Kristus, yang ditulis oleh pelayanan kami,
ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh
dari Allah yang hidup, bukan pada loh-loh batu, melainkan pada loh-loh daging, yaitu di dalam hati
manusia. (2Kor. 3:3)
Tanpa
disadari oleh banyak orang, ternyata telah terjadi kompetisi antargereja
seperti kompetisi antarperusahaan dalam menarik konsumen.
Tidak sedikit gereja berusaha berusaha menyelenggarakan pelayanan
sebaik-baiknya, bukan bertujuan supaya bagaimana setiap individu benar-benar
berubah menjadi pribadi yang layak menjadi
mempelai Tuhan Yesus, tetapi bagaimana gereja yang dipimpinnya menjadi “gereja besar”. Dan ini dianggap
menjadi ukuran gereja yang berhasil, gereja yang bertumbuh dan gereja yang diberkati.
Memang
selama ini pemahaman banyak orang Kristen mengenai pertumbuhan gereja selalu
mengarah kepada jumlah jemaat, gedung dan
asetnya. Itulah sebabnya ada pertanyaan, “Berapa jumlah jemaat yang hadir dalam kebaktian di gereja anda?”
Memang tidak semua pertanyaan sejenis bertendensi memakai jumlah
jemaat sebagai ukuran keberhasilan gereja.
Pertumbuhan
gereja tidak boleh dipandang dari aspek pertambahan jumlah jemaat semata-mata. Pertumbuhan gereja harus dipandang dari
aspek lahirnya petobat-petobat baru yang sebelumnya memang bukan
orang percaya: orang-orang yang ke gereja bukan karena membaca iklan promosi
kuasa Tuhan di koran, brosur, radio, TV atau sarana
lain; tetapi mereka yang merupakan hasil dari pelayanan jemaat Tuhan yang menjadi saksi di tengah-tengah
keluarga, keluarga besar dan masyarakat.
Bagaimana
jumlah bilangan jemaat Kristen bertambah pada gereja-gereja mula-mula, selain
karena khotbah Petrus di hari Pentakosta?
Setelah aniaya berlangsung atas gereja Tuhan mula-mula itu, mereka tidak dapat berkhotbah di tempat
terbuka. Mereka harus berlarian untuk menyelamatkan diri dari siksaan dan penjara. Tidak ada kesempatan dan
tempat untuk berkhotbah seperti Petrus di Yerusalem. Satu-satunya
cara untuk menambah jumlah jemaat adalah adalah kesaksian pribadi. Kesaksian
pribadi dari anak-anak Tuhan yang telah diubahkan
sangat diperlukan untuk menobatkan orang dengan benar, karena kita adalah surat Kristus yang terbuka,
yang dapat dibaca oleh semua orang.
Kesaksian Pribadi
Karena itu
haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.
(Mat. 5:48)
Kesaksian
pribadi adalah cara paling efektif yang ditunjukkan Tuhan untuk membawa jiwa
kepada Tuhan Yesus. Kesaksian pribadi ini bukan
mengenai kekayaan yang diraih, bukan mengenai gelar dan kedudukan yang dicapai. Meskipun hal-hal ini
memiliki pengaruh dan peran yang tidak dapat dianggap ringan, kesaksian pribadi yang dimaksud Alkitab
sebagai “surat Kristus” (2Kor. 3:3)
adalah kesaksian dalam kehidupan
pribadi yang melibatkan seluruh perilaku kita, yaitu setiap perkataan yang
diucapkan, keputusan dan tindakan yang menciptakan
kondisi atau keadaan hidup yang baik atau bernilai di mata manusia.
Orang yang gagal dalam karier, miskin, sakit-sakitan dianggap tidak bernilai
oleh orang lain. Kalau yang disaksikan adalah kehidupan
yang buruk, maka hasilnya negatif; orang tidak mau menjadi percaya
kepada Tuhan Yesus. Tetapi kalau yang ditampilkan ialah kehidupan yang baik,
maka akan menggiring orang ke dalam Kerajaan
Surga.
