Injil Kebenaran Yang Murni (Bag. 3)
Cara Memandang Hidup Yang Diubah “Mendahulukan Kerajaan Allah”
Pada
intinya, kekristenan harus dapat mengubah cara kita memandang hidup ini. Bila
paradigma kita—yakni cara kita memandang
hidup—berubah, maka seluruh gaya hidup kita juga berubah. Usaha mengubah cara kita memandang hidup
inilah yang dimaksud Tuhan dengan mendahulukan Kerajaan Allah (Mat. 6:33). Kita
tidak boleh menganggap perubahan paradigma ini mudah. Banyak orang merasa sudah menjadi orang Kristen yang baik dengan
memiliki moral yang baik di mata masyarakat dan pengetahuan Alkitab yang menurutnya memadai, padahal
caranya memandang hidup masih tidak berbeda dengan anak-anak
dunia.
Mengubah
cara memandang hidup sama dengan mengubah gaya hidup “normal”. Tanpa pengenalan
akan Kristus, mengubah “kenormalan” ini
sebenarnya mustahil, sebab pola “kenormalan” ini bagi kita telah mengakar selama belasan, bahkan puluhan
tahun, dan diteruskan dari nenek moyang kita turun-temurun. Dalam hal ini, hidup baru sebagai
ciptaan baru yang dimaksudkan oleh Alkitab dalam 2Kor. 5:17 harus dimengerti secara
benar.
Pada
umumnya orang memahami hidup sebagai makan dan minum, memiliki fasilitas—rumah,
mobil dan sebagainya, menikah dan memiliki
keturunan (pacaran terlebih dahulu), menikmati segala sesuatu yang bisa dinikmati dalam hidup ini—hobi,
pemandangan alam, hiburan-hiburan yang ditawarkan dunia dan sebagainya, meraih gelar, pangkat dan
kehormatan. Demikianlah umumnya manusia menjalankan hidupnya.
Inilah pola umum yang baku, yang dikenakan semua manusia.
Ketika
kita bertemu dengan Tuhan, segala sesuatu di atas tersebut menjadi tidak
berarti lagi. Tuhan menjadi tujuan
hidup kita satu-satunya. Oleh karena itu Paulus berkata, “Bagiku hidup adalah
Kristus…” (Flp. 1:21). Hidup
adalah menemukan Tuhan, mengenal-Nya dengan baik dan melakukan segala sesuatu yang dikehendaki-Nya. Karena Tuhan kita
lebih luas dari jagad raya ini dan Ialah Pribadi Agung yang tak terselami, maka untuk menemukan Tuhan,
mengenal dan melakukan kehendak-Nya dibutuhkan perjuangan
yang mengabaikan segala hal lainnya. Kalaupun seseorang menikah, bekerja dan
melakukan segala kegiatan lain, harus merupakan
bagian dari “memburu” Tuhan. Itulah sebabnya Tuhan Yesus tegas berkata, “Kumpulkan harta di Surga,
bukan di bumi” (Mat. 6:19-20);
“Tak seorang pun dapat mengabdi kepada
dua tuan” (Mat. 6:24).
Ini berarti kita harus mengabdi kepada Tuhan satu-satunya dan
sepenuhnya, atau tidak usah sama sekali.
Cara Memandang Hidup Yang Diubah “Melepaskan Semua”
Tetapi apa yang
dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. Malahan segala sesuatu kuanggap rugi,
karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah
aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah,
supaya aku memperoleh Kristus. (Flp. 3:7–8)
Hal yang
paling merusak “perburuan” kita terhadap Tuhan adalah kekhawatiran. Mengapa
seseorang khawatir? Sebab ia takut akan terjadi
sesuatu yang buruk dalam kehidupan di bumi ini. Untuk melindungi dirinya sendiri, ia berusaha memiliki
harta sebanyak-banyaknya. Padahal harta tidak dapat menopang kehidupan kita. Tuhan Yesus mengatakan
bahwa hidup manusia tidaklah tergantung dari kekayaan (Luk. 12:15). Jangan mencoba memproteksi diri atau meraih
kebahagiaan dengan banyaknya harta. Tuhan menyebutnya
kebodohan (Luk. 12:16–20).
Ketika
berbicara mengenai hal mendahulukan Kerajaan Surga (Mat. 6:33), terlebih
dahulu Yesus berbicara mengenai
kekhawatiran (Mat. 6:25–32).
Kita harus bekerja keras, rajin dan giat serta menjaga kesehatan. Setelah memenuhi bagian kita, barulah
kita bisa bernyanyi, “Que sera, sera/Whatever will be, will be/The future’s not ours to see/Que sera,
sera”. Ini bukan berarti kita tidak peduli hari esok. Tentu kita mempersiapkan diri menyongsong hari esok
sebatas yang kita bisa lakukan. Di luar itu, terserah Tuhan. Ini kita lakukan agar fokus kita tidak
menjadi melenceng dalam mendahulukan Kerajaan Surga.
Pertaruhan
dan pengorbanan untuk memiliki cara pandang baru terhadap hidup adalah seluruh
hidup. Kita tidak bisa menjadikannya sambilan.
Pertaruhan dan pengorbanan yang sedikit tidak akan membawa kita kepada pengenalan dan kehendak-Nya
secara penuh. Demi agar “perburuan” kita terhadap Tuhan dapat berjalan lancar atau tidak terhambat,
Firman-Nya menasihati kita bahwa kita harus memiliki rasa cukup (1Tim. 6:6-7). Tanpa
rasa cukup manusia tidak akan pernah berhenti memburu sesuatu yang “bukan Tuhan”.
Pertaruhan
dan pengorbanan yang berat adalah ketika seseorang harus melakukan “barter”.
Paulus menunjukkan bahwa melepaskan semuanya
dan menganggapnya sampah, adalah hasil dari cara memandang
hidup yang diubah. Bila kita bisa mengatakan seperti yang Paulus katakan, maka
kita menemukan kemerdekaan yang sejati.
