Injil Kebenaran Yang Murni (Bag. 2)

Bukan Jalan Yang Mudah “Jalan Yang Benar dan Terbaik”
            Kita harus menentang dengan tegas bila kekristenan diajarkan sebagai jalan yang mudah. Kekristenan adalah jalan yang benar dan terbaik tiada duanya, tetapi bukan jalan yang mudah. Kekristenan yang diajarkan sebagai jalan yang mudah dapat mengakibatkan orang-orang Kristen menjadi duniawi. Inilah penyebab kegagalan pelayanan. Banyak orang ke gereja dan setia dalam berbagai kegiatan gereja, tetapi tetap hidup dalam “percintaan dunia”. Mereka akan binasa sebab tidak pernah mengasihi Tuhan.
            Bila diajarkan bahwa mengikut Yesus itu jalan yang mudah, jemaat Tuhan cenderung akan terbawa menjadi kerdil, kekanak-kanakan dan kurang bahkan tidak bertumbuh. Bila demikian, maka kecintaan jemaat terhadap dunia tidak akan surut. Sebagai akibatnya, hati jemaat tidak merindukan Yesus dan kerajaan-Nya (Yoh.3:31; Kol. 3:1–4). Bibir mereka mengasihi Tuhan, tetapi hatinya mengasihi harta dan dunia ini. Ini berarti terjadi praktik persundalan atau perzinahan rohani yang melukai hati Tuhan. Ironisnya, mereka tidak merasa sedang melukai hati Tuhan, sebab mereka tidak terlibat dalam berbagai pelanggaran moral umum. Harus dipahami bahwa tindakan dosa bukan hanya tindakan yang kelihatan, tetapi sikap hati sudah merupakan tindakan yang membangkitkan reaksi Tuhan.
            Kekristenan yang diajarkan sebagai jalan yang mudah menjadi kekristenan tanpa salib; biasanya para pengikutnya menggunakan kuasa Allah sebagai sarana untuk memperoleh kekayaan dunia dan pemuasan ambisi manusia. Kekristenan semacam ini bertendensi mengatur Tuhan semata-mata. Memang gereja yang mengajarkan pola ajaran seperti ini akan banyak dikunjungi jemaat, dan mereka merasa sebagai gereja yang berkenan kepada Tuhan dan diberkati.
            Kekristenan tanpa salib bukanlah kekristenan, sebab Tuhan Yesus sendiri menegaskan bahwa jika seseorang mau mengikut-Nya tetapi tidak mau memikul salib dan menyangkal dirinya, ia tidak layak untuk Kerajaan Surga (Mat. 10:38; Mat. 16:24). Inilah Injil yang berkadar rendah. Orang percaya yang menerima Injil yang berkadar rendah, akan memiliki kecenderungan kurang mengabdi kepada Tuhan. Mereka mengiring Tuhan hanya demi untuk keuntungan pribadi. Kalaupun mereka berbuat sesuatu bagi Tuhan, mereka melakukannya hanya untuk gereja dan bukan untuk Tuhan; serta mengharapkan imbalan. Dengan demikian, sampai mati mereka tidak pernah memikul salib dan menderita bersama dengan Tuhan. Sungguh mengerikan, sementara mereka tidak pernah berbakti kepada Tuhan dalam arti yang benar, mereka yakin akan dimuliakan bersama dengan Tuhan Yesus.

Bukan Jalan Yang Mudah “Jalan Yang Lebar dan Jalan Yang Sempit”
            Orang-orang Kristen yang menganggap kekristenan sebagai jalan yang mudah sering tidak sungguh-sungguh belajar kebenaran Tuhan. Mereka tidak punya kerinduan bertumbuh untuk mencapai tingkat rohani yang lebih tinggi atau kesempurnaan. Ini dapat menimbulkan kepuasan rohani yang membuat mereka bersikap sombong atau angkuh; merasa bahwa mereka tidak perlu membenahi dirinya lagi. Inilah kebutaan rohani, seperti yang dialami jemaat Laodikia (Why. 3:17). Seseorang yang sudah merasa puas atas hidup kerohaniannya, akan menjadi haus terhadap hal-hal duniawi. Tetapi kalau seseorang lapar dan haus akan kebenaran, ia merasa puas atas hal-hal duniawi, dan tidak memburu harta dunia.
            Dalam Mat. 7:13–14, Tuhan Yesus mengajarkan mengenai jalan yang lebar dan jalan yang sempit. Jalan yang lebar adalah jalan yang membawa manusia menuju kebinasaan. Orang-orang yang masuk ke sana ialah mereka yang mau menikmati kenyamanan dunia. Mereka inilah kelompok orang yang dimaksud Tuhan Yesus sebagai orang-orang yang “mau menyelamatkan nyawanya, tetapi akan kehilangan nyawanya” (Mat. 10:39, 16:25; Mrk. 8:35; Luk. 9:24, 17:33; Yoh. 12:25).
            Jalan menuju kehidupan adalah jalan yang sempit, sesak, dan sedikit orang yang masuk melaluinya. Ini jalan yang tidak disukai orang; jalan yang tampaknya penuh risiko. Tetapi inilah jalan kebenaran dalam Tuhan Yesus Kristus, yaitu jalan yang sukar tersebut. Penting sekali untuk kita ingat bahwa mengiring Tuhan berarti berjalan dalam pergumulan yang tidak pernah usai: memikul salib, yaitu hidup dalam penyangkalan diri dan melayani Tuhan.
            Dalam Luk. 14:28–33 dipaparkan perumpamaan mengenai orang yang mau membangun sebuah menara dan raja yang mau maju berperang. Sekali lagi kedua perumpamaan ini menegaskan bahwa mengiring Tuhan bukan hal yang murah dan gampang, melainkan sebaliknya, mahal harganya dan sulit. Untuk menekankan betapa tidak mudahnya mengikut Yesus, Tuhan menegaskan agar kita menghitung dulu anggarannya. Maksudnya adalah agar kita mempertimbangkan dengan serius keputusan untuk menjadi anak-anak Tuhan. Kekristenan atau Injil harus diajarkan secara benar dan lengkap. Kita dipanggil bukan saja untuk menjadi “orang beragama Kristen” yang menikmati keselamatan jiwa saja—jaminan masuk Surga bila mati nanti—tetapi dipanggil untuk mengikut Yesus sebagai murid, yaitu mengikuti jejak-Nya. Menerima Yesus sebagai Juruselamat, gratis mendapat keselamatan; tetapi mengikut Yesus, harus membayar harga pengiringan.