Kehidupan
di sini menyangkut seluruh keberadaan kita. Seseorang bisa memiliki kelakukan
baik, tetapi kalau hidup ekonominya
bermasalah—menjadi beban bagi orang lain—tidak akan bisa memiliki kesaksian yang baik. Sebaliknya juga seseorang
yang keadaannya dianggap berhasil di mata manusia tetapi berkelakuan
buruk pun tidak dapat menjadi berkat bagi orang lain juga. Kedua aspek ini
sebaiknya seimbang, sebab ini akan membuat
seseorang makin efektif dengan kesaksian pribadinya untuk mengubah orang lain.
Kesaksian
pribadi yang baik tidak dibangun dalam satu hari atau satu bulan, bahkan tidak
cukup beberapa tahun; tetapi dibangun dari perjalanan
panjang sejak dini atau sejak muda. Jelaslah betapa pentingnya mempersiapkan generasi muda untuk
menjadi agen-agen perubahan di hari esok melalui perjuangan hidup sejak dini. Seorang yang menyadari bahwa
hidupnya harus berfungsi sebagai garam dan terang dunia yang mengubah orang lain (Mat. 5:13–14) akan berusaha
dengan sungguh-sungguh. Itu menyangkut dua hal. Pertama,
bagaimana ia mampu berkelakuan dan berbudi pekerti seperti Tuhan Yesus. Kedua,
berusaha dengan segala cara, kerja keras dan
mengoptimalkan semua potensi untuk tidak dipandang sebagai manusia
gagal di mata manusia lain. Sebab kalau sudah dipandang gagal di mata manusia
lain, bagaimana mungkin ia dapat bersaksi?
Membimbing Menuju Kesempurnaan
Karena itu
pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku…. (Mat. 28:19)
Jiwa-jiwa
yang dimenangkan dan dibawa ke gereja harus dilayani dengan baik, yaitu
bagaimana mentransformasi (mengubah) mereka
menjadi pribadi-pribadi yang bertumbuh dewasa. Pribadi yang layak menjadi mempelai Kristus (Ef. 5:27), dan dapat
mengenakan pribadi Kristus (Flp.
2:5). Dalam hal ini gereja perlu
memberikan follow up, yitu menindaklanjuti pekerjaan atau pelayanan jemaat yang
telah membawa jiwa-jiwa baru tersebut.
Bagaimana menyediakan pelayanan yang berpotensi terjadinya perubahan
pikiran terus-menerus sehingga memiliki pikiran dan perasaan Kristus. Ini
berarti bukan hanya membuat
seseorang bertobat secara moral kepada gereja atau agama Kristen lalu menjadi
anggota gereja yang setia, tetapi membimbing setiap
jemaat menjadi sempurna. Di sini keterlibatan setiap orang dalam gereja untuk menjadi mentor bagi
jiwa-jiwa baru sangat penting. Menjadi mentor bukan hanya bisa berbicara mengenai Tuhan atau bisa
berkhotbah, tetapi juga dapat memberi keteladan hidup yang baik, seperti yang dikehendaki Tuhan.
Penyelamatan
jiwa adalah proses yang tidak sederhana. Hendaknya gereja tidak cukup puas
hanya dengan kehadiran sejumlah dari orang-orang yang
tidak bergereja menjadi anggota jemaat. Seperti halnya proses menjala ikan: memindahkan ikan dari
sungai, laut atau danau ke darat, sampai ke meja makan. Bila ikan sudah digoreng dan ditaruh di atas meja,
tidak mungkin dapat kembali berenang di laut. Demikianlah pula proses menjala jiwa: dari seorang yang
tidak percaya dan berdosa menjadi orang yang percaya kepada Tuhan yang dapat juga melayani Tuhan.
Orang-orang ini tidak akan kembali lagi hidup seperti sebelum bertobat. Mereka tidak akan menoleh ke
belakang seperti istri Lot (Luk.
