Reading
Add Comment
Bukan Jalan Yang Mudah “Jalan Yang Benar dan Terbaik”
Kita
harus menentang dengan tegas bila kekristenan diajarkan sebagai jalan yang
mudah. Kekristenan adalah jalan
yang benar dan terbaik tiada duanya, tetapi bukan jalan yang mudah. Kekristenan
yang diajarkan sebagai jalan yang mudah dapat
mengakibatkan orang-orang Kristen menjadi duniawi. Inilah penyebab
kegagalan pelayanan. Banyak orang ke gereja dan setia dalam berbagai kegiatan
gereja, tetapi tetap hidup dalam “percintaan dunia”.
Mereka akan binasa sebab tidak pernah mengasihi Tuhan.
Bila
diajarkan bahwa mengikut Yesus itu jalan yang mudah, jemaat Tuhan cenderung
akan terbawa menjadi kerdil, kekanak-kanakan dan
kurang bahkan tidak bertumbuh. Bila demikian, maka kecintaan jemaat terhadap dunia tidak akan surut. Sebagai
akibatnya, hati jemaat tidak merindukan Yesus dan kerajaan-Nya (Yoh.3:31; Kol. 3:1–4). Bibir
mereka mengasihi Tuhan, tetapi hatinya mengasihi harta dan dunia ini. Ini
berarti terjadi praktik persundalan atau perzinahan
rohani yang melukai hati Tuhan. Ironisnya, mereka tidak merasa
sedang melukai hati Tuhan, sebab mereka tidak terlibat dalam berbagai
pelanggaran moral umum. Harus dipahami
bahwa tindakan dosa bukan hanya tindakan yang kelihatan, tetapi sikap hati
sudah merupakan tindakan yang membangkitkan
reaksi Tuhan.
Kekristenan
yang diajarkan sebagai jalan yang mudah menjadi kekristenan tanpa salib;
biasanya para pengikutnya menggunakan kuasa Allah
sebagai sarana untuk memperoleh kekayaan dunia dan pemuasan ambisi manusia. Kekristenan semacam ini
bertendensi mengatur Tuhan semata-mata. Memang gereja yang mengajarkan
pola ajaran seperti ini akan banyak dikunjungi jemaat, dan mereka merasa
sebagai gereja yang berkenan kepada Tuhan dan
diberkati.
Kekristenan
tanpa salib bukanlah kekristenan, sebab Tuhan Yesus sendiri menegaskan bahwa
jika seseorang mau mengikut-Nya tetapi tidak
mau memikul salib dan menyangkal dirinya, ia tidak layak untuk Kerajaan Surga (Mat. 10:38; Mat. 16:24).
Inilah Injil yang berkadar rendah. Orang percaya yang menerima
Injil yang berkadar rendah, akan memiliki kecenderungan kurang mengabdi kepada
Tuhan. Mereka mengiring Tuhan hanya demi untuk
keuntungan pribadi. Kalaupun mereka berbuat sesuatu bagi Tuhan,
mereka melakukannya hanya untuk gereja dan bukan untuk Tuhan; serta
mengharapkan imbalan. Dengan demikian,
sampai mati mereka tidak pernah memikul salib dan menderita bersama dengan
Tuhan. Sungguh mengerikan, sementara mereka
tidak pernah berbakti kepada Tuhan dalam arti yang benar, mereka
yakin akan dimuliakan bersama dengan Tuhan Yesus.
Bukan Jalan Yang Mudah “Jalan Yang Lebar dan Jalan Yang Sempit”
Orang-orang
Kristen yang menganggap kekristenan sebagai jalan yang mudah sering tidak
sungguh-sungguh belajar
kebenaran Tuhan. Mereka tidak punya kerinduan bertumbuh untuk mencapai tingkat rohani yang lebih tinggi atau
kesempurnaan. Ini dapat menimbulkan kepuasan rohani yang membuat mereka bersikap sombong atau angkuh;
merasa bahwa mereka tidak perlu membenahi dirinya lagi. Inilah kebutaan rohani, seperti yang dialami
jemaat Laodikia (Why. 3:17).
Seseorang yang sudah merasa puas atas
hidup kerohaniannya, akan menjadi haus terhadap hal-hal duniawi. Tetapi kalau
seseorang lapar dan haus akan
kebenaran, ia merasa puas atas hal-hal duniawi, dan tidak memburu harta dunia.
Dalam Mat. 7:13–14, Tuhan
Yesus mengajarkan mengenai jalan yang lebar dan jalan yang sempit. Jalan yang lebar adalah jalan yang membawa
manusia menuju kebinasaan. Orang-orang yang masuk ke sana ialah
mereka yang mau menikmati kenyamanan dunia. Mereka inilah kelompok orang yang
dimaksud Tuhan Yesus sebagai orang-orang yang
“mau menyelamatkan nyawanya, tetapi akan kehilangan nyawanya”
(Mat. 10:39, 16:25; Mrk. 8:35; Luk. 9:24, 17:33; Yoh. 12:25).
Jalan
menuju kehidupan adalah jalan yang sempit, sesak, dan sedikit orang yang masuk
melaluinya. Ini jalan yang tidak disukai orang; jalan
yang tampaknya penuh risiko. Tetapi inilah jalan kebenaran dalam Tuhan Yesus Kristus, yaitu jalan yang
sukar tersebut. Penting sekali untuk kita ingat bahwa mengiring Tuhan berarti berjalan dalam pergumulan
yang tidak pernah usai: memikul salib, yaitu hidup dalam penyangkalan
diri dan melayani Tuhan.
Dalam
Luk. 14:28–33 dipaparkan
perumpamaan mengenai orang yang mau membangun sebuah menara dan raja yang mau maju berperang. Sekali
lagi kedua perumpamaan ini menegaskan bahwa mengiring Tuhan
bukan hal yang murah dan gampang, melainkan sebaliknya, mahal harganya dan
sulit. Untuk menekankan betapa tidak mudahnya
mengikut Yesus, Tuhan menegaskan agar kita menghitung dulu anggarannya.