Bukan Jalan Yang Mudah “Salib”
            Memikul salib adalah salah satu syarat mutlak yang harus dipenuhi setiap orang yang mau mengikut Yesus. Ini berarti orang percaya bukan hanya menghubungkan salib dengan Yesus dan pengorbanan-Nya, tetapi juga menghubungkannya dengan diri kita sendiri, sebab setiap kita harus memiliki salib kita masing-masing (Mat. 16:24). Adanya salib berarti pengiringan yang benar terhadap Tuhan Yesus. Dalam hal ini salib identik dengan kehidupan orang percaya yang normal dan benar. Kekristenan tanpa salib adalah kekristenan yang palsu.
            Tuhan Yesus memberi teladan kepada kita tentang sebuah kehidupan yang dipersembahkan kepada Bapa; kehidupan yang memberkati orang lain. Teladan ini harus kita kenakan sepanjang umur hidup kita. Kasih yang harus kita berikan kepada orang lain harus sama dengan kadar kasih yang Yesus berikan kepada kita. Memang ini bukan sesuatu yang mudah, tetapi Tuhan akan memberi kemampuan untuk meneladani-Nya. Ini adalah kehidupan yang sangat luar biasa.
            Dalam beberapa ayat yang terdapat dalam Alkitab, salib menunjuk kepada pengertian “kematian dari segala sesuatu yang duniawi dan kesediaan memberkati sesama” (Gal. 2:19, 5:24, 6:14). Ini suatu pergumulan hidup yang membawa seseorang merasa “sakit”. Salib dalam kekristenan berarti penderitaan yang ditanggung demi berkat dan keuntungan orang lain. Salib tidak menunjuk kepada kelemahan, kekurangan atau kegagalan seperti anggapan orang pada umumnya. Salib berbicara mengenai penderitaan yang kita tanggung bukan karena kesalahan kita, tetapi oleh karena kita melayani Tuhan dan mau memberkati orang lain. Seperti Tuhan Yesus menumpahkan darah-Nya dan diremukkan daging-Nya demi keselamatan kita, maka kita harus rela menjadi seperti anggur yang tercurah dan roti yang terpecah. Sebuah kehidupan yang membawa keharuman Tuhan.
            Salib inilah yang dimaksud Yesus dengan “baptisan yang diterima baik oleh Yesus maupun oleh orang percaya” (Mrk. 10:38-39; Luk. 12:50). Baptisan inilah yang menunjuk kepada penderitaan yang harus dipikul demi menggenapi rencana Bapa. Bagi Tuhan Yesus, baptisan-Nya inilah yang membawa manusia kepada keselamatan oleh penderitaan dan kematian-Nya di bukit Golgota. Bagi kita, baptisan ini adalah pengorbanan dan penderitaan demi menjadi berkat bagi orang di sekitar kita yang tersentuh oleh pelayanan kita. Dalam hal ini seorang anak Tuhan melakukan pelayanan tanpa batas. Di manapun ia berada, ia membawa keharuman Kristus untuk menyelamatkan manusia berdosa menjadi umat tebusan Tuhan melalui segala sikap dan perbuatan dengan segala pengorbanan.

Bukan Jalan Yang Mudah “No Crown Without Cross”
            Beban salib yang kita pikul akan selalu sesuai dengan kemampuan kita untuk mengangkatnya. Semakin seseorang diremukkan melalui penyangkalan diri, semakin Allah memercayakannya untuk memikul salib yang lebih besar. Masing-masing kita memiliki salib yang berbeda; tidak ada salib yang sama. Pola kehidupan salib ini dinyatakan oleh rasul-rasul Tuhan dengan berbagai ungkapan. Misalnya dalam Flp.2:17, Rasul Paulus menyatakan dirinya rela mempertaruhkan seluruh hidupnya bagi kepentingan jemaat Tuhan.
            Kita dapat sampai kepada tingkat tersebut apabila kita sudah bergumul untuk menyangkal diri dari waktu ke waktu, agar bebas dari egoisme dan ikatan-ikatan dosa yang ada pada karakter kita. Kita harus berpaling dari kesenangan dan apa yang menguntungkan diri kita sendiri, memandang kepada kepentingan orang lain. Kita harus mengutamakan kepentingan Tuhan di atas segala kepentingan. Bila seseorang belum belajar berjalan dalam penyangkalan diri ini, mustahillah ia dapat memikul salib bagi kepentingan orang lain.
            Kehidupan memikul salib adalah dinamika hidup orang percaya yang sudah dewasa rohani, yaitu orang-orang Kristen yang sudah belajar banyak kebenaran Tuhan dan mengikut Tuhan dari waktu ke waktu. Jika kita masih Kristen baru atau Kristen kanak-kanak, mungkin belum sanggup menerima kenyataan ini, tetapi marilah kita belajar memikul salib, sebab itu akan mendatangkan “upah, pahala dan tempat” dalam kerajaan Bapa di surga (Mrk. 10:35–45). Oleh sebab itu jikalau Tuhan mengijinkan kita memikul salib kita masing-masing, ini merupakan suatu kehormatan. Dengan memikul salib, kita diberi kesempatan untuk menimbun harta di Surga, dan inilah harta yang sesungguhnya. No crown without cross. Tidak ada mahkota tanpa salib. Mahkota surgawi bukanlah gratis, melainkan ada harganya; dan harganya adalah salib itu.
            Rasul Paulus juga mengalimatkan memikul salib sebagai “menderita bersama-sama dengan Yesus” (Rm.8:17). Syarat untuk dipermuliakan adalah memikul salib bersama Tuhan. Inilah yang ditawarkan Tuhan Yesus kepada anak-anak Zebedeus ketika mereka minta kedudukan dalam kerajaan Tuhan Yesus nanti. Sejauh mana kita rela menanggung salib untuk memberi diri kita bagi orang lain, sejauh itu pula kemuliaan yang kita peroleh.