17:32; Kej. 19:32)
Pertumbuhan
gereja harus dilihat dari aspek kedewasaan rohani jemaat, dan kedewasaan rohani
diukur dari seberapa jauh seseorang dapat
mengenakan pribadi Kristus. Memang sangat sulit untuk mengukur apakah seseorang sudah mengenakan
pribadi Kristus atau belum, tetapi bagaimanapun, kehidupan orang yang mengenakan pribadi Kristus pasti
berdampak bagi lingkungannya. Ini menggenapi apa yang Tuhan perintahkan dalam amanat agung-Nya yaitu
menjadikan semua bangsa murid-Nya. Kehidupan kita sebagai orang
percaya harus menjadi model bagi orang lain membangun moralnya.
All Out
Dalam
bahasa Inggris kita menemukan kata “all out” yang artinya “menggunakan kekuatan
atau usaha sepenuhnya”. Tuhan Yesus bertindak “all
out” untuk menyelesaikan karya keselamatan bagi kita. Ia bukan
saja memberi berkat-Nya bagi kita; bahkan Ia memberikan diri-Nya sendiri bagi
kita. Perjuangan menyelamatkan manusia adalah perjuangan
habis-habisan yang tidak terbatas. Pengorbanannya tiada terhingga.
Ini berarti tidak ada yang disisakan bagi diri-Nya sendiri; semua diberikan
bagi kita yang dikasihi-Nya. Kalau Tuhan Yesus all out
dalam memperjuangkan keselamatan kita, maka patutlah kita juga
menyambut karya keselamatan dari-Nya dengan all out. Dalam berbagai
pernyataan-Nya, jelas-jelas di dalam
Injil Tuhan Yesus menuntut kita all out. Pernyataan-pernyataan Tuhan Yesus itu
antara lain bahwa pengikut-Nya harus menjual segala
miliknya (Mrk. 10:21);
meninggalkan segala sesuatu (Luk. 9:59–62); menyangkal dirinya (Mat. 16:24); tidak
menyayangkan siapa pun, bahkan nyawanya sendiri (Luk. 14:26); dan
sebagainya. Semua pernyataan Tuhan ini merupakan suatu tanda yang jelas bahwa mengikut Yesus harus all out bagi Tuhan.
Tidak ada yang disisakan bagi dirinya sendiri.
All out
bagi Tuhan berarti dalam hidup ini kita harus melakukan apa saja yang
diinginkan-Nya (Mat. 7:21). Masalahnya, bagaimana
seseorang bisa all out bagi Tuhan? Tidak bisa tidak, kita harus memahami isi hati Tuhan dan melakukan isi
hati-Nya tersebut. Dalam hal ini, yang dilakukan bukanlah dibatasi oleh hukum-hukum yang tertulis secara
legalistik—hukum yang dilakukan sesuai dengan bunyinya. Hukum-hukum
tertulis belum dapat dan tidak akan bisa menerjemahkan semua isi hati Tuhan yang
harus kita lakukan. Itulah sebabnya dalam
kekristenan tidak ada syariat agama yang mengatur secara terperinci mengenai cara hidup orang Kristen.
Hukum
terutama yang Tuhan ajarkan yang memotori dan memotivasi seluruh sikap hidup
orang percaya adalah “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan
segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap
akal budimu” (Mat. 22:37).
Hukum ini menunjukkan bahwa pembelaan kita bagi Tuhan tidak dibatasi oleh kalimat dalam hukum,
tetapi segenap hidup ini tanpa batas. Memang ini mengesankan bahwa melakukan kehendak Tuhan terdengar
abstrak, tetapi inilah yang benar. Mengapa demikian? Sebab Tuhan menekankan sikap hati atau batiniah
seseorang (1Sam. 16:7).
Sikap lahiriah seseorang belum tentu berasal dari
sikap hatinya yang benar, tetapi sikap hati yang benar pasti terwujud dalam
tindakan yang dirasakan orang di
sekitarnya.
Masihkah Perlu Peraturan?