Sebenarnya pola pikir seperti ini juga dikenal oleh beberapa agama di dunia, yang berusaha melepaskan diri
dari “percintaan dunia”. Hanya bedanya mereka tidak memiliki Tuhan Yesus Kristus dan kebenaran-Nya.
Di Pihak Siapa Kita Berdiri? “Mengerti Pikiran Tuhan”
“Enyahlah Iblis.
Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang
dipikirkan manusia.” (Mat.
16:23)
Perkataan
Tuhan Yesus kepada Petrus ini sangat mengejutkan: bagaimana bisa Petrus yang
selama ini telah bersama-sama dengan Tuhan Yesus
tidak mengerti pikiran Tuhan? Ia mencoba menghalangi rencana Tuhan atau menjadi batu sandungan Tuhan
yang mau ke Yerusalem untuk memikul salib. Petrus menjadi alat
iblis yang terselubung, padahal tentunya Petrus—seperti juga murid-murid yang
lain—pernah mengusir setan. Sungguh ironis.
Ini
memberi pelajaran yang berharga bagi kita, bahwa kedekatan seseorang secara fisik
dengan Tuhan pun tidak menjamin ia memiliki pikiran Tuhan
dan mengerti kehendak-Nya. Kalau Petrus—murid Tuhan Yesus yang
terkemuka—bisa kerasukan setan, bukan tidak mungkin orang-orang yang selama ini
dianggap rohani atau dekat dengan Tuhan dan aktif
dalam pelayanan gereja bisa juga menjadi alat setan yang sangat terselubung. Hal ini harus kita waspadai
dengan seksama.
Sebagai
perenungan: Apakah kita yakin semua orang Kristen mengerti pikiran Tuhan?
Apakah kita yakin semua aktivis gereja mengerti pikiran
Tuhan? Apakah kita yakin semua pendeta mengerti pikiran Tuhan? Ini dikemukakan bukan bermaksud untuk
menghakimi sesama anak Tuhan atau menciderai jabatan pendeta.
Tetapi perenungan ini kiranya menjadi bahan untuk memicu setiap kita, termasuk
para hamba Tuhan untuk mengoreksi diri, apakah
dalam perjalanan hidup ini kita berjalan dalam kehendak Tuhan (2Kor. 13:5). Tuhan
menghendaki kita untuk selalu memeriksa diri oleh tuntunan Roh Kudus, supaya
kita dapat menemukan penyesatan yang sedang
berlangsung dalam hidup kita (Mzm. 139:23–24).
Sangat
mengkhawatirkan sebab banyak orang Kristen merasa pasti dikenal Tuhan, padahal
mereka tidak akan pernah diterima di kemah abadi (2Kor 5:1). Bahkan
sebenarnya sekarang banyak orang yang ada dalam
cengkeraman kuasa kegelapan— seperti Petrus yang kerasukan iblis—tetapi tidak
menyadari keberadaannya. Ia berpikir sedang ada di
jalur Tuhan, padahal ada di jalur setan. Melalui renungan ini, diharapkan kita dengan rendah hati dan
jujur memeriksa diri sendiri dalam terang Firman dan Roh Kudus. Kesombongan akan menutup mata kepekaan
kita mengenali diri dengan seksama seperti Tuhan mengenalinya.
Hanya Tuhan yang dapat membuka mata kepekaan kita agar memahami keadaan kita
yang sebenarnya.
Di Pihak Siapa Kita Berdiri? “Mengumpulkan atau Menceraiberaikan”
“Siapa tidak
bersama Aku, ia melawan Aku dan siapa tidak mengumpulkan bersama Aku, ia menceraiberaikan.” (Luk. 11:23)
Dari
kalimat Tuhan Yesus ini Ia menunjukkan kedaulatan-Nya sekaligus peringatanNya.
Ini mengandung ketegasan yang tidak bisa dan tidak
boleh kita anggap sepele. Kalau kita menjadi sekutu Tuhan, berarti kita akan turut mengumpulkan— artinya
menyelamatkan jiwa-jiwa—tetapi kalau kita tidak turut menyelamatkan
jiwa-jiwa, berarti kita membinasakan, atau membiarkan orang binasa. Mengapa
demikian? Sebab jika seseorang tidak berdiri di
pihak Tuhan, padahal ia mengenal kebenaran dan memiliki kesempatan
untuk berdiri di pihak Tuhan, berarti ia menyatakan dirinya berdiri di pihak
musuh Tuhan. Ia membinasakan dirinya sendiri.
Perkataan
Yesus di atas menunjukkan kedaulatan-Nya. Ia berdaulat sebab Ialah Pencipta,
yang menuntut ciptaan-Nya untuk menempatkan diri di
pihak yang benar. Pemberontakan Iblis di hadapan Allah sehingga menyeret pula malaikat-malaikat
merupakan realitas yang harus dipahami dengan seksama. Pemberontakan
itu berlanjut di muka bumi ketika manusia ciptaan Tuhan yang mulia dijatuhkan (Why. 12:1–4, 7–9). Tuhan membuat perseturuan antara Iblis dan manusia.
Dalam Kej. 3:15 Ia
berfirman, “Aku akan
mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan
keturunannya; keturunannya akan meremukkan kepalamu,
dan engkau akan meremukkan tumitnya.”
Setelah
kuasa kegelapan menjatuhkan manusia, selanjutnya Iblis menyeret sebanyak
mungkin manusia untuk mengikuti jejaknya, melawan Tuhan.