Bukan Jalan Yang Mudah “Karunia Untuk Menderita”
Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia. (Flp. 1:29)
            Betapa menyedihkan, ternyata tidak sedikit orang percaya yang hanya nimbrung atau ikut-ikutan dalam pelayanan tanpa mengerti prinsip salib ini. Padahal melayani itu berarti berkorban atau memikul salib. Pelayanan bukan sekadar mengisi waktu kosong atau karena perasaan sentimentil, simpati atau empati seseorang terhadap gereja dan pendeta; melainkan kesediaan berkorban menumpahkan seluruh hidup ini bagi kepentingan pekerjaan-Nya. Membantu penyelenggaraan aktivitas kebaktian di gereja belumlah merupakan pelayanan yang lengkap dan benar. Marilah kita sadari bahwa pelayanan pekerjaan Tuhan di dalam maupun di luar lingkungan gereja harus dilakukan dengan landasan sikap hidup yang benar.
            Sikap hidup itu adalah kesediaan memikul salib. Kesediaan ini harus berangkat dari kesadaran pribadi dan kerelaan yang benar-benar tulus dari diri sendiri, bukan karena tekanan maupun paksaan siapa pun. Untuk hal ini seseorang harus menggunakan kehendak bebasnya untuk aktif menggerakkan dirinya memikul salib.
            Segenap hidup kita—tenaga, uang, perasaan, waktu—harus dikorbankan bagi pelayanan pekerjaan Tuhan. Paulus mengatakan bahwa kita dipanggil bukan hanya untuk percaya, melainkan juga untuk menderita bagi Dia. Perhatikan Petrus menulis dalam 1Ptr. 2:21, “sebab untuk itulah kamu dipanggil”. Kalau kita tidak mau mengerti kebenaran ini atau menolak melakukannya, maka panggilan kita belum lengkap dan kekristenan kita tidak bermutu, sebab panggilan menjadi anak Tuhan baru lengkap kalau kita bukan saja percaya kepada Tuhan, melainkan juga menderita bagi-Nya.
            Dalam 1Ptr. 2:19–20, panggilan untuk menderita bagi Tuhan ini ternyata adalah kasih karunia. Dalam teks aslinya tertulis “kharis para Theo”. Kharis dapat diterjemahkan sebagai “perkenanan, keuntungan, hak istimewa, anugerah, hadiah, kenikmatan”. Jadi penderitaan karena kehendak Allah atau salib adalah sesuatu yang menguntungkan bagi kita, suatu anugerah, atau hal yang sungguh menyenangkan hati Tuhan. Dalam Alkitab Terjemahan Lama diterjemahkan, “itulah yang berkenan kepada Allah”. Itulah yang menyenangkan hati Tuhan. Jadi hati Tuhan disukakan bukan hanya ketika kita menikmati berkat jasmani dan hidup dalam sukacita karena berkat-Nya, melainkan juga tatkala kita memikul salib atau menderita bagi pekerjaan-Nya.

Bukan Jalan Yang Mudah “Persiapan Untuk Dimuliakan”
Kamulah yang tetap tinggal bersama-sama dengan Aku dalam segala pencobaan yang Aku alami. Dan Aku menentukan hak-hak Kerajaan bagi kamu, sama seperti Bapa-Ku menentukannya bagi-Ku, bahwa kamu akan makan dan minum semeja dengan Aku di dalam Kerajaan-Ku dan kamu akan duduk di atas takhta untuk menghakimi kedua belas suku Israel. (Luk. 22:28–30)
            Ternyata di balik penderitaan demi keselamatan orang lain atau demi pelayanan terdapat sesuatu yang sangat berharga dan mulia, yaitu yang sering diidentikan sebagai “mahkota”. Dalam Flp. 2:8–9 dijelaskan bahwa Yesus telah merendahkan diri-Nya dan rela mati di kayu salib, sehingga Ia ditinggikan. Sebelumnya dalam Flp. 2:5, dikemukakan agar kita hendaknya sepikiran dan seperasaan dengan Tuhan, artinya meneladani sikap-Nya. Sebagaimana Ia menderita untuk kita, kita pun menderita bagi pekerjaan-Nya; sebagaimana Ia ditinggikan, kita pun ditinggikan atau dimuliakan. Dalam Rm. 8:17 dinyatakan kalau kita menderita bersama-sama dengan-Nya, maka kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan-Nya.
            Dalam Luk. 22:28–30 di atas, Tuhan Yesus mengatakan bahwa bagi orang percaya yang rela menderita bagi Tuhan, telah tersedia “mahkota”, “kursi-kursi eksekutif ” dalam kerajaan-Nya. Penderitaan karena pekerjaan-Nya adalah persiapan untuk dimuliakan bersama-sama dengan Dia.
            Menjelang Pemilu biasanya orang berlomba untuk memenangkan partainya, tentu demi kursi-kursi legislatif dan eksekutif nanti. Tetapi Tuhan berkata, “Tetapi kamu tidak demikian, siapa yang mau menjadi terkemuka hendaknya ia menjadi pelayanmu.” (Luk. 22:26) Kerajaan Bapa tidak boleh dihuni oleh orang-orang yang berambisi memerintah orang lain demi jabatan dan kepentingan diri sendiri, Tetapi Tuhan mencari orang yang hatinya melayani sesama; rela berkorban bagi sesama; mengupayakan kebahagiaan dan keselamatan orang lain. Orang yang hatinya seperti ini adalah prajurit yang rela menderita, rela disalib seperti Tuhan Yesus. Kita tidak hanya memiliki hidup hari ini, tetapi kita masih memiliki kehidupan di balik kematian. Kita tidak hanya memiliki dunia kita sekarang ini, tetapi kita memiliki dunia sempurna, yaitu langit baru bumi baru. Kita bukan hanya memiliki negara Indonesia, tetapi kita juga memiliki kerajaan Surga. Untuk kerajaan-Nya yang akan datanglah kita dipersiapkan. Persiapan itu adalah melalui menderita bersama-sama dengan Tuhan, berkorban dan berjuang untuk pekerjaan-Nya.