Hukum-hukum
yang diberikan Tuhan kepada bangsa Israel adalah usaha untuk menjinakkan
mereka, atau membuat bangsa itu beradab (1Tim. 1:8–11). Hanya
orang yang belum beradab yang harus dibuat beradab oleh
hukum. Di beberapa negara Barat, banyak tempat tidak memuat tulisan “dilarang
membuang sampah sembarangan”, karena masyarakatnya sudah
mengerti bagaimana seharusnya membuang sampah. Di toilet-toilet
juga tidak ada tulisan “dilarang berdiri diatas kloset” atau “harap disiram”,
karena mereka sudah tahu bagaimana menggunakan kloset
secara benar. Masyarakat yang etika kehidupannya sudah baik mengerti bagaimana masuk ke toilet
secara santun. Berbeda dengan masyarakat yang kesantunannya rendah, yang masih membutuhkan hukum
atau peraturan yang tertulis.
Ini
bukan berarti kita tidak membutuhkan hukum. Hukum harus diberikan selama
seseorang belum akil balig
atau belum dewasa. Hukum diadakan supaya mendidik mereka menjadi hidup sesuai
dengan peraturan. Tetapi hukum bukanlah tujuan,
hukum adalah sarana manusia agar menjadi tertib.
Manusia
bisa bersembunyi di balik hukum dan peraturan yang tertulis untuk menghindari
pemilikan Tuhan atas hidupnya. Ini mengakibatkan
seseorang tidak bisa all out bagi Tuhan. Hukum bisa dimanipulasi, peraturan bisa direlatifkan, tetapi
kehendak Tuhan adalah sesuatu yang mutlak. Dalam lingkungan umat Israel pada waktu itu, “hormati hari
Sabat” (Kel. 20:8)
maksudnya agar pada hari itu umat berbakti kepada
Tuhan dan membangun hubungan yang intim. Tetapi lantas diolah sedemikian rupa
dalam berbagai bentuk peraturan sampai menghilangkan
esensinya: misalnya tidak boleh memetik bulir gandum pada hari Sabat (Mat. 12:1–2), tidak boleh
berjalan lebih dari 1100 meter, dan lain sebagainya. Peraturan ini tidaklah esensial, malah merusak maksud
hukum Sabat diberikan.
Kehendak
Tuhan itu mutlak dan batiniah sifatnya, tidak dapat dan tidak boleh diganti
dengan berbagai peraturan dan ajaran yang akhirnya
mengaburkan apa yang seharusnya dilakukan. Misalnya, Tuhan menghendaki
segenap hidup kita, digantikan dengan persepuluhan. Ia menghendaki kita
melayani di mana saja, digantikan dengan pelayanan di
lingkungan gereja. Ia menghendaki kita memberi nilai tinggi Tuhan di mana pun, digantikan praise and worship
dalam bentuk nyanyian dan pujian semata-mata. Ia menghendaki semua anak Tuhan jadi hamba Tuhan,
tetapi digantikan oleh jabatan dalam gereja sehingga ada orang-orang
yang menjadi hamba Tuhan dan yang bukan. Mari kita kembali ke kehendak Tuhan
yang benar.
Kita Dapat Menemukan Dia
Orang
yang mau all out bagi Tuhan harus memenuhi dua persyaratan. Pertama, ia harus
mengenal kebenaran Alkitab yang memuat hakikat
Tuhan yang harus dimengerti oleh manusia yang berurusan dengan
Tuhan. Kebenaran ini adalah hasil ekstraksi dari isi Alkitab. Kecakapan
mengambil intisari Alkitab atau
mengekstrak Alkitab adalah sesuatu yang tidak mudah. Kalau seseorang memiliki
kecakapan ini, maka barulah ia mengalami kekagumannya
terhadap Firman Tuhan. Dari pemahamannya terhadap kebenaran
Alkitab ia dapat mengerti pikiran dan perasaan Tuhan. Syarat kedua, ia harus
mengalami Tuhan sebagai Pribadi yang nyata dalam
kehidupannya setiap hari, sehingga ia dapat mengerti apa yang dikehendaki Tuhan dalam kehidupannya
setiap hari.