Maksudnya adalah agar kita mempertimbangkan dengan serius keputusan untuk
menjadi anak-anak Tuhan. Kekristenan atau Injil
harus diajarkan secara benar dan lengkap. Kita dipanggil bukan saja untuk menjadi “orang beragama
Kristen” yang menikmati keselamatan jiwa saja—jaminan masuk Surga bila mati nanti—tetapi dipanggil
untuk mengikut Yesus sebagai murid, yaitu mengikuti jejak-Nya. Menerima Yesus sebagai Juruselamat,
gratis mendapat keselamatan; tetapi mengikut Yesus, harus membayar
harga pengiringan.
Bukan Jalan Yang Mudah “Salib”
Memikul
salib adalah salah satu syarat mutlak yang harus dipenuhi setiap orang yang mau
mengikut Yesus. Ini berarti orang percaya bukan
hanya menghubungkan salib dengan Yesus dan pengorbanan-Nya, tetapi juga menghubungkannya dengan diri
kita sendiri, sebab setiap kita harus memiliki salib kita masing-masing
(Mat. 16:24). Adanya
salib berarti pengiringan yang benar terhadap Tuhan Yesus. Dalam hal ini salib identik dengan kehidupan
orang percaya yang normal dan benar. Kekristenan tanpa salib adalah kekristenan yang palsu.
Tuhan
Yesus memberi teladan kepada kita tentang sebuah kehidupan yang dipersembahkan
kepada Bapa; kehidupan yang memberkati orang lain.
Teladan ini harus kita kenakan sepanjang umur hidup kita. Kasih yang harus kita berikan kepada orang
lain harus sama dengan kadar kasih yang Yesus berikan kepada kita. Memang ini bukan sesuatu yang mudah,
tetapi Tuhan akan memberi kemampuan untuk meneladani-Nya. Ini
adalah kehidupan yang sangat luar biasa.
Dalam
beberapa ayat yang terdapat dalam Alkitab, salib menunjuk kepada pengertian
“kematian dari segala sesuatu yang duniawi dan
kesediaan memberkati sesama” (Gal. 2:19, 5:24, 6:14). Ini suatu pergumulan hidup yang membawa seseorang
merasa “sakit”. Salib dalam kekristenan berarti penderitaan yang ditanggung demi berkat dan keuntungan
orang lain. Salib tidak menunjuk kepada kelemahan, kekurangan
atau kegagalan seperti anggapan orang pada umumnya. Salib berbicara mengenai
penderitaan yang kita tanggung bukan karena
kesalahan kita, tetapi oleh karena kita melayani Tuhan dan mau memberkati orang lain. Seperti Tuhan
Yesus menumpahkan darah-Nya dan diremukkan daging-Nya demi keselamatan
kita, maka kita harus rela menjadi seperti anggur yang tercurah dan roti yang
terpecah. Sebuah kehidupan yang membawa keharuman
Tuhan.
Salib
inilah yang dimaksud Yesus dengan “baptisan yang diterima baik oleh Yesus
maupun oleh orang percaya” (Mrk. 10:38-39; Luk. 12:50). Baptisan
inilah yang menunjuk kepada penderitaan yang harus dipikul
demi menggenapi rencana Bapa. Bagi Tuhan Yesus, baptisan-Nya inilah yang
membawa manusia kepada keselamatan oleh penderitaan dan
kematian-Nya di bukit Golgota. Bagi kita, baptisan ini adalah pengorbanan dan penderitaan demi menjadi
berkat bagi orang di sekitar kita yang tersentuh oleh pelayanan
kita. Dalam hal ini seorang anak Tuhan melakukan pelayanan tanpa batas. Di
manapun ia berada, ia membawa keharuman Kristus
untuk menyelamatkan manusia berdosa menjadi umat tebusan Tuhan
melalui segala sikap dan perbuatan dengan segala pengorbanan.
Bukan Jalan Yang Mudah “No Crown Without Cross”
Beban
salib yang kita pikul akan selalu sesuai dengan kemampuan kita untuk
mengangkatnya. Semakin seseorang
diremukkan melalui penyangkalan diri, semakin Allah memercayakannya untuk
memikul salib yang lebih besar. Masing-masing
kita memiliki salib yang berbeda; tidak ada salib yang sama. Pola kehidupan salib ini dinyatakan oleh
rasul-rasul Tuhan dengan berbagai ungkapan. Misalnya dalam Flp.2:17, Rasul Paulus
menyatakan dirinya rela mempertaruhkan seluruh hidupnya bagi kepentingan jemaat Tuhan.
Kita
dapat sampai kepada tingkat tersebut apabila kita sudah bergumul untuk
menyangkal diri dari waktu ke
waktu, agar bebas dari egoisme dan ikatan-ikatan dosa yang ada pada karakter
kita. Kita harus berpaling dari kesenangan dan apa yang
menguntungkan diri kita sendiri, memandang kepada kepentingan orang lain. Kita harus mengutamakan
kepentingan Tuhan di atas segala kepentingan. Bila seseorang belum belajar berjalan dalam penyangkalan diri
ini, mustahillah ia dapat memikul salib bagi kepentingan orang lain.
Kehidupan
memikul salib adalah dinamika hidup orang percaya yang sudah dewasa rohani,
yaitu orang-orang Kristen yang sudah belajar
banyak kebenaran Tuhan dan mengikut Tuhan dari waktu ke waktu.