Bukan Jalan Yang Mudah “Serupa dengan Dia dalam KematianNya”
Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya. (Flp. 3:10)
            Menjadi kerinduan Paulus agar ia hidup dalam persekutuan dalam penderitaan Tuhan Yesus, supaya ia menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya. “Serupa dengan Dia dalam kematian-Nya” pada dasarnya adalah kehidupan yang ditujukan untuk kepentingan kerajaan Allah sepenuhnya. Kata kematian dalam teks tersebut dari bahasa aslinya ditulis thanatos.
            Dalam bahasa Yunani ada beberapa kata yang bisa diterjemahkan “kematian” dalam Bahasa Indonesia. Selain thanatos, terdapat juga kata televte dan analüsis. Kata televte (contohnya dalam Mat. 2:15) berarti “berakhir”; kata ini menunjuk bahwa kematian adalah akhir kehidupan. Kata analüsis (contohnya dalam 2Tim. 4:6) berarti “berangkat”; maksudnya, kematian adalah keberangkatan seseorang dari dunia ini menuju alam baka.
            Kata thanatos menunjukkan terpisahnya tubuh dari roh. Mengapa di sini dipilih kata thanatos? Sebab kata ini menjelaskan bahwa setelah seseorang menjadi anak Tuhan, maka tujuan hidupnya adalah dipisahkan atau dibedakan dari anak-anak dunia. Memang perubahan ini tidak dapat berlangsung hanya dalam beberapa hari, tetapi melalui proses yang panjang bertahun-tahun sampai menutup mata. Perubahan tersebut harus melalui pembaharuan pikiran supaya tidak sama dengan dunia ini (Rm. 12:2). Proses ini bisa berlangsung hanya bila seseorang sungguh-sungguh belajar menggali kekayaan Firman Tuhan, sebab hanya Firman Tuhan yang dapat memisahkan seseorang dari cara hidup yang salah (Ibr. 4:12).
            Untuk penggarapan ini, kadang-kadang Tuhan perlu meremukkan kita dengan segala cara yang sangat menyakitkan, tetapi inilah jalan berkat yang Bapa sediakan bagi kita. Untuk ini haruslah kita berpikir seperti yang dianjurkan Paulus: “Carilah perkara yang diatas… pikirkanlah perkara yang di atas” (Kol.3:1–2). Ini sejajar dengan perkataan Tuhan Yesus, “Kumpulkan harta di Surga, bukan di bumi” (Mat.6:19–20). Maksudnya agar sebagai anak-anak Tuhan kita belajar menghayati kehidupan warga kerajaan Allah, sampai kita menyadari sedalam-dalamnya bahwa dunia ini bukan rumah kita dan kita bukan berasal dari dunia ini; bahwa kita telah mati bagi kesenangan dunia. Sampai tingkat ini Iblis tidak lagi bisa membujuk kita untuk menyembahnya (Luk. 4:5–8).