Ini merupakan gerakan Iblis yang terus berlangsung sampai hari
ini. Manusia harus menyadarinya (1Ptr. 5:8–9). Ketika Kerajaan Surga datang, Tuhan akan
menantang kita, ada di pihak mana. Kedatangan Kerajaan Surga
yang dibawa oleh Tuhan Yesus merupakan isyarat dimulainya sebuah peperangan
besar untuk membinasakan pekerjaan Iblis dan
mengembalikan manusia kepada pemilik-Nya. Sebagaimana Iblis mendayagunakan segala kekuatan dan
pengikutnya untuk melawan Allah, demikian pulalah Tuhan Yesus mendayagunakan kekuatan-Nya dan
pengikutnya untuk menghancurkan pekerjaan iblis (1Yoh. 3:8). Di surga, malaikat-malaikat yang berperang,
tetapi di bumi, sebagai orang percaya, kitalah yang mengawal pekerjaan-Nya. Yang penting harus kita
pastikan sekarang adalah, di pihak siapakah kita? Apakah kita turut serta mengawal pekerjaan-Nya atau
sibuk dengan urusan kita sendiri?
Di Pihak Siapa Kita Berdiri? “Menjadi Saksi Kristus”
Tuhan
Yesus menghendaki agar kita bersama dengan Dia. Bersama denganNya bukan hanya
berarti bersama secara fisik.
Kalau dalam konteks hidup orang Kristen hari ini merasa sudah bersama dengan Tuhan hanya karena sudah ada di gereja,
itu belum tepat. Bersama dengan Tuhan berarti mengerti pikiran Tuhan, mengerti kehendak dan
rencana-Nya, serta melakukan semua yang Tuhan kehendaki untuk dilakukan.
Orang
yang mengerti pikiran Tuhan pasti memperagakan pikiran dan perasaan Tuhan.
Inilah kehidupan seorang yang mengenakan pribadi Kristus.
Kehidupan seperti ini adalah kehidupan yang pasti mengubah orang
lain. Sesungguhnya inilah yang dimaksud menjadi terang dan garam dunia:
kehidupan sebagai saksi Kristus yang
efektif. Anak Tuhan menjadi surat yang terbuka, yang dibaca setiap orang (2Kor. 3:2–3). Orang yang diselamatkan karena melihat
perbuatan baik seorang anak Tuhan akan menjadi orang Kristen yang sejati. Mekanisme yang benar dalam
proses penyelamatan adalah: bila orang kafir melihat perbuatan baik anak Tuhan, ia dipertobatkan dan
lalu didewasakan.
Sebenarnya
Tuhan memiliki rencana untuk menyelamatkan orang-orang di sekitar kita bagi
Kerajaan Allah, tetapi berhubung kelemahan watak
dan karakter kita yang terekspresikan melalui perbuatan, maka mereka tidak menjadi orang percaya. Ini
berarti orang percaya yang gagal membawa orang lain kepada Tuhan
menjadi batu sandungan. Orang yang tidak mengenakan pikiran Kristus akan
mengenakan pikirannya sendiri, sehingga semua yang
dilakukannya merupakan ekspresi dari dirinya sendiri yang fasik. Tokoh besar dari India, Mahatma Gandhi
pernah menyatakan bahwa yang membuat ia tidak akan pernah menjadi
orang Kristen adalah orang-orang Kristen sendiri yang tidak menampilkan
kehidupan seperti Gurunya, Tuhan Yesus Kristus. Oleh sebab
itu dalam pelayanan kita, kita harus menampilkan kehidupan Tuhan
Yesus. Sayangnya hari ini banyak “hamba Tuhan” lebih dekat untuk disebut
“selebriti”, daripada seorang “hamba”
seperti Guru dan Tuhannya.
Memang
untuk menjadi saksi Kristus bagi orang lain harganya sangat mahal, yaitu harus
mematikan segala hal yang tidak sesuai dengan kehendak
Allah, sehingga dapat memperagakan pribadi Kristus. Jika seseorang
tidak memperagakan pribadi Kristus, berarti ia memperagakan pribadi setan.
Mengenakan pribadi setan berarti ikut
menceraiberaikan, bukan mengumpulkan. Dengan ini sekali lagi kita ditantang untuk mengambil sikap, di pihak siapa
kita berdiri: Tuhan atau setan?
Lorong Kekekalan “Kesadaran Kekal”
Ketika itulah
TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup
ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu
menjadi makhluk yang hidup. (Kej. 2:7)
Manusia
adalah makhluk yang dahsyat. Kedahsyatannya bukan hanya terletak pada
kecerdasan dan segala kemampuan yang dimilikinya,
tetapi juga terletak pada kenyataan bahwa manusia adalah makhluk yang kekal. Inilah yang ditunjukkan oleh
Alkitab dalam ayat di atas. Kata “makhluk hidup” dalam teks aslinya nephesh khayyâh yang
berarti “nyawa yang hidup”. Inilah yang membedakan manusia dari mahkluk hidup lainnya.
Pengertian
“makhluk yang hidup” di sini harus dibedakan dengan pengertian makhluk hidup
yang dipahami oleh kebanyakan orang. Selama
ini yang disebut “makhluk hidup” bukan hanya manusia; hewan pun juga disebut makhluk hidup. Tetapi
tentunya hidupnya hewan tidak sama dengan manusia. Manusia menjadi
makhluk hidup bukan hanya dimengerti sebagai mahkluk yang bisa bergerak
sendiri, tetapi memiliki unsur kekekalan. Nephesh
khayyâh adalah kesadaran kekal yang dimiliki manusia, yang tidak dimiliki makhluk lain. Jadi meskipun
tubuh manusia dikubur, hancur bersama tanah di bumi, tetapi kesadarannya tidak pernah lenyap.
Untuk
seekor binatang yang hari ini hidup lalu esok mati, lenyaplah kehidupan dan
kesadarannya; tidak ada
kelanjutannya. Berbeda dengan manusia: tubuhnya terbujur kaku, tetapi roh dan
jiwanya menyatu menuju ke alam baka. Karena itu pola
hidup manusia tidak boleh disamakan dengan pola hidup hewan. Hidup hewan hanya terfokus pada makan
dan minum, tak perlu memedulikan persekutuan dengan Tuhan Penciptanya.