Jika kita masih Kristen baru atau Kristen kanak-kanak, mungkin belum sanggup
menerima kenyataan ini, tetapi marilah kita
belajar memikul salib, sebab itu akan mendatangkan “upah, pahala dan tempat” dalam kerajaan Bapa di surga (Mrk. 10:35–45). Oleh sebab
itu jikalau Tuhan mengijinkan kita memikul salib
kita masing-masing, ini merupakan suatu kehormatan. Dengan memikul salib, kita
diberi kesempatan untuk menimbun harta di
Surga, dan inilah harta yang sesungguhnya. No
crown without cross. Tidak
ada mahkota tanpa salib. Mahkota surgawi bukanlah gratis, melainkan ada
harganya; dan harganya adalah salib
itu.
Rasul
Paulus juga mengalimatkan memikul salib sebagai “menderita bersama-sama
dengan Yesus” (Rm.8:17).
Syarat untuk dipermuliakan adalah memikul salib bersama Tuhan. Inilah yang
ditawarkan Tuhan Yesus kepada anak-anak Zebedeus ketika
mereka minta kedudukan dalam kerajaan Tuhan Yesus nanti. Sejauh
mana kita rela menanggung salib untuk memberi diri kita bagi orang lain, sejauh
itu pula kemuliaan yang kita
peroleh.
Bukan Jalan Yang Mudah “Karunia Untuk Menderita”
Sebab kepada
kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia. (Flp. 1:29)
Betapa
menyedihkan, ternyata tidak sedikit orang percaya yang hanya nimbrung atau
ikut-ikutan dalam pelayanan tanpa mengerti prinsip salib
ini. Padahal melayani itu berarti berkorban atau memikul salib. Pelayanan bukan sekadar mengisi waktu
kosong atau karena perasaan sentimentil, simpati atau empati seseorang terhadap gereja dan pendeta;
melainkan kesediaan berkorban menumpahkan seluruh hidup ini bagi kepentingan pekerjaan-Nya. Membantu
penyelenggaraan aktivitas kebaktian di gereja belumlah merupakan
pelayanan yang lengkap dan benar. Marilah kita sadari bahwa pelayanan pekerjaan
Tuhan di dalam maupun di luar lingkungan gereja
harus dilakukan dengan landasan sikap hidup yang benar.
Sikap
hidup itu adalah kesediaan memikul salib. Kesediaan ini harus berangkat dari
kesadaran pribadi dan kerelaan yang
benar-benar tulus dari diri sendiri, bukan karena tekanan maupun paksaan siapa
pun. Untuk hal ini seseorang harus menggunakan
kehendak bebasnya untuk aktif menggerakkan dirinya memikul salib.
Segenap
hidup kita—tenaga, uang, perasaan, waktu—harus dikorbankan bagi pelayanan
pekerjaan Tuhan. Paulus mengatakan bahwa kita dipanggil
bukan hanya untuk percaya, melainkan juga untuk menderita bagi
Dia. Perhatikan Petrus menulis dalam 1Ptr. 2:21, “sebab untuk
itulah kamu dipanggil”. Kalau kita tidak
mau mengerti kebenaran ini atau menolak melakukannya, maka panggilan kita belum
lengkap dan kekristenan kita tidak bermutu, sebab
panggilan menjadi anak Tuhan baru lengkap kalau kita bukan saja percaya kepada Tuhan, melainkan juga
menderita bagi-Nya.
Dalam 1Ptr. 2:19–20, panggilan
untuk menderita bagi Tuhan ini ternyata adalah kasih karunia. Dalam teks aslinya tertulis “kharis para Theo”.
Kharis dapat diterjemahkan sebagai “perkenanan, keuntungan, hak istimewa, anugerah, hadiah, kenikmatan”.
Jadi penderitaan karena kehendak Allah atau salib adalah sesuatu
yang menguntungkan bagi kita, suatu anugerah, atau hal yang sungguh
menyenangkan hati Tuhan. Dalam
Alkitab Terjemahan Lama diterjemahkan, “itulah yang berkenan kepada Allah”.
Itulah yang menyenangkan hati Tuhan. Jadi hati Tuhan
disukakan bukan hanya ketika kita menikmati berkat jasmani dan
hidup dalam sukacita karena berkat-Nya, melainkan juga tatkala kita memikul
salib atau menderita bagi
pekerjaan-Nya.
Bukan Jalan Yang Mudah “Persiapan Untuk Dimuliakan”
Kamulah yang
tetap tinggal bersama-sama dengan Aku dalam segala pencobaan yang Aku alami.
Dan Aku menentukan hak-hak Kerajaan bagi
kamu, sama seperti Bapa-Ku menentukannya bagi-Ku, bahwa kamu akan makan dan minum semeja dengan
Aku di dalam Kerajaan-Ku dan kamu akan duduk di atas takhta untuk menghakimi kedua belas suku
Israel. (Luk. 22:28–30)
Ternyata
di balik penderitaan demi keselamatan orang lain atau demi pelayanan terdapat
sesuatu yang sangat berharga dan mulia, yaitu yang
sering diidentikan sebagai “mahkota”. Dalam Flp. 2:8–9 dijelaskan bahwa Yesus telah merendahkan
diri-Nya dan rela mati di kayu salib, sehingga Ia ditinggikan. Sebelumnya dalam Flp. 2:5, dikemukakan agar kita
hendaknya sepikiran dan seperasaan dengan Tuhan, artinya
meneladani sikap-Nya. Sebagaimana Ia menderita untuk kita, kita pun menderita
bagi pekerjaan-Nya; sebagaimana Ia
ditinggikan, kita pun ditinggikan atau dimuliakan. Dalam Rm. 8:17 dinyatakan kalau kita menderita
bersama-sama dengan-Nya, maka kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan-Nya.
Dalam Luk. 22:28–30 di atas, Tuhan
Yesus mengatakan bahwa bagi orang percaya yang rela menderita bagi Tuhan, telah tersedia “mahkota”,
“kursi-kursi eksekutif ” dalam kerajaan-Nya. Penderitaan karena pekerjaan-Nya adalah persiapan untuk
dimuliakan bersama-sama dengan Dia.