Dalam
hal ini kita dapati banyak orang Kristen yang tidak merasa yakin bahwa ia bisa
menjangkau Tuhan. Baginya Tuhan adalah Pribadi yang nun
jauh tak terjangkau sama sekali. Mereka berpikir bahwa Tuhan hanya dapat dijangkau oleh oknum-oknum
tertentu yang diberi karunia khusus untuk itu, oknum-oknum rohaniwan
yang ditentukan menjadi perantara antara Tuhan dan umat-Nya. Konsep ini salah
dan menyesatkan. Seharusnya setiap kita
harus “memburu” Tuhan sampai setiap kita dapat menemukan Dia.
Banyak
nabi palsu yang mengatasnamakan Tuhan berbicara kepada umat-Nya, padahal pesan
yang disampaikan adalah pesannya sendiri,
bukan pesan Tuhan. Biasanya orang-orang yang berani menjadi nabi ini adalah orang-orang yang tidak
mengerti ekstraksi dari Alkitab. Biasanya dalam pelayanan yang diandalkan adalah “suara Tuhan”, bukan
penjabaran kebenaran Alkitab. Kalaupun mengambil ayat-ayat Alkitab,
mereka tidak menelitinya secara benar. Mereka tidak melakukan ekstraksi yang
bertanggung jawab, tetapi secara hurufiah
dipungutnya tanpa mempertimbangkan konteks ayat dan latar belakangnya.
Dampak
dari praktik munculnya nabi-nabi palsu ini sangat luar biasa. Banyak orang
percaya tidak yakin bahwa dirinya
bisa mendengar suara Tuhan, sebagai akibatnya merasa perlu “nabi” untuk bisa
mendengar suara Tuhan. Di sini terjadi
ketergantungan seseorang terhadap manusia. Seharusnya setiap domba dapat mendengar suara gembalanya dan mengikuti
gembalanya tersebut (Yoh.
10:4–5). Jika kita anak-anak domba
milik sang Gembala yang Baik (Yoh. 10:11), kita harus
mengikuti-Nya, dan membangun kepekaan terhadap
suara-Nya melalui kebenaran Alkitab yang murni.
Mengapa Tidak Berani
Karena itu,
saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah
selalu dalam pekerjaan
Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu
tidak sia-sia. (1Kor. 15:58)
Mengapa
orang tidak berani all out bagi Tuhan? Karena mereka tidak mengerti bahwa
kekristenan bukanlah agama, atau tidak dapat
disejajarkan dengan agama. Agama-agama pada umumnya menyediakan
janji-janji dapat melewati kehidupan dengan lebih nyaman. Dengan menganut suatu
agama, maka allah yang ditawarkan oleh agama
tersebut akan memberikan kesenangan-kesenangan hidup di dunia
ini. Allah yang dipercayai oleh suatu agama dapat menjadi andalan untuk
mengatasi semua masalah. Kekristenan
tidaklah demikian. Diawali dengan penerimaan Tuhan atas kita sebagai
anak-anak-Nya, kita dilatih untuk
dapat mengerti kehendak-Nya dan melakukan kehendak Bapa. Bisa timbul suatu
pertanyaan: Kalau kekristenan tidak menjanjikan
kontribusi atau bantuan untuk kehidupan hari ini atau di dunia sekarang ini, untuk apa menjadi Kristen?
Harus ditegaskan bahwa kekristenan adalah usaha mengumpulkan
harta di Surga, bukan yang di bumi (Mat. 6:20), Di sini kita
ditantang untuk memilih, harta duniawi
atau harta surgawi.