Membalas Kebaikan Tuhan “Kita adalah Orang Berhutang”
            Orang baik belum tentu tahu budi, tetapi orang yang tidak tahu budi pasti orang jahat. Kebenaran dari pernyataan ini memang tidak tersurat secara jelas dalam Alkitab, tetapi dari beberapa pernyataan ayat Alkitab jelas sekali kebenaran ini ada. Pemazmur, ketika menyadari kebaikan Tuhan, berkata, “Bagaimana akan kubalas kepada TUHAN segala kebajikan-Nya kepadaku?” (Mzm. 116:12). Pemazmur menunjukkan sosok pribadi yang tahu budi. Ia berniat untuk membalas kebaikan Tuhan, walaupun itu sesuatu yang tidak mudah. Dalam seruannya ia berkata, “Dengan apa kubalas?” Niat untuk membalas kebaikan Tuhan adalah keluhuran budi yang harus dimiliki setiap insan.
            Dari pernyataan Pemazmur ini tersirat bahwa karena begitu besarnya kebaikan Tuhan, maka sulitlah mengimbanginya. Tidak membalas budi baik seseorang berarti bersikap jahat terhadap orang itu, jadi kalau seseorang tidak tahu budi terhadap Tuhan, berarti ia berlaku jahat terhadap Tuhan. Tanpa disadari, banyak orang yang berlaku jahat terhadap Tuhan. Mereka adalah orang-orang yang tidak mengerti kebaikan Tuhan yang tiada tara yang seharusnya kita hargai. Dengan penghargaan yang benar, seseorang akan berusaha membalas kebaikan Tuhan.
            Dalam tulisan Rasul Paulus kepada jemaat di Roma, ia menyaksikan, “Jadi, saudara-saudara, kita adalah orang berutang, tetapi bukan kepada daging, supaya hidup menurut daging. Sebab, jika kamu hidup menurut daging, kamu akan mati; tetapi jika oleh Roh kamu mematikan perbuatan-perbuatan tubuhmu, kamu akan hidup.” (Rm. 8:12–13). Budi baik yang diberikan seseorang adalah “utang”. Orang percaya adalah orang yang berutang: berutang kepada Tuhan. Pembayaran utang tersebut adalah tidak hidup menurut daging lagi, tetapi hidup oleh Roh. Tidak ada cara lain untuk membalas kebaikan Tuhan selain dengan cara ini.
            Sebagai orang berutang, sewajarnyalah dalam berurusan dengan Tuhan, kita tidak mempersoalkan lagi bagaimana kita dapat memanfaatkan Tuhan atau memperoleh segala sesuatu dari Dia. Yang seharusnya kita persoalkan adalah bagaimana kita membayar utang kita kepada Tuhan. Sayang sekali, dewasa ini banyak pembicara di mimbar-mimbar Kristen memompa jemaat untuk berusaha memanfaatkan Tuhan sebanyak-banyaknya, seolah Ia “sapi perahan”. Memang tidak salah kalau anak-anak Tuhan berharap segala sesuatu dari Dia dan menerimanya, sebab Ialah Sumber Berkat; tetapi hendaklah kita meninggalkan sikap oportunis dalam berurusan dengan Tuhan, karena kita mau membalas budi baik-Nya.

Membalas Kebaikan Tuhan “Menanggalkan Naluri Kemanusiaan”
            Kita telah belajar bahwa setiap orang percaya berutang kepada Tuhan, dan satu-satunya cara membalas kebaikan Tuhan adalah dengan hidup oleh Roh. Hidup oleh Roh artinya hidup dalam penurutan terhadap kehendak Roh Tuhan, bukan dalam kendali diri sendiri lagi. Orang yang hidup dalam kendali Roh Tuhan pasti hidup bagi kepentingan Tuhan. Dalam kesaksiannya yang lain, Paulus mengatakan bahwa orang yang sudah ditebus oleh darah Tuhan Yesus adalah orang yang mati bagi dirinya sendiri dan hidup bagi Tuhan (2Kor. 5:14–15).
            Tidak hidup menurut daging berarti tidak lagi hidup dalam naluri kemanusiaan. Naluri kemanusiaan adalah pola pikir dan cara hidup yang biasa dimiliki semua orang. Naluri kemanusiaan yang membelenggu manusia ini adalah bersekolah, lalu kuliah, mencari nafkah, menikah, memiliki berbagai fasilitas (rumah, mobil dan lain sebagainya), memiliki keturunan, membesarkan anak, mencarikan jodoh untuk anak, membesarkan cucu dan akhirnya mati. Hal ini tidak salah, tetapi bila cara hidup seperti ini membelenggu kehidupan seseorang maka ia menjadi korban lingkungan, kualitas hidupnya rendah. Apa bedanya dengan hewan? Ironisnya, justru inilah pola kehidupan yang dimiliki orang pada umumnya. Dorongan yang ada dalam kehidupan orang-orang seperti ini adalah bagaimana mempertahankan hidup dan bila cukup mampu adalah bagaimana meraih kehormatan.
            Orang yang sungguh-sungguh mau membalas kebaikan Tuhan akan bersedia menanggalkan pola pikir dan cara hidup yang dianggap wajar oleh orang pada umumnya dan mengenakan cara hidup baru yaitu “hidup oleh Roh”. Hidup dalam penurutan yang mutlak kepada Bapa di Surga. Gerak hidupnya adalah melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan apa yang direncanakan Bapa bagi untuk turut digenapi oleh kita. Jika kita mau membalas kebaikan Tuhan, kita tidak akan mengingini apa yang diingin anak-anak dunia. Cita rasa hidup kita telah berubah menjadi cita rasa hidup bangsawan Surgawi. Memang cara hidup ini akan tampak berbeda, sampai kelihatan agak aneh dalam pandangan orang pada umumnya.
            Orang yang mematikan naluri kemanusiaannya adalah orang yang tidak lagi memiliki cita-cita dan visi dari diri sendiri. Semua yang diingininya selalu dikonfirmasikan dengan Tuhan. Ia tidak akan melangkah sebelum benar-benar mendapat komando dari Tuhan untuk melangkah. Dalam hal ini doa Bapa Kami terpenuhi, yaitu “Datanglah kerajaan-Mu dan jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di Surga” (Mat. 6:10). Inilah yang dapat dikatakan sebagai “mengalir” dengan Tuhan.