Menjelang
Pemilu biasanya orang berlomba untuk memenangkan partainya, tentu demi
kursi-kursi legislatif dan eksekutif nanti. Tetapi
Tuhan berkata, “Tetapi kamu tidak demikian, siapa yang mau menjadi terkemuka hendaknya ia menjadi
pelayanmu.” (Luk. 22:26)
Kerajaan Bapa tidak boleh dihuni oleh orang-orang
yang berambisi memerintah orang lain demi jabatan dan kepentingan diri sendiri,
Tetapi Tuhan mencari orang yang hatinya
melayani sesama; rela berkorban bagi sesama; mengupayakan kebahagiaan
dan keselamatan orang lain. Orang yang hatinya seperti ini adalah prajurit yang
rela menderita, rela disalib seperti Tuhan
Yesus. Kita tidak hanya memiliki hidup hari ini, tetapi kita masih memiliki kehidupan di balik kematian.
Kita tidak hanya memiliki dunia kita sekarang ini, tetapi kita memiliki dunia sempurna, yaitu langit
baru bumi baru. Kita bukan hanya memiliki negara
Indonesia, tetapi kita juga memiliki kerajaan Surga. Untuk kerajaan-Nya yang
akan datanglah kita dipersiapkan.
Persiapan itu adalah melalui menderita bersama-sama dengan Tuhan, berkorban dan berjuang untuk pekerjaan-Nya.
Bukan Jalan Yang Mudah “Serupa dengan Dia dalam KematianNya”
Yang kukehendaki
ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya,
di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya. (Flp. 3:10)
Menjadi
kerinduan Paulus agar ia hidup dalam persekutuan dalam penderitaan Tuhan Yesus,
supaya ia menjadi serupa dengan Dia dalam
kematian-Nya. “Serupa dengan Dia dalam kematian-Nya” pada dasarnya
adalah kehidupan yang ditujukan untuk kepentingan kerajaan Allah sepenuhnya.
Kata kematian dalam teks tersebut dari bahasa aslinya
ditulis thanatos.
Dalam
bahasa Yunani ada beberapa kata yang bisa diterjemahkan “kematian” dalam Bahasa
Indonesia. Selain thanatos, terdapat juga kata
televte dan analüsis. Kata televte (contohnya dalam Mat. 2:15) berarti “berakhir”; kata ini menunjuk bahwa
kematian adalah akhir kehidupan. Kata analüsis (contohnya dalam 2Tim. 4:6) berarti
“berangkat”; maksudnya, kematian adalah keberangkatan seseorang dari dunia ini menuju alam baka.
Kata
thanatos menunjukkan terpisahnya tubuh dari roh. Mengapa di sini dipilih kata
thanatos? Sebab kata ini menjelaskan
bahwa setelah seseorang menjadi anak Tuhan, maka tujuan hidupnya adalah
dipisahkan atau dibedakan dari anak-anak dunia.
Memang perubahan ini tidak dapat berlangsung hanya dalam beberapa
hari, tetapi melalui proses yang panjang bertahun-tahun sampai menutup mata.
Perubahan tersebut harus melalui pembaharuan
pikiran supaya tidak sama dengan dunia ini (Rm. 12:2). Proses ini bisa berlangsung hanya bila seseorang
sungguh-sungguh belajar menggali kekayaan Firman Tuhan, sebab hanya Firman Tuhan yang dapat memisahkan
seseorang dari cara hidup yang salah (Ibr. 4:12).
Untuk
penggarapan ini, kadang-kadang Tuhan perlu meremukkan kita dengan segala cara
yang sangat menyakitkan, tetapi inilah jalan berkat
yang Bapa sediakan bagi kita. Untuk ini haruslah kita berpikir seperti yang dianjurkan Paulus: “Carilah
perkara yang diatas… pikirkanlah perkara yang di atas” (Kol.3:1–2). Ini sejajar
dengan perkataan Tuhan Yesus, “Kumpulkan harta di Surga, bukan di bumi” (Mat.6:19–20). Maksudnya agar
sebagai anak-anak Tuhan kita belajar menghayati kehidupan warga kerajaan Allah, sampai kita menyadari
sedalam-dalamnya bahwa dunia ini bukan rumah kita dan kita bukan berasal dari dunia ini; bahwa kita telah mati
bagi kesenangan dunia. Sampai tingkat ini Iblis tidak lagi bisa membujuk kita untuk menyembahnya (Luk. 4:5–8).
Membalas Kebaikan Tuhan “Kita adalah Orang Berhutang”
Orang
baik belum tentu tahu budi, tetapi orang yang tidak tahu budi pasti orang
jahat. Kebenaran dari pernyataan ini
memang tidak tersurat secara jelas dalam Alkitab, tetapi dari beberapa
pernyataan ayat Alkitab jelas sekali kebenaran ini ada.
Pemazmur, ketika menyadari kebaikan Tuhan, berkata, “Bagaimana
akan kubalas kepada TUHAN segala kebajikan-Nya kepadaku?” (Mzm. 116:12). Pemazmur menunjukkan sosok pribadi yang tahu
budi. Ia berniat untuk membalas kebaikan Tuhan, walaupun itu sesuatu yang tidak mudah. Dalam
seruannya ia berkata, “Dengan apa kubalas?” Niat untuk membalas kebaikan Tuhan adalah keluhuran budi
yang harus dimiliki setiap insan.
Dari
pernyataan Pemazmur ini tersirat bahwa karena begitu besarnya kebaikan Tuhan,
maka sulitlah mengimbanginya. Tidak membalas budi baik
seseorang berarti bersikap jahat terhadap orang itu, jadi kalau seseorang tidak tahu budi terhadap
Tuhan, berarti ia berlaku jahat terhadap Tuhan. Tanpa disadari, banyak orang yang berlaku jahat terhadap Tuhan.
Mereka adalah orang-orang yang tidak mengerti kebaikan Tuhan
yang tiada tara yang seharusnya kita hargai. Dengan penghargaan yang benar,
seseorang akan berusaha membalas kebaikan Tuhan.