Paulus
dalam kesaksian hidupnya mengatakan, “Tetapi aku tidak menghiraukan nyawaku
sedikit pun, asal saja aku dapat mencapai garis akhir dan
menyelesaikan pelayanan yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus kepadaku
untuk memberi kesaksian tentang Injil kasih karunia Allah.” (Kis. 20:24)
Paulus merupakan teladan dari seorang anak Tuhan yang
berani all out bagi Tuhan. Kalau seorang pelaku bom bunuh diri berani all out demi keyakinan atau
ideologinya—yang sudah pasti tidak benar—mengapa sebagai orang percaya kita tidak berani all out demi
keyakinan yang pasti benar, bahwa Tuhan Yesus telah mati bagi kita? Pengorbanan dan pembelaan bagi Tuhan
tidak sia-sia.
Irama hidup
all out bagi Tuhan harus merupakan irama yang biasa diselenggarakan dalam
kehidupan ini, sehingga seorang anak Tuhan dengan
otomatis telah dapat mengutamakan Tuhan dalam kehidupan ini. Akhirnya kalau seseorang sudah biasa all
out bagi Tuhan, tidak bisa lagi hidup tidak all out. Di sini seseorang barulah dapat sejalan dengan
Tuhan, ibarat kendaraan kecepatannya makin seimbang. Inilah keseimbangan yang Tuhan kehendaki, agar
bisa memikul kuk yang dipasang-Nya (Mat. 11:28–30).
Iman Yang Diekspresikan
Sebab seperti
tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan
adalah mati. (Yak. 2:26)
Dewasa
ini kembali terjadi bom bunuh diri di dalam negeri akibat terorisme. Bom bunuh
diri juga sering terjadi di Irak, Afganistan dan beberapa
negara yang sedang mengalami konflik horizontal. Tidak dapat disangkal, keberanian para pelaku bom
bunuh diri adalah keberanian yang mencengangkan. Mereka tidak ragu-ragu atas apa yang dilakukannya.
Mereka menyongsong kematiannya dengan gagah berani. Mereka yakin
bahwa kematiannya bukan kematian konyol, bahkan bisa mendatangkan pahala.
Padahal sesuatu yang mengakibatkan penderitaan sesama
manusia, jelas tidak berasal dari Tuhan Yang Mahakasih.
Tentu,
tindakan mereka yang membawa bencana ini tidak boleh ditiru. Dalam hal kasus
bom bunuh diri ini, yang disoroti adalah keberaniannya
mengekspresikan keyakinannya. Mereka sangat yakin bahwa apa yang mereka lakukan adalah tindakan yang
benar, dan membela yang benar. Fenomena ini memberi pelajaran
yang berharga bagi kita, yaitu bahwa keyakinan yang dimiliki seseorang dalam
level tertentu dapat terekspresi secara konkret, bahkan
sampai taraf ekstrem. Kalau seseorang memiliki keyakinan bahwa
mengiring Tuhan Yesus adalah pilihan yang terbaik, maka keyakinan tersebut
seharusnya terekspresi dalam tindakan yang konkret
pula. Bila pengiringan tersebut telah melalui waktu yang panjang seharusnya ekspresinya semakin ekstrem.
Bila tidak ada ekspresi, berarti tidak ada iman yang benar.
Alkitab
menyatakan bahwa iman tanpa perbuatan seperti tubuh tanpa roh. Maka harus kita
pertanyakan, perbuatan apakah yang ada pada kita yang
menunjukkan iman? Tanpa tindakan apa-apa berarti tanpa iman.
Jadi, iman bukan sesuatu yang abstrak tak terbukti. Iman memiliki perwujudan,
yaitu tindakan yang konkret.
Ketaatan
Abraham menuruti perintah Tuhan untuk meninggalkan Ur-kasdim dan kesediaannya mengorbankan
Ishak, anak satu-satunya di hari tuanya sebagai korban bakaran, merupakan
tindakan yang menunjukkan imannya (Yak. 2:20–24). Tindakan Abraham
yang sangat ekstrem tersebut ini adalah tindakan
yang menunjukkan imannya. Dengan tindakan tersebut Abraham dapat menjadi model
umat Tuhan yang memiliki iman yang benar. Kalau kita
mengaku sebagai anak-anak Abraham di dalam iman, maka kita
harus memiliki langkah seperti yang telah diperagakannya.