Hidup manusia harus terfokus kepada Tuhan, untuk dapat bersekutu dengan Tuhan
dan mengabdi kepada-Nya. Kesadaran yang
tidak pernah lenyap ini adalah sesuatu yang sangat dahsyat, mengerikan dan tak teruraikan dengan
kata-kata. Inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang berisiko sangat tinggi. Manusia harus
menghadapi kesadaran kekal, di neraka atau di surga.
Bayangkan
kalau kita ada di keadaan itu. Ketika nyawa kita membubung melayang
meninggalkan tubuh yang terbujur
kaku, mata kita memandang kekekalan. Kita tidak bisa menengok ke belakang
kembali ke bumi. Situasi itu sangat dahsyat. Kalau
pada waktu itu seseorang tidak menjadi sekutu Tuhan, betapa mengerikan! Tidak ada kesempatan untuk
memperbaiki diri dan bertobat. Kesempatan bertobat dan memperbaiki
diri hanya di bumi, sekarang.
Lorong Kekekalan “Hembusan NafasNya”
Penciptaan
manusia dalam Kej. 2:7
dikisahkan secara dramatis: “… TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan
nafas hidup ke dalam hidungnya…” Kalau sebelumnya untuk ciptaan
yang lain Tuhan hanya berfirman atau bersabda, tetapi untuk manusia, Tuhan
membentuknya dengan tangan-Nya sendiri. Kata
“membentuk” dalam teks aslinya menggunakan kata yâtsar. Dalam bahasa Ibrani, selain kata yâtsar ada
kata lain yang diterjemahkan “menciptakan” atau “menjadikan”, yaitu bârâ’, misalnya di Kej. 1:1 dan `âsâh,
misalnya di Kej. 1:7.
Kata
yâtsar bermakna “menciptakan atau membentuk dengan mengandung unsur seni” (art;
fashion). Dan yang lebih dahsyat adalah, Tuhan
“menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya”. Kalau manusia menghembuskan nafas, tentu harus
menghirup oksigen terlebih dahulu, tetapi kalau Tuhan menghembuskan
nafas, ada “sesuatu” dari dalam diri-Nya yang mengalir keluar. Sungguh luar
biasa. Dalam tindakan Tuhan ini terdapat pesan
yang tidak boleh dianggap ringan. Tindakan ini tidak dilakukan Tuhan terhadap makhluk lain dalam
penciptaan-Nya. Tuhan memberikan sesuatu dari dalam diri-Nya kepada manusia. Tindakan Tuhan
menghembuskan nafas-Nya merupakan fenomena nyata yang pasti memuat kebenaran yang harus kita pahami:
karena nafas hidup yang dihembuskan Tuhan itulah manusia menjadi
makhluk yang kekal.
Kekekalan
adalah karunia yang luar biasa yang tidak diberikan Tuhan kepada makhluk lain.
Ini berarti manusia adalah makhluk yang sangat
berharga, lebih dari segala makhluk lain. Keberhargaan manusia di mata Tuhan melampaui pikiran dan
pertimbangan manusia. Berkenaan dengan hal ini barulah kita dapat lebih mengerti mengapa Tuhan Yesus rela
meninggalkan tahkta-Nya untuk menjadi manusia, mati di kayu salib dengan cara yang sangat hina dan
keji. Ia melakukan itu semua itu karena kasih-Nya kepada manusia yang sedang menuju kegelapan abadi.
Dengan
kekekalan yang dikaruniakan kepada manusia, manusia pasti mengemban tanggung
jawab yang tidak ringan. Tidak ada sesuatu yang
berharga diberikan tanpa tanggung jawab. Tanggung jawab yang dikehendaki oleh Tuhan adalah tidak
membuat kekekalan menjadi kecelakaan abadi. Kekekalan seharusnya
menjadi kesempatan untuk bertemu dengan Tuhan dan tinggal bersama dengan-Nya
dalam kerajaan-Nya. Orang-orang yang hidup
ceroboh dan tidak pernah membenahi diri menyongsong lorong kekekalan
berarti tidak menghargai nilai kekekalan dalam dirinya.
Lorong Kekekalan “Pertaruhan Yang Sangat Mahal”
Dan janganlah
kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada
Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka. (Mat. 10:28)
Selain
Tuhan, tidak ada hal lain yang lebih dahsyat daripada kekekalan. Di antara
kedahsyatan Tuhan, salah satunya
juga karena faktor ini, bahwa Ia kekal (Mzm. 93:1–5; Yes. 40:28). Salah
satu nama-Nya adalah Allah yang Kekal Êl `Olâm,
Kej. 21:33.
Jika
kita menghayati fakta kekekalan ini, maka masalah hidup sebesar apa pun menjadi
kecil. Jadi kalau kita masih gentar dengan berbagai
masalah hidup, berarti kita belum menghayati fakta kekekalan. Ini hukum yang tidak dapat dibantah, bahwa
kegentaran terhadap kekekalan akan menenggelamkan perasaan takut
terhadap apa pun. Inilah yang Tuhan maksudkan dengan pernyataan-Nya dalam Mat. 10:28.
Sangat
ironis dan bodoh jika banyak manusia lebih takut kepada sesuatu yang sebenarnya
bukan ancaman yang menakutkan. Karena ketakutan itu,
ancaman atau bahaya yang lebih besar pun terabaikan. Inilah tipu muslihat Iblis. Iblis berusaha
menyembunyikan hal yang seharusnya ditakuti dengan menunjukkan hal-hal yang seharusnya tidak perlu
ditanggapi sebagai ancaman yang menakutkan. Dalam hal ini gereja tidak boleh mengesankan seolah-olah soal
neraka dan surga bukan masalah prinsip, sehingga pantas dilupakan.