Dalam
tulisan Rasul Paulus kepada jemaat di Roma, ia menyaksikan, “Jadi, saudara-saudara,
kita adalah orang berutang, tetapi bukan kepada
daging, supaya hidup menurut daging. Sebab, jika kamu hidup menurut daging, kamu akan mati; tetapi
jika oleh Roh kamu mematikan perbuatan-perbuatan tubuhmu, kamu
akan hidup.” (Rm. 8:12–13).
Budi baik yang diberikan seseorang adalah “utang”. Orang percaya adalah orang yang berutang: berutang
kepada Tuhan. Pembayaran utang tersebut adalah tidak hidup menurut
daging lagi, tetapi hidup oleh Roh. Tidak ada cara lain untuk membalas kebaikan
Tuhan selain dengan cara ini.
Sebagai
orang berutang, sewajarnyalah dalam berurusan dengan Tuhan, kita tidak
mempersoalkan lagi bagaimana kita
dapat memanfaatkan Tuhan atau memperoleh segala sesuatu dari Dia. Yang
seharusnya kita persoalkan adalah bagaimana kita membayar
utang kita kepada Tuhan. Sayang sekali, dewasa ini banyak
pembicara di mimbar-mimbar Kristen memompa jemaat untuk berusaha memanfaatkan
Tuhan sebanyak-banyaknya, seolah Ia “sapi
perahan”. Memang tidak salah kalau anak-anak Tuhan berharap segala sesuatu dari Dia dan menerimanya,
sebab Ialah Sumber Berkat; tetapi hendaklah kita meninggalkan sikap oportunis dalam berurusan dengan
Tuhan, karena kita mau membalas budi baik-Nya.
Membalas Kebaikan Tuhan “Menanggalkan Naluri Kemanusiaan”
Kita
telah belajar bahwa setiap orang percaya berutang kepada Tuhan, dan
satu-satunya cara membalas kebaikan
Tuhan adalah dengan hidup oleh Roh. Hidup oleh Roh artinya hidup dalam
penurutan terhadap kehendak Roh
Tuhan, bukan dalam kendali diri sendiri lagi. Orang yang hidup dalam kendali
Roh Tuhan pasti hidup bagi kepentingan Tuhan.
Dalam kesaksiannya yang lain, Paulus mengatakan bahwa orang yang sudah ditebus oleh darah Tuhan Yesus
adalah orang yang mati bagi dirinya sendiri dan hidup bagi Tuhan (2Kor. 5:14–15).
Tidak
hidup menurut daging berarti tidak lagi hidup dalam naluri kemanusiaan. Naluri
kemanusiaan adalah pola pikir dan
cara hidup yang biasa dimiliki semua orang. Naluri kemanusiaan yang membelenggu manusia ini adalah bersekolah, lalu
kuliah, mencari nafkah, menikah, memiliki berbagai fasilitas (rumah, mobil dan lain sebagainya), memiliki
keturunan, membesarkan anak, mencarikan jodoh untuk anak, membesarkan
cucu dan akhirnya mati. Hal ini tidak salah, tetapi bila cara hidup
seperti ini membelenggu kehidupan seseorang maka
ia menjadi korban lingkungan, kualitas hidupnya rendah. Apa bedanya dengan
hewan? Ironisnya, justru inilah pola kehidupan yang
dimiliki orang pada umumnya. Dorongan yang ada dalam kehidupan orang-orang seperti ini adalah bagaimana
mempertahankan hidup dan bila cukup mampu adalah bagaimana
meraih kehormatan.
Orang
yang sungguh-sungguh mau membalas kebaikan Tuhan akan bersedia menanggalkan
pola pikir dan cara hidup yang dianggap wajar oleh
orang pada umumnya dan mengenakan cara hidup baru yaitu “hidup oleh Roh”. Hidup dalam penurutan yang
mutlak kepada Bapa di Surga. Gerak hidupnya adalah melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan apa yang
direncanakan Bapa bagi untuk turut digenapi oleh kita. Jika kita mau membalas kebaikan Tuhan, kita
tidak akan mengingini apa yang diingin anak-anak dunia. Cita rasa hidup kita telah berubah menjadi
cita rasa hidup bangsawan Surgawi. Memang cara hidup ini akan tampak berbeda, sampai kelihatan agak
aneh dalam pandangan orang pada umumnya.
Orang
yang mematikan naluri kemanusiaannya adalah orang yang tidak lagi memiliki
cita-cita dan visi dari diri sendiri.
Semua yang diingininya selalu dikonfirmasikan dengan Tuhan. Ia tidak akan
melangkah sebelum benar-benar mendapat komando
dari Tuhan untuk melangkah. Dalam hal ini doa Bapa Kami terpenuhi,
yaitu “Datanglah kerajaan-Mu dan jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di Surga”
(Mat. 6:10). Inilah yang dapat dikatakan sebagai
“mengalir” dengan Tuhan.
Membalas Kebaikan Tuhan “Melayani Tuhan SelamaNya”
Hutang
kita kepada Tuhan adalah utang kehidupan kekal. Seharusnya kita dibuang ke
dalam lautan api dan terpisah dari hadirat Tuhan
selama-lamanya, tetapi Tuhan Yesus telah menebus kita dengan darah-Nya sehingga kita terbebas dari
api kekal.
Kita
tidak dapat membalas kebaikan Tuhan. Apa pun yang kita lakukan tidak akan
sebanding dengan apa yang Tuhan telah
lakukan bagi kita. Dalam Mat.
18:24 dikisahkan seseorang yang berutang 10.000 talenta. Satu talenta merupakan suatu jumlah yang
besar, yaitu sejumlah 6000 dinar. Upah seorang pekerja pada waktu itu 1 dinar per hari, jadi 6000
dinar adalah upah pekerja selama hampir 17 tahun. Jadi 10.000 talenta setara upah pekerja selama
164.383 tahun! Ini berbicara bahwa apa yang ditanam Tuhan dalam diri kita adalah sesuatu yang mahal dan
berharga. Investor Agung itu menginvestasikan modal-Nya yang besar dalam hidup kita, yaitu dengan
darah yang ditumpahkan di bukit Golgota untuk membeli atau menyelamatkan
kita.