Membalas Kebaikan Tuhan “Melayani Tuhan SelamaNya”
            Hutang kita kepada Tuhan adalah utang kehidupan kekal. Seharusnya kita dibuang ke dalam lautan api dan terpisah dari hadirat Tuhan selama-lamanya, tetapi Tuhan Yesus telah menebus kita dengan darah-Nya sehingga kita terbebas dari api kekal.
            Kita tidak dapat membalas kebaikan Tuhan. Apa pun yang kita lakukan tidak akan sebanding dengan apa yang Tuhan telah lakukan bagi kita. Dalam Mat. 18:24 dikisahkan seseorang yang berutang 10.000 talenta. Satu talenta merupakan suatu jumlah yang besar, yaitu sejumlah 6000 dinar. Upah seorang pekerja pada waktu itu 1 dinar per hari, jadi 6000 dinar adalah upah pekerja selama hampir 17 tahun. Jadi 10.000 talenta setara upah pekerja selama 164.383 tahun! Ini berbicara bahwa apa yang ditanam Tuhan dalam diri kita adalah sesuatu yang mahal dan berharga. Investor Agung itu menginvestasikan modal-Nya yang besar dalam hidup kita, yaitu dengan darah yang ditumpahkan di bukit Golgota untuk membeli atau menyelamatkan kita.
            Bagaimanapun kita tidak akan dapat membalas kebaikan Tuhan seimbang dengan apa yang Ia telah berikan kepada kita. Bahkan hidup sejuta tahun melayani Tuhan di dunia pun belum dapat mengimbangi kebaikan Tuhan kepada kita. Ada satu langkah yang dapat kita lakukan untuk mengimbangi kebaikan Tuhan yang telah kita terima, yaitu dengan melayani Tuhan selama-lamanya di Kerajaan-Nya nanti. Untuk ini perlu dijelaskan bahwa Kerajaan Surga bukanlah tempat untuk hanya duduk-duduk tanpa kerja. Surga adalah sebuah aktivitas kehidupan, seperti yang kita alami di bumi. Pola ini tampak jelas ketika Tuhan menciptakan manusia pertama, bahwa mereka harus bekerja. Firdaus bukan tempat untuk tidur-tiduran saja, melainkan ruang kerja manusia pertama. Kerajaan Surga adalah ruang kerja manusia yang diselamatkan dalam Yesus Kristus.
            Dalam kekekalan itulah kita dapat membalas kebaikan Tuhan dengan melayani Dia selama-lamanya. Tetapi tidak semua orang akan diperkenankan membalas kebaikan-Nya. Hanya orang-orang yang sekarang ini membalas kebaikan Tuhan dengan melayani Dialah yang akan diperkenankan untuk melayani-Nya di dalam Kerajaan-Nya nanti. Hidup di dunia ini merupakan sebuah pilihan, apakah kita akan melayani Tuhan selamanya di Kerajaan Surga atau melayani Setan dalam kerajaan kegelapan selama-lamanya. Oleh sebab itu panggilan untuk melayani Tuhan, hendaknya tidak ditanggapi sebagai beban, tetapi kesempatan untuk lolos dari api kekal dan masuk dalam pelayanan bagi Sang Maharaja di Surga.

Membalas Kebaikan Tuhan “Tuhan Tidak Perlu Berterima Kasih”
            Dalam Luk. 17:7–10 terdapat kisah mengenai hamba yang bekerja kepada seorang majikan. Majikan tersebut adalah gambaran dari Tuhan, dan hamba tersebut adalah gambaran dari kita. Setelah hamba tersebut melakukan suatu pekerjaan, tidak dikesankan sama sekali bahwa tuannya patut berterima kasih kepadanya (Luk. 17:9). Ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak perlu berterima kasih kepada kita, sebab kita memang diciptakan oleh Tuhan untuk melayani Dia. Kita telah ditebus oleh darah Yesus Kristus, sehingga kita bukan milik kita sendiri (1 Kor. 6:19–20).
            Orang Kristen yang dewasa akan merasa dan mengakui bahwa ia berutang kepada Tuhan. Sebagai orang yang berutang ia tidak pantas menuntut apa pun dari Tuhan, sebaliknya ia merasa dituntut untuk berbuat sesuatu bagi Tuhan yang telah menanam kebaikan dalam hidupnya. Kita adalah orang yang berutang, seperti budak yang telah dibeli oleh tuan yang baru. Dulu kita adalah budak setan yang diseret ke dalam lautan api kekal, sekarang kita telah menjadi milik Tuhan oleh penebusan darah Tuhan Yesus Kristus untuk dibawa ke dalam Kerajaan-Nya.
            Sayang sekali, dewasa ini para pemberita Firman yang tidak mengerti kebenaran banyak mengajarkan bahwa kita boleh menuntut Tuhan, boleh mengklaim janji-janji-Nya. Padahal Tuhan tidak perlu dituntut atau menerima klaim dari manusia, yang sebenarnya tidak memiliki hak apa pun atas kedaulatan Tuhan. Lagi pula, Ia tidak akan pernah mengingkari janji-Nya. Ia pribadi Agung yang berintegritas sempurna; tidak perlu dibujuk, diingatkan, apa lagi dipaksa. Ia bertanggung jawab atas umat-Nya. Kita tidak perlu dan tidak boleh meragukan Tuhan, apalagi mencurigai-Nya. Sebaliknya kita patut mencurigai diri sendiri, apakah kita mengerti dan menghayati budi baik Tuhan yang tak ternilai dan kita berhasrat untuk membalasNya?
            Menyadari kebenaran ini, marilah berusaha membalas kebaikan Tuhan dengan melayani Dia semampu-mampunya, segiat-giatnya, sekuat tenaga dan all out sepanjang hidup kita. Dalam pengabdian kepada Tuhan, tidak perlu kita menuntut upah, bahkan ucapan terima kasih, sebab sebanyak apa pun yang dapat kita lakukan, tak akan dapat mengimbangi kebaikan yang telah Tuhan berikan. Dalam hal ini Tuhan Yesus mengajar kita untuk mengatakan bahwa kita adalah hamba yang tidak berguna, yang hanya melakukan apa yang harus kita lakukan (Luk. 17:10). Tidak berguna di sini maksudnya bahwa sebenarnya tanpa kita, Tuhan pun dapat menyelesaikanNya sendiri. Kalau Tuhan berkenan kita layani, tidakkah itu anugerah?