Gereja tidak boleh mengesankan, “Itu masalah kecil, sebab Tuhan Yesus telah
menyediakan Surga bagi orang percaya. Yang harus
digumuli dan dipersoalkan adalah masalah hidup kita sehari-hari: pekerjaan, usaha, jodoh, kesehatan dan
lain sebagainya.” Seharusnya kesadaran akan kekekalan membangkitkan
kegentaran setiap kita terhadap kekekalan itu sendiri, dan membangkitkan atau mendorong kehidupan yang saleh.
Sungguh,
ini seharusnya membuat kita menjadi takut hidup. Ketakutan ini berangkat dari
kenyataan adanya pertaruhan yang sangat mahal.
Kalau orang main judi dengan taruhan kecil, maka permainan itu tidak berisiko; tetapi kalau taruhannya
tinggi, maka itu menjadi permainan yang sangat berisiko. Kekekalan
merupakan pertaruhan atas seluruh kehidupan kita. Ini menakutkan. Tuhan
mengajar kita untuk memiliki kegentaran terhadap
kenyataan ini. Kata “membinasakan” dalam Mat. 10:28 di sini
adalah apollümi yang artinya
“menghancurkan sama sekali”.
Lorong Kekekalan “Gehenna”
Kata
“neraka” dalam Mat. 10.28
aslinya tertulis gehenna. Ini berasal dari kata bahasa Ibrani gêy-Hinnom. Disinyalir oleh beberapa ahli bahwa kata
ini berarti “meratap”. Lebak Ben-Hinom adalah sebuah lembah atau jurang di bagian selatan Yerusalem,
pusat penyembahan berhala pada jaman raja-raja (2Raj. 23:10). Di tempat inilah diselenggarakan
persembahan kurban anak-anak kepada Dewa Molokh yang menjijikkan di hadapan Tuhan (2Taw. 28:3; 33:6).
Karena upacara-upacara berhala yang pernah diadakan di sana, maka nama tempat itu menjadi lambang api
neraka. Api yang digunakan untuk membakar anak-anak yang dikurbankan
bagi dewa Molokh memberi inspirasi neraka. Tempat tersebut juga dikenal sebagai
“Lembah Pembunuhan” (the Valley of Slaughter, Yer. 7:31–32).
Bagi
orang Yahudi, kata gehenna mempunyai pengertian “tempat penghukuman bagi
orang-orang berdosa”. Kata ini hampir selalu
menunjuk tempat penyiksaan, tempat yang disediakan bagi orang-orang jahat. Dalam Alkitab Bahasa Indonesia
gehenna diterjemahkan “neraka”, dan ditulis dua belas kali. Sebelas di antaranya diucapkan Tuhan
Yesus sendiri (Mat. 5:22–30,
10:28, 18:9, 23:15, 23:33; Mrk. 9:43, 9:45, 9:47; Luk. 12:5; Yak. 3:6). Kata
gehenna sering disertai keterangan tambahan yang dikalimatkan sebagai “api yang menyala-nyala”. Hal
ini menunjukkan bahwa tempat ini adalah tempat hukuman kekal (everlasting punishment). Gehenna ini
bisa menunjuk tempat terakhir penghukuman setelah penghakiman. Kata ini dalam bahasa Inggris
diterjemahkan “hell”.
Konsep
tentang tempat penghukuman yang diilustrasikan secara dramatis mengerikan ini
baru muncul dalam Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian
Lama, dunia orang mati atau she’ôl tidak selalu dianggap menjadi tempat penyiksaan atau tempat
penghukuman. Kalaupun she’ôl juga diisyaratkan sebagai tempat penghukuman, tetapi ilustrasinya tidak
semengerikan gehenna. Gehenna inilah tempat pembuangan permanen
bagi mereka yang tidak diperkenankan tinggal dalam kerajaan Bapa, sama dengan
“lautan api” yang dimaksud dalam Why. 20:14–15. Kata
“lautan api” ini sebenarnya lebih tepat diterjemahkan “danau api” sebab aslinya tertulis limnen tu
püros. Sangat besar kemungkinan gehenna ini adalah terbakarnya bumi atau tata surya kita yang
dijelaskan dalam 2Ptr.
3:10–12. Pada waktu itu kita sudah berada di Surga, kekekalan
yang indah selamalamanya (Why.
22:5; 7:17; 21:4).
Itulah sebabnya Paulus berkata bahwa penderitaan
Zaman sekarang ini tidak ada artinya dibanding dengan kemuliaan yang akan kita
terima (Rm.
Lorong Kekekalan “Petualangan Yang Hebat”
Hidup
ini harus dipahami sebagai petualangan yang hebat, suatu kesempatan yang luar
biasa yang dianugerahkan oleh Penciptanya kepada
masing-masing kita. Banyak orang tidak menghargai hidup ini sebab tidak menyadari betapa hebatnya
kehidupan ini. Fasilitas kehidupan ini sendiri sebenarnya sangat mengagumkan, pantas dikatakan sebagai
mukjizat. Fisik atau tubuh kita dengan semua organ, komponennya
dan metabolismenya yang sangat menakjubkan. Apalagi unsur rohani atau jiwa yang
tidak kelihatan; termasuk di dalamnya
kecerdasan dan perasaan yang kita miliki. Manusia diciptakan dengan keberadaan seperti Penciptanya sendiri.
Ini memberikan kita potensi atau kemampuan untuk dapat bersekutu
dengan Tuhan, menjadi partner yang berinteraksi dengan Tuhan.
Alam
semesta dengan segala fasilitasnya juga sangat menakjubkan. Semua keagungan ini
sebenarnya hanya merupakan sarana atau untuk
terjadinya suatu perjumpaan antara masing-masing individu manusia dengan Tuhan Semesta Alam yang Mahaagung.