Bagaimanapun
kita tidak akan dapat membalas kebaikan Tuhan seimbang dengan apa yang Ia telah berikan kepada kita. Bahkan hidup sejuta
tahun melayani Tuhan di dunia pun belum dapat mengimbangi kebaikan
Tuhan kepada kita. Ada satu langkah yang dapat kita lakukan untuk mengimbangi
kebaikan Tuhan yang telah kita terima,
yaitu dengan melayani Tuhan selama-lamanya di Kerajaan-Nya nanti. Untuk ini perlu dijelaskan bahwa Kerajaan Surga
bukanlah tempat untuk hanya duduk-duduk tanpa kerja. Surga adalah
sebuah aktivitas kehidupan, seperti yang kita alami di bumi. Pola ini tampak
jelas ketika Tuhan menciptakan
manusia pertama, bahwa mereka harus bekerja. Firdaus bukan tempat untuk
tidur-tiduran saja, melainkan ruang kerja manusia
pertama. Kerajaan Surga adalah ruang kerja manusia yang diselamatkan
dalam Yesus Kristus.
Dalam
kekekalan itulah kita dapat membalas kebaikan Tuhan dengan melayani Dia
selama-lamanya. Tetapi tidak semua orang akan
diperkenankan membalas kebaikan-Nya. Hanya orang-orang yang sekarang ini membalas kebaikan Tuhan
dengan melayani Dialah yang akan diperkenankan untuk melayani-Nya
di dalam Kerajaan-Nya nanti. Hidup di dunia ini merupakan sebuah pilihan,
apakah kita akan melayani Tuhan selamanya di
Kerajaan Surga atau melayani Setan dalam kerajaan kegelapan selama-lamanya. Oleh sebab itu panggilan
untuk melayani Tuhan, hendaknya tidak ditanggapi sebagai beban,
tetapi kesempatan untuk lolos dari api kekal dan masuk dalam pelayanan bagi
Sang Maharaja di Surga.
Membalas Kebaikan Tuhan “Tuhan Tidak Perlu Berterima Kasih”
Dalam Luk. 17:7–10 terdapat kisah
mengenai hamba yang bekerja kepada seorang majikan. Majikan tersebut adalah gambaran dari Tuhan, dan
hamba tersebut adalah gambaran dari kita. Setelah hamba tersebut
melakukan suatu pekerjaan, tidak dikesankan sama sekali bahwa tuannya patut
berterima kasih kepadanya (Luk. 17:9). Ini menunjukkan
bahwa Tuhan tidak perlu berterima kasih kepada kita, sebab kita memang diciptakan oleh Tuhan untuk
melayani Dia. Kita telah ditebus oleh darah Yesus Kristus, sehingga kita bukan milik kita sendiri (1 Kor. 6:19–20).
Orang
Kristen yang dewasa akan merasa dan mengakui bahwa ia berutang kepada Tuhan.
Sebagai orang yang berutang ia tidak pantas menuntut
apa pun dari Tuhan, sebaliknya ia merasa dituntut untuk berbuat sesuatu bagi Tuhan yang telah menanam
kebaikan dalam hidupnya. Kita adalah orang yang berutang, seperti
budak yang telah dibeli oleh tuan yang baru. Dulu kita adalah budak setan yang
diseret ke dalam lautan api kekal, sekarang kita telah
menjadi milik Tuhan oleh penebusan darah Tuhan Yesus Kristus untuk dibawa ke dalam Kerajaan-Nya.
Sayang
sekali, dewasa ini para pemberita Firman yang tidak mengerti kebenaran banyak
mengajarkan bahwa kita boleh menuntut Tuhan, boleh
mengklaim janji-janji-Nya. Padahal Tuhan tidak perlu dituntut atau menerima klaim dari manusia, yang
sebenarnya tidak memiliki hak apa pun atas kedaulatan Tuhan. Lagi pula, Ia tidak akan pernah
mengingkari janji-Nya. Ia pribadi Agung yang berintegritas sempurna; tidak perlu dibujuk, diingatkan, apa
lagi dipaksa. Ia bertanggung jawab atas umat-Nya. Kita tidak perlu dan tidak boleh meragukan Tuhan, apalagi
mencurigai-Nya. Sebaliknya kita patut mencurigai diri sendiri, apakah kita mengerti dan menghayati budi
baik Tuhan yang tak ternilai dan kita berhasrat untuk membalasNya?
Menyadari
kebenaran ini, marilah berusaha membalas kebaikan Tuhan dengan melayani Dia
semampu-mampunya, segiat-giatnya,
sekuat tenaga dan all out sepanjang
hidup kita. Dalam pengabdian kepada Tuhan,
tidak perlu kita menuntut upah, bahkan ucapan terima kasih, sebab sebanyak apa
pun yang dapat kita lakukan, tak akan dapat mengimbangi
kebaikan yang telah Tuhan berikan. Dalam hal ini Tuhan Yesus mengajar kita untuk mengatakan bahwa
kita adalah hamba yang tidak berguna, yang hanya melakukan apa
yang harus kita lakukan (Luk.
17:10). Tidak berguna di sini maksudnya bahwa sebenarnya tanpa kita, Tuhan pun dapat menyelesaikanNya
sendiri. Kalau Tuhan berkenan kita layani, tidakkah itu anugerah?
Thermometer
Sebab semua yang
ada di dalam dunia, yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup, bukanlah berasal dari Bapa,
melainkan dari dunia. (1Yoh.