Thermometer
Sebab semua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup, bukanlah berasal dari Bapa, melainkan dari dunia. (1Yoh. 2:16)
Apapun dalam kehidupan seorang manusia akan memberi pengaruh kepada lingkungannya. Masalahnya adalah pengaruh apakah yang dipancarkan, positif atau negatif. Ini sejajar dengan kenyataan bahwa hanya ada dua jenis manusia, yaitu manusia yang dipengaruhi dunia, yang disebut sebagai manusia termometer, dan jenis manusia yang tidak dipengaruhi dunia tetapi memengaruhi dunia dengan pengaruh positif, disebut sebagai manusia termostat.
            Pada umumnya sebagian besar manusia termasuk kelompok manusia termometer dan hidup sebagai korban atau tawanan lingkungan. Mereka hidup sebagai orang-orang yang dipengaruhi oleh lingkungannya, seperti termometer mengikuti suhu udara disekitarnya. Mereka melakukan apa yang orang lain lakukan, membeli apa yang orang lain beli, merasa harus memiliki apa yang orang lain miliki, berpola pikir dan berpola tindak seperti orang di sekitarnya.
            Oleh karena dunia telah diwarnai oleh kuasa kegelapan dan dikuasai olehnya maka warna dunia adalah warna hidup manusia yang akan binasa bersama dengan kuasa kegelapan. Dunia ini adalah kerajaan kuasa kegelapan yang mempersiapkan manusia menuju api kekal. Untuk persiapannya, manusia dipengaruhi oleh pola pikir dan pola hidup yang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Ternyata untuk masuk neraka pun perlu persyaratan: orang suci tidak diperkenankan masuk neraka, tetapi orang berdosa yang rusaklah yang diperkenankan masuk ke sana. Neraka tidak sanggup menyambut orang kudus, sebagaimana Surga tidak akan menyambut orang berdosa yang tidak bertobat.
            Kelompok orang yang dipengaruhi dunia sekitarnya adalah orang yang dimaksud dalam 1Yoh. 2:16: orang-orang yang hidup dalam keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup. Orang-orang seperti ini pada akhirnya akan menjadi antek kuasa kegelapan yang memengaruhi orang lain agar memiliki pola pikir dan pola tindak seperti yang mereka telah lakukan. Mereka menjadi alat iblis untuk menambah jumlah orang ke neraka. Merekalah duta-duta kerajaan kegelapan yang tanpa disadari telah menghamba kepada Lucifer untuk melakukan kehendaknya. Kalau anak-anak Tuhan harus masuk proyek penyelamatan, tetapi mereka masuk kedalam proses pembinasaan. Marilah kita renungkan, masihkah kita dipengaruhi oleh dunia?

Thermostat
…..supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib.(1Ptr. 2:9)
            Orang yang berkualifikasi masuk kelompok manusia termostat sangat sedikit. Mereka adalah kelompok manusia yang tidak terpengaruhi oleh pola pikir dan pola tindak manusia disekitarnya. Walaupun secara lahiriah cara hidupnya kelihatannya sama, tetapi warna batinnya berbeda. Mengapa mereka tidak bisa dipengaruhi oleh dunia sekitarnya? Sebab mereka telah bertumbuh dalam kedewasaan rohani yang benar. Pertumbuhan kedewasaan rohani tersebut berawal dari pembaruan pikiran (Rm. 12:2). Pembaruan ini dimaksudkan agar kehidupan orang percaya tidak sama dengan dunia ini. Dalam hal ini setiap anak Tuhan harus belajar kebenaran Firman Tuhan terus-menerus untuk mengalami pembaruan pikiran.
            Manusia termostat tidak dapat dipengaruhi dunia sekitarnya, tetapi memengaruhi dunia sekitarnya. Hidup mereka telah dipengaruhi begitu rupa oleh Tuhan, dan orang yang telah dipengaruhi oleh Tuhan adalah orang-orang yang dapat memengaruhi orang lain. Proses dipengaruhi Tuhan adalah proses panjang; tidak ada proses cepat atau kilat. Dalam hal ini dibutuhkan ketekunan untuk menjadi berbeda dengan dunia sekitarnya. Untuk memiliki pribadi yang dipengaruhi oleh Tuhan sehingga sewarna dengan Tuhan membutuhkan proses yang benar-benar panjang. Orang yang mau dipengaruhi Tuhan pikirannya harus dibuka selebar-lebarnya untuk dipenuhi oleh kebenaran Firman Tuhan.
            Dari pertumbuhan kedewasaan rohani tersebut, manusia termostat telah mati bagi dirinya sendiri. Orang yang telah mati bagi dirinya sendiri dan hidup bagi Tuhan sepenuhnya adalah orang yang dapat memengaruhi orang lain. Orang yang masih hidup bagi dirinya sendiri tidak akan dapat memengaruhi orang lain, tetapi dipengaruhi dunia sekitarnya. Ikan yang hidup di laut yang asin tidak menjadi asin, tetapi kalau ikan tersebut mati, maka menjadi asin.
            Kedewasaan rohani akan membangun kepribadian yang kuat. Kepribadian yang kuat ini tidak diatur atau dikendalikan oleh lingkungannya. Kepribadian yang kuat diimpartasi dari kepribadian Kristus sendiri, kepribadian yang dapat berfungsi sebagai terang dan garam dunia. Ibarat garam, ini garam yang benar-benar asin; ibarat lampu, ini lampu yang terangnya ribuan watt, sampai menyilaukan. Inilah yang dimaksudkan Tuhan bahwa kita harus memberitakan perbuatan baik Tuhan yang membawa kita keluar dari kegelapan ke dalam terang-Nya yang ajaib (1 Ptr. 2:9).