Oleh sebab itu, alam semesta dengan segala kekayaannya tidak
boleh menjadi tujuan. Kuasa jahat yang hendak menarik manusia menjadi sekutunya
telah menyesatkan banyak orang supaya alam
semesta menjadi tujuan. Inilah yang dilakukan Iblis terhadap Tuhan Yesus pada awal pelayanan-Nya.
Iblis membujuk Tuhan Yesus untuk menyembah-Nya dengan memberi
imbalan dunia yang indah (Luk.
4:5-8). Jadi, orang yang terpikat dengan dunia berarti ia telah menyembah Iblis.
Seandainya
tidak ada kita sebagai manusia, maka tidak ada perjumpaan antara kita dengan
Tuhan. Dan jika tidak ada perjumpaan itu, memang
tidak ada kerugian maupun keuntungan. Tetapi kalau Sang Pencipta
sudah menciptakan kita, maka terdapat suatu fakta adanya kerugian atau
keuntungan. Dengan kata lain:
kehinaan atau kemuliaan, neraka kekal atau surga kekal. Sekali lagi diingatkan,
inilah yang kemudian menjadikan hidup kita ini
berisiko tinggi. Marilah belajar menyadari bahwa hidup ini bukan sekadar sebuah perjalanan sederhana yang
singkat, dan setelah itu berlalu tanpa dampak atau akibat. Bila kita memiliki pemahaman seperti ini maka
kita telah menjadi sekelas dengan hewan, tidak ada bedanya (1Kor. 15:32).
Kita
tidak bisa berkata: “Aku tidak mau menjadi manusia dengan resiko kekekalan
ini!” Siapakah kita ini sehingga bisa
atau boleh mengatakan itu? Kita adalah mahkluk ciptaan, yang tidak berhak
berargumentasi dengan Sang Pencipta.
Lorong Kekekalan “Kesempatan”
Sebagai
ciptaan, kita harus mengakui bahwa Tuhan pasti memiliki keahlian yang tak
terjelaskan. Sebagian keahlian-Nya
tersebut tampak dari hasil ciptaan-Nya ini—manusia, makhluk lainnya, dan alam
semesta. Tetapi itu hanya alat atau sarana.
Kehebatan yang harus kita temukan adalah indahnya persekutuan dengan Sang Khalik. Itulah sebabnya
dikatakan bahwa hidup ini adalah suatu petualangan yang hebat. Puncak kehebatan hidup ini adalah bahwa
kita diperkenankan untuk memiliki perjumpaan dengan Pribadi Mahaagung yang berkenan menjadikan kita
sekutu-Nya, yaitu umat, sahabat dan anak kesayangan.
Memang
karena dosa manusia mengalami ketragisan yang luar biasa. Manusia pertama tidak
menduga bahwa akibat pelanggarannya sangat
dahsyat: “Kamu akan mati” (Kej. 3:19). Manusia
telah terpisah dan kehilangan
sumber kehidupan, telah kehilangan kemuliaan Allah (Rm. 3:23). Karena dosa,
manusia bukan saja telah rusak dan bumi terkutuk,
tetapi kesempatan untuk menjadi sekutu Tuhan telah lenyap. Inilah malapetaka terhebat dan peristiwa
tertragis dalam sejarah kehidupan manusia.
Sekarang,
kesempatan telah diberikan oleh Sang Pencipta untuk kembali bersekutu dengan
Dia. Terserah kita, apakah kesempatan ini kita mau
raih atau tidak. Kehidupan ini menjadi hebat karena menjadi petualangan sementara, saat kita
diperkenankan untuk kembali membangun hubungan dengan Sang Pencipta
sebagai suatu persiapan untuk memasuki kehidupan kekal bersama dengan Dia dalam kerajaan-Nya. Apa artinya seribu tahun
jika akhirnya tidak ada kebahagiaan lagi? Jangankan seribu tahun, kalau seseorang pernah hidup dalam
kelimpahan selama 40 tahun tetapi 5 tahun terakhir jatuh miskin, hidupnya yang 40 tahun itu tidak ada
artinya. Melihat foto-foto kejayaannya pun tidak sanggup. Apalagi dengan kekekalan!
Karena
kebodohan dan kedegilan hati manusia, banyak orang berpaling dari Tuhan. Mereka
lebih menyibukkan diri dengan fasilitas, bukan
pada maksud fasilitas itu diberikan. Dalam hal ini Tuhan Yesus menegaskan bahwa hidup itu lebih penting
daripada makanan (Mat.
6:25). Sayangnya demi makan dan minum
orang sering tidak menghargai hidup ini, dan demi pakaian orang tidak
menghargai tubuh yang sangat
menakjubkan.
Lorong Kekekalan “Tanda-Tanda Zaman”
Sebagai
makhluk kekal, setiap manusia menghadapi risiko kekekalan dalam hidupnya yang
singkat. Oleh sebab itu manusia yang tidak
mempertimbangkanhal ini adalah manusia yang bodoh, tidak berakal. Kesukaran-kesukaran hidup yangterjadi
dalam hidup kita sebenarnya hendak mengajak kita untuk berpaling
kepadaTuhan dan mencari apa yang bernilai abadi. Planet yang kita huni ini
bukanlah duniayang menjanjikan.
Kebakaran hutan, menipisnya lapisan ozon, gejala-gejalaalam yang aneh dan
menakutkan, makin berkurangnya sumber kekayaan alam,
krisis-krisis hidup manusia (ekonomi, moral, politik, keamanan
yang berkaitan dengan ancaman nuklir dan senjata perang pemusnah lain), dan
berbagai ancaman terhadap kelangsungan hidup
manusia seperti berbagai penyakit yang muncul tanpa ada terapinya,
ancaman asteroid yang bisa menabrak bumi, dan sebagainya.