2:16)
Apapun dalam kehidupan seorang
manusia akan memberi pengaruh kepada lingkungannya. Masalahnya adalah pengaruh apakah yang dipancarkan,
positif atau negatif. Ini sejajar dengan kenyataan bahwa hanya ada dua jenis manusia, yaitu manusia
yang dipengaruhi dunia, yang disebut sebagai manusia termometer, dan jenis manusia yang tidak dipengaruhi
dunia tetapi memengaruhi dunia dengan pengaruh positif, disebut
sebagai manusia termostat.
Pada
umumnya sebagian besar manusia termasuk kelompok manusia termometer dan hidup
sebagai korban atau tawanan lingkungan. Mereka
hidup sebagai orang-orang yang dipengaruhi oleh lingkungannya,
seperti termometer mengikuti suhu udara disekitarnya. Mereka melakukan apa yang
orang lain lakukan, membeli apa yang orang
lain beli, merasa harus memiliki apa yang orang lain miliki, berpola pikir dan berpola tindak seperti orang
di sekitarnya.
Oleh
karena dunia telah diwarnai oleh kuasa kegelapan dan dikuasai olehnya maka
warna dunia adalah warna hidup
manusia yang akan binasa bersama dengan kuasa kegelapan. Dunia ini adalah
kerajaan kuasa kegelapan yang mempersiapkan manusia
menuju api kekal. Untuk persiapannya, manusia dipengaruhi oleh pola pikir dan pola hidup yang
bertentangan dengan kehendak Tuhan. Ternyata untuk masuk neraka pun perlu persyaratan: orang suci tidak
diperkenankan masuk neraka, tetapi orang berdosa yang rusaklah yang diperkenankan masuk ke sana. Neraka
tidak sanggup menyambut orang kudus, sebagaimana Surga tidak akan menyambut orang berdosa yang tidak
bertobat.
Kelompok
orang yang dipengaruhi dunia sekitarnya adalah orang yang dimaksud dalam 1Yoh. 2:16: orang-orang yang hidup dalam keinginan
daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup. Orang-orang seperti ini pada akhirnya akan menjadi
antek kuasa kegelapan yang memengaruhi orang lain agar memiliki pola pikir dan pola tindak seperti yang
mereka telah lakukan. Mereka menjadi alat iblis untuk menambah jumlah orang ke neraka. Merekalah
duta-duta kerajaan kegelapan yang tanpa disadari telah menghamba kepada Lucifer untuk melakukan
kehendaknya. Kalau anak-anak Tuhan harus masuk proyek penyelamatan,
tetapi mereka masuk kedalam proses pembinasaan. Marilah kita renungkan,
masihkah kita dipengaruhi oleh dunia?
Thermostat
…..supaya kamu
memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya
yang ajaib.(1Ptr. 2:9)
Orang
yang berkualifikasi masuk kelompok manusia termostat sangat sedikit. Mereka
adalah kelompok manusia yang tidak terpengaruhi oleh
pola pikir dan pola tindak manusia disekitarnya. Walaupun secara lahiriah cara hidupnya kelihatannya
sama, tetapi warna batinnya berbeda. Mengapa mereka tidak bisa dipengaruhi oleh dunia sekitarnya? Sebab
mereka telah bertumbuh dalam kedewasaan rohani yang benar. Pertumbuhan
kedewasaan rohani tersebut berawal dari pembaruan pikiran (Rm. 12:2). Pembaruan ini dimaksudkan agar kehidupan orang percaya
tidak sama dengan dunia ini. Dalam hal ini setiap anak Tuhan harus belajar kebenaran Firman Tuhan
terus-menerus untuk mengalami pembaruan pikiran.
Manusia
termostat tidak dapat dipengaruhi dunia sekitarnya, tetapi memengaruhi dunia
sekitarnya. Hidup mereka telah dipengaruhi begitu rupa
oleh Tuhan, dan orang yang telah dipengaruhi oleh Tuhan adalah orang-orang yang dapat memengaruhi orang
lain. Proses dipengaruhi Tuhan adalah proses panjang; tidak ada proses cepat atau kilat. Dalam hal
ini dibutuhkan ketekunan untuk menjadi berbeda dengan dunia sekitarnya. Untuk memiliki pribadi yang
dipengaruhi oleh Tuhan sehingga sewarna dengan Tuhan membutuhkan
proses yang benar-benar panjang. Orang yang mau dipengaruhi Tuhan pikirannya
harus dibuka selebar-lebarnya untuk dipenuhi
oleh kebenaran Firman Tuhan.
Dari
pertumbuhan kedewasaan rohani tersebut, manusia termostat telah mati bagi
dirinya sendiri. Orang yang telah mati
bagi dirinya sendiri dan hidup bagi Tuhan sepenuhnya adalah orang yang dapat memengaruhi orang lain. Orang yang masih
hidup bagi dirinya sendiri tidak akan dapat memengaruhi orang
lain, tetapi dipengaruhi dunia sekitarnya. Ikan yang hidup di laut yang asin
tidak menjadi asin, tetapi kalau
ikan tersebut mati, maka menjadi asin.
Kedewasaan
rohani akan membangun kepribadian yang kuat. Kepribadian yang kuat ini tidak
diatur atau dikendalikan oleh lingkungannya.
Kepribadian yang kuat diimpartasi dari kepribadian Kristus sendiri, kepribadian yang dapat berfungsi sebagai
terang dan garam dunia. Ibarat garam, ini garam yang benar-benar
asin; ibarat lampu, ini lampu yang terangnya ribuan watt, sampai menyilaukan.
Inilah yang dimaksudkan Tuhan bahwa kita harus
memberitakan perbuatan baik Tuhan yang membawa kita keluar dari
kegelapan ke dalam terang-Nya yang ajaib (1 Ptr. 2:9).