Tuhan di Dalam Segala Hal “Prioritas”
            Telah beberapa kali dijelaskan bahwa dalam kehidupan anak tebusan Tuhan tidak ada urut-urutan kepentingan atau prioritas. Tetapi berkenaan dengan penggunaan keuangan atau harta yang Tuhan percayakan kepada kita, harus digunakan secara bijaksana atau cerdas dalam pimpinan Roh Kudus. Penggunaannya harus dipertimbangkan berdasarkan yang paling terlebih dahulu membutuhkan. Tetapi urutannya tentu tidak mutlak, bisa relatif. Biasanya yang paling dekat dan yang bersentuhan dengan hidup kita setiap hari, antara lain: pertama, orang tua yang telah membesarkan kita; berikutnya, keluarga kita sendiri (keluarga yang kita bangun); kemudian keluarga besar yang dekat dengan kita; selanjutnya masyarakat sekitar kita (karyawan kita seperti sopir, pembantu rumah tangga, tetangga); dan yang berikutnya, gereja.
            Mungkin tidak sedikit orang yang protes karena, di sini gereja diletakkan pada urutan terakhir. Tetapi harus diingat bahwa urutan ini bukan urutan prioritas yang mutlak melainkan relatif, yaitu berdasarkan hubungan kedekatan dengan objek-objek tersebut dan komando Tuhan. Bicara mengenai komando Tuhan adalah hal yang menuntut kepekaan kita. Suatu kali, mungkin kita harus meninggalkan keluarga demi suatu kepentingan yang diperuntukkan bagi objek lain. Murid-murid Tuhan Yesus pernah melakukan hal ini (Mat. 19:27). Ini sama sekali tidak berarti mereka tidak bertanggung jawab atas keluarganya. Pada waktunya, mereka kembali kepada keluarga dan menyelesaikan tanggung jawabnya. Dalam hal ini mengikut Tuhan Yesus secara fisik pada waktu itu merupakan prioritas.
            Urut-urutan prioritas secara kaku bisa menumpulkan kepekaan yang harus dimiliki seseorang. Misalnya, pada saat kita mau berangkat pelayanan di gereja, ternyata ada rumah tetangga kebakaran, dan tidak ada orang yang menolong, apakah kita tidak turut membantu memadamkan api itu? Ingat kisah orang Samaria yang murah hati (Luk. 10:30–35). Barangkali imam yang menolak menolong orang yang dirampok (ay. 31) sedang menuju ke bait Allah untuk melakukan pekerjaan rohani; tetapi tindakan menghindar dari menolong orang yang sekarat di pinggir jalan tersebut merupakan kebodohan dan diperhitungkan sebagai kesalahan oleh Tuhan.
            Jangan sampai terjadi, jika kita yang aktif di gereja dan melakukan segala kegiatan rohani di dalamnya —termasuk memberi sumbangan uang ke gereja—namun gagal menjadi berkat bagi orang tua, keluarga, keluarga besar dan masyarakat sekitar kita.

Tuhan di Dalam Segala Hal “Dorongan Yang Benar”
            Kalau membantu orang lain dalam bentuk keuangan, seharusnya kita melakukannya bagi Tuhan, bukan didorong oleh suatu kepentingan pribadi. Seseorang semestinya membela orang tua dan keluarga bukan karena hubungan darah atau perasaan sentimental, tetapi karena Tuhan (1Kor. 10:31). Dorongan hubungan darah dan sentimen merupakan dorongan kodrat ego (manusia). Dalam hal ini kita dapat memahami mengapa Tuhan mengatakan, “Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.” (Luk. 14:26) Demikian pula hendaklah kita berbuat baik bagi orang di sekitar kita bukan berdasar supaya dipuji atau dihormati, tetapi karena Tuhan. Kebaikan yang didasarkan pada motivasi ini akan melahirkan keselamatan bagi mereka untuk Tuhan.
            Memang faktanya banyak kebaikan yang hanya didorong oleh kodrat ego sendiri, bukan karena Tuhan. Ini karena seseorang merasa memiliki dirinya sendiri. Inilah pemerintahan diri sendiri yang tidak akan menghasilkan keselamatan bagi orang lain, bahkan keluarga sendiri. Semakin banyak yang dilakukan bagi mereka, bisa mengakibatkan mereka makin binasa. Maka di sini kita harus belajar, apa yang patut bagi keluarga, bagi sesama yang lain atau masyarakat sekitar kita, dan bagi gereja. Biasanya, untuk keluarganya orang bisa berbuat tanpa batas, tetapi bagi pekerjaan Tuhan sangat terbatas.
            Bila kita sudah bisa menafkahi keluarganya secara pantas, seharusnya selanjutnya berpaling kepada kepentingan pekerjaan Tuhan. Kebutuhan keluarga bisa terbatas, tetapi kebutuhan pekerjaan Tuhan bisa tidak terbatas. Namun faktanya orang berpikir kalau uangnya diberikan untuk keluarga tidak ada batasnya, tetapi untuk pekerjaan Tuhan selalu dibatasi. Orang-orang seperti ini biasanya memberhalakan keluarga.
            Keluarga memang objek yang paling dekat yang harus diperhatikan dengan baik, tetapi tidak boleh memberhalakannya. Pemberhalaan inilah yang membinasakan mereka. Misalnya, warisan harta yang diberikan kepada anak tanpa pemahaman akan kebenaran Firman Tuhan akan menghancurkan mereka.

            Kalau seseorang sudah melakukan bagiannya bagi orang tuanya, keluarganya, keluarga besarnya, dan masyarakat sekitarnya, maka pasti ia akan melakukan pembelaan bagi pekerjaan Tuhan dengan sikap hati yang benar. Tetapi kalau seseorang belum memenuhi bagiannya bagi sesamanya, apa yang dilakukan bagi Tuhan di gereja pasti dengan sikap hati dan motif yang salah.

0 comments:

Post a Comment

My Instagram