Berbahagialah
mereka yang dapat membaca tanda zaman ini dan berpaling kepada Tuhan dan mencari-Nya. Jika kita termasuk pencari
Tuhan, kita tergolong dalam kelompok yang sempat tertolong. Banyak kelompok yang tidak sempat
tertolong lagi, sebab pandangan hidup mereka tertuju kepada dunia ini sematamata. Mereka tidak percaya
bahwa Tuhan Yesus akan datang sesegera mungkin. Mereka berpikir
bahwa Tuhan Yesus datang barangkali 100 tahun lagi atau lebih.
Sebagaimana
seseorang dapat mengenali cuaca dengan tanda-tanda yang ada, demikian pula
seorang anak Tuhan harus dapat menemukan tanda-tanda
zaman untuk mengerti saat-saat penting dunia. Tuhan akan sengaja
menunjukkan tanda-tanda tersebut semakin jelas, supaya anak-anak-Nya dapat
bersiap-siap. Dengan mengenali saat-saat penting
tersebut, kita dapat mengambil tindakan-tindakan yang perlu (Mat. 24:45–51). Tanda-tanda zaman yang kita dapat baca ini akan
menggerakkan kita melakukan tindakan yang
penting.
Kalau
ternyata planet yang kita huni ini tidak menjanjikan kehidupan yang sejahtera,
bahkan makin hari makin mencemaskan, maka kita didorong
untuk mencari kehidupan di dunia lain yang menjanjikan suatu kehidupan yang indah dan bernilai kekal.
Kehidupan seperti ini tidak dapat kita jumpai dalam agama dan ajaran mana pun, kecuali apa yang
diajarkan Tuhan Yesus (Yoh.
15:1–4). Itu sebabnya Tuhan Yesus berkali-kali
menasihati agar kita mencari dan mengutamakan harta surgawi yang memiliki nilai
kekal (Mat. 6:19–21). Paulus pun
demikian (Kol. 3:1–4).
Yang harus kita lakukan adalah mempersiapkan diri untuk
menyambut kedatangan Tuhan dalam kehidupan pribadi kita, agar kita
diperkenankan bertemu dengan Tuhan di
awan-awan permai (1Tes.
4:17).
Lorong Kekekalan “Pergunakanlah Waktu Yang Ada”
Merupakan
hukum kehidupan yang tidak dapat kita sangkali adalah bahwa manusia tidak dapat dipisahkan dengan waktu yang berjalan.
Sadar atau tidak sadar, kita terikat dengan waktu. Kita harus tunduk kepadanya, sebab tidak seorang
pun yang sanggup menghentikan waktu. Kenyataan ini harus kita camkan dengan sungguh-sungguh. Tidak
boleh kita masa bodoh.
Selama
ini orang mengungkapkan “waktu adalah uang”. Kemudian rohaniwan menangkisnya
dengan konsep “waktu adalah anugerah”. Benarkah
waktu adalah anugerah? Benar sebagian, sebab waktu adalah anugerah
bagi orang tertentu, tetapi sebaliknya menjadi kutuk bagi orang yang lain.
Waktu menjadi anugerah bagi orang yang memanfaatkannya
secara bijaksana (Ef. 5:15–17),
sebaliknya waktu menjadi kutuk
bagi orang yang mengisi hari-hari hidupnya dengan tidak bijaksana.
Dalam
waktu hidup ini terdapat kesempatan, yang bisa diibaratkan sebagai kendaraan
yang membawa kita kepada kebenaran Allah atau sebaliknya
menjauhinya. Dalam Ef. 5:
16, Paulus berkata, “Pergunakanlah waktu
yang ada.” Di sini waktu ibarat kendaraan yang dimanfaatkan; maksudnya,
diarahkan ke tujuan yang benar.
Sebab waktu tetap berjalan, tidak ada yang dapat menghentikannya. Setiap orang
terseret oleh waktu itu. Karenanya sementara kita
diseret oleh waktu, hidup di dalam waktu ini harus diarahkan ke tujuan yang benar (1Kor. 9:26). Waktu ini
sangat singkat, artinya kendaraan yang membawa kita kepada kebenaran
ini terbatas masa penggunaannya (Yak. 4:4; 1Ptr. 1:24). Menyadari
hal ini maka kita harus memiliki hati
yang bijaksana (Mzm.
90:10). Oleh sebab itu, jangan kita gunakan waktu yang tersisa ini untuk hal-hal yang tidak Tuhan
kehendaki; tetapi gunakanlah secara bijaksana (1Ptr. 4:2–3).
Memang
kenyataannya masih banyak manusia tidak menggunakan waktu dengan bijaksana dan
tidak membawa diri kepada kebenaran Allah.
Banyak waktu yang mereka gunakan untuk sekadar mengumpulkan
harta, meraih cita-cita duniawi seperti pangkat, prestasi, gelar dan
sebagainya. Waktu digunakan untuk memuaskan hasrat daging
dan berbagai kesenangan, seolah-olah hidup ini adalah kesempatan
satu-satunya bagi manusia memiliki kesadaran. Ia lupa bahwa hidup ini sekarang
baru permulaan dari sebuah kesadaran abadi (1Kor. 15:32; Luk. 16:19–31). Di balik
kehidupan hari ini, masih ada
kehidupan yang panjang yang disediakan Allah, yaitu kehidupan di keabadian.
Inilah yang dinanti-nantikan oleh
tokoh-tokoh iman (Flp.
3:10–11). Gereja Tuhan harus menggiring jemaat kepada kehidupan yang penuh harapan (1Ptr. 1:3–4): harapan untuk
hidup dalam kekekalan bersama dengan Tuhan.
“Mengapa Aku Tidak Diperingatkan?”
Dalam Luk. 16:19–31 dikisahkan
mengenai orang kaya yang memohon kepada Abraham agar mengutus Lazarus ke rumah orang tuanya supaya
memberi peringatan kepada saudara-saudaranya agar tidak masuk ke tempat celaka yang menyakitkan, di
mana terdapat nyala api yang tidak pernah padam. Abraham mengatakan
bahwa jika mereka tidak mendengarkan kesaksian Musa dan para nabi, mereka tidak
juga akan mau diyakinkan, sekalipun oleh
seorang yang bangkit dari antara orang mati.
Itu
menunjukkan bahwa untuk masuk Kerajaan Surga, seseorang dituntut untuk
bertindak dan memiliki niat yang kuat.
Menerima Yesus sebagai Tuhan berarti melakukan tindakan nyata seperti yang diperintahkan-Nya. Kesaksian Musa dan
para nabi adalah kebenaran yang menyatakan bahwa ada Allah yang
hidup yang memiliki rancangan. Ia bukan Allah orang mati tetapi Allah orang
hidup (Luk. 20:38). Orang yang ingin hidup bersama dengan
Dia harus mengikuti kesaksian Musa dan para nabi, artinya belajar
hidup sesuai dengan kehendak Tuhan. Inti dari kitab kesaksian Musa (Taurat) dan
kitab para nabi adalah mengasihi Tuhan dengan segenap
hidup dan sesama seperti dirinya sendiri (Mat. 22:37–40).
Seharusnya
ketika masih hidup, si orang kaya bisa bertobat dan mengerti bagaimana
mengasihi sesama, sebab ada Firman Tuhan. Semestinyalah ia
tahu bagaimana harus mengisi hidup ini. Tetapi ia memilih untuk
tidak menaati Firman Tuhan. Ia memilih jalannya sendiri. Si orang kaya yang masuk
neraka tidak menyalahkan siapapun; ini berarti ia
menyadari kesalahannya. Ia berharap dengan orang mati bangkit membuat saudara-saudaranya yang masih
ada di dunia akan bertobat. Tetapi Abraham menegaskan, untuk orang yang memang hatinya tidak mau bertobat,
tetap tidak akan bertobat walau bertemu orang mati bangkit
dari kubur.
Suatu
hari nanti, bisa saja banyak orang akan menyalahkan pemberita Firman, “Mengapa
Anda tidak memaksa saya untuk berniat ke surga?
Mengapa saya tidak diperingatkan?” Itu dikatakannya ketika ia menyaksikan betapa mengerikannya
terpisah dari hadirat Tuhan selamanya. Sesungguhnya Firman Tuhan telah disampaikan dengan sangat tegas,
tetapi karena memang dasarnya tidak mau bertobat, maka ia tidak mengambil keputusan. Kalau Firman Tuhan
yang sedemikian keras dan tegas dinyatakan tidak membuat
orang bertobat dan berniat masuk Kerajaan Surga,
apalagi pemberitaan Firman yang hanya menekankan pemenuhan
kebutuhan hidup jasmani hari ini semata? Tentunya tidak akan membawa orang
kepada pertobatan yang sungguh dan tidak
mengarahkan hati kepada “perkara-perkara yang di atas”.
“Jangan Melupakan Tanggungjawab”
Kembali
ke kisah Lazarus dan orang kaya (Luk. 16:19–31), penyebab
utama mengapa si orang kaya dan keluarganya
tidak peduli terhadap kesaksian Musa dan para nabi adalah sebab mereka
menikmati kenikmatan dunia tanpa memedulikan orang
lain. Dalam hal ini, kenikmatan dunia menjadi ikatan sehingga
seseorang kehilangan kasih terhadap sesama. Orang yang terikat dengan
percintaan dunia akan menghabiskan
niatnya untuk segala hal yang bertalian dengan kenikmatan hidup di bumi. Itulah
sebabnya Abraham berkata kepada orang kaya itu:
“Anak, ingatlah, bahwa engkau telah menerima segala yang baik sewaktu hidupmu, sedangkan Lazarus
segala yang buruk. Sekarang ia mendapat hiburan dan engkau sangat
menderita.” Pernyataan Abraham ini bukan berarti kekayaan atau kenikmatan hidup
membuat seseorang masuk neraka. Yang membuat
seseorang masuk neraka adalah egoisme, dimana seseorang mementingkan
diri sendiri sehingga melupakan tanggung jawab.
Banyak
orang ingin kaya. Mereka tidak tahu bahwa seorang yang dipercayai dengan harta
yang berlimpah memiliki tanggung jawab yang lebih
besar. Bila tanggung jawab tersebut tidak ditunaikan, maka risikonya sangat besar. Adalah bijaksana kalau
kita belajar menyerah kepada Tuhan, mohon hikmat agar bila Tuhan memercayakan harta materi kepada kita di
bumi ini, kita dapat mengelolanya secara bertanggung jawab agar
harta tersebut tidak membinasakan.
Pertanyaan
yang perlu dikemukakan adalah: mengapa orang kaya masuk neraka sedang lazarus
masuk Surga? Kebaikan apakah yang dimiliki
Lazarus sehingga dilayakkan masuk Surga? Dan kesalahan apakah yang ada pada orang kaya sehingga ia
masuk neraka?
Kepada
Lazarus tidak dituntut untuk melakukan apa yang ia tidak dapat lakukan, tetapi
kepada orang kaya ia dituntut untuk berbuat apa yang
ia harus lakukan. Kekayaan yang diberikan Tuhan kepada seseorang
memuat tanggung jawab. Bahkan apa pun yang Tuhan berikan kepada kita memuat
tanggung jawab. Luk.16:12 menjelaskan
bahwa kalau seseorang tidak setia dengan harta Tuhan (harta orang lain) maka Tuhan tidak akan memberikan
hartanya sendiri. Hartanya sendiri adalah harta di surga. Banyak orang Kristen tidak menyadari bahwa
ketika Tuhan Yesus menebus kita, maka kita bukan lagi milik kita sendiri (1Kor. 6:19-20). Semua
yang ada pada kita adalah milik Tuhan. Adapun harta kita adalah Tuhan sendiri, dan kemuliaan yang kita akan
terima bersama dengan Tuhan Yesus di Kerajaan-Nya.