Tuhan di Dalam Segala Hal “Prioritas”
Telah
beberapa kali dijelaskan bahwa dalam kehidupan anak tebusan Tuhan tidak ada
urut-urutan kepentingan atau prioritas. Tetapi
berkenaan dengan penggunaan keuangan atau harta yang Tuhan percayakan
kepada kita, harus digunakan secara bijaksana atau cerdas dalam pimpinan Roh Kudus. Penggunaannya harus dipertimbangkan
berdasarkan yang paling terlebih dahulu membutuhkan. Tetapi urutannya tentu tidak mutlak, bisa
relatif. Biasanya yang paling dekat dan yang bersentuhan dengan hidup kita setiap hari, antara lain: pertama,
orang tua yang telah membesarkan kita; berikutnya, keluarga kita sendiri (keluarga yang kita bangun);
kemudian keluarga besar yang dekat dengan kita; selanjutnya masyarakat sekitar kita (karyawan kita
seperti sopir, pembantu rumah tangga, tetangga); dan yang berikutnya,
gereja.
Mungkin
tidak sedikit orang yang protes karena, di sini gereja diletakkan pada urutan
terakhir. Tetapi harus diingat bahwa urutan ini bukan
urutan prioritas yang mutlak melainkan relatif, yaitu berdasarkan hubungan kedekatan dengan objek-objek
tersebut dan komando Tuhan. Bicara mengenai komando Tuhan adalah
hal yang menuntut kepekaan kita. Suatu kali, mungkin kita harus meninggalkan
keluarga demi suatu kepentingan yang diperuntukkan
bagi objek lain. Murid-murid Tuhan Yesus pernah melakukan hal ini (Mat. 19:27). Ini sama
sekali tidak berarti mereka tidak bertanggung jawab atas keluarganya. Pada waktunya, mereka kembali kepada keluarga
dan menyelesaikan tanggung jawabnya. Dalam hal ini mengikut
Tuhan Yesus secara fisik pada waktu itu merupakan prioritas.
Urut-urutan
prioritas secara kaku bisa menumpulkan kepekaan yang harus dimiliki seseorang.
Misalnya, pada saat kita mau berangkat pelayanan
di gereja, ternyata ada rumah tetangga kebakaran, dan tidak ada orang yang menolong, apakah kita tidak turut
membantu memadamkan api itu? Ingat kisah orang Samaria yang
murah hati (Luk. 10:30–35).
Barangkali imam yang menolak menolong orang yang dirampok (ay. 31) sedang menuju ke bait Allah untuk
melakukan pekerjaan rohani; tetapi tindakan menghindar dari menolong orang yang sekarat di pinggir
jalan tersebut merupakan kebodohan dan diperhitungkan sebagai kesalahan oleh Tuhan.
Jangan
sampai terjadi, jika kita yang aktif di gereja dan melakukan segala kegiatan
rohani di dalamnya —termasuk
memberi sumbangan uang ke gereja—namun gagal menjadi berkat bagi orang tua,
keluarga, keluarga besar dan masyarakat sekitar
kita.
Tuhan di Dalam Segala Hal “Dorongan Yang Benar”
Kalau
membantu orang lain dalam bentuk keuangan, seharusnya kita melakukannya bagi
Tuhan, bukan didorong oleh suatu kepentingan pribadi.
Seseorang semestinya membela orang tua dan keluarga bukan karena
hubungan darah atau perasaan sentimental, tetapi karena Tuhan (1Kor. 10:31).
Dorongan hubungan darah dan sentimen merupakan
dorongan kodrat ego (manusia). Dalam hal ini kita dapat memahami mengapa Tuhan mengatakan, “Jikalau
seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya,
saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.” (Luk. 14:26) Demikian pula
hendaklah kita berbuat baik bagi orang di sekitar kita
bukan berdasar supaya dipuji atau dihormati, tetapi karena Tuhan. Kebaikan yang
didasarkan pada motivasi ini akan melahirkan keselamatan
bagi mereka untuk Tuhan.
Memang
faktanya banyak kebaikan yang hanya didorong oleh kodrat ego sendiri, bukan
karena Tuhan. Ini karena seseorang merasa memiliki dirinya
sendiri. Inilah pemerintahan diri sendiri yang tidak akan menghasilkan
keselamatan bagi orang lain, bahkan keluarga sendiri. Semakin banyak yang
dilakukan bagi mereka, bisa mengakibatkan mereka makin
binasa. Maka di sini kita harus belajar, apa yang patut bagi keluarga, bagi sesama yang lain atau
masyarakat sekitar kita, dan bagi gereja. Biasanya, untuk keluarganya
orang bisa berbuat tanpa batas, tetapi bagi pekerjaan Tuhan sangat terbatas.
Bila
kita sudah bisa menafkahi keluarganya secara pantas, seharusnya selanjutnya
berpaling kepada kepentingan pekerjaan Tuhan. Kebutuhan
keluarga bisa terbatas, tetapi kebutuhan pekerjaan Tuhan bisa tidak terbatas. Namun faktanya orang
berpikir kalau uangnya diberikan untuk keluarga tidak ada batasnya,
tetapi untuk pekerjaan Tuhan selalu dibatasi. Orang-orang seperti ini biasanya
memberhalakan keluarga.
Keluarga
memang objek yang paling dekat yang harus diperhatikan dengan baik, tetapi
tidak boleh memberhalakannya. Pemberhalaan inilah
yang membinasakan mereka. Misalnya, warisan harta yang diberikan
kepada anak tanpa pemahaman akan kebenaran Firman Tuhan akan menghancurkan
mereka.
Kalau
seseorang sudah melakukan bagiannya bagi orang tuanya, keluarganya, keluarga
besarnya, dan masyarakat sekitarnya, maka pasti ia
akan melakukan pembelaan bagi pekerjaan Tuhan dengan sikap hati yang benar. Tetapi kalau seseorang belum
memenuhi bagiannya bagi sesamanya, apa yang dilakukan bagi Tuhan
di gereja pasti dengan sikap hati dan motif yang salah.
Pendalaman Alkitab
0 comments:
Post a